BS Muljana: Pak Harto Merencana Untuk Masa Kini Dan Masa Nanti (Bagian 2, Habis)

Merencana Untuk Masa Kini Dan Masa Nanti (Bagian 2, Habis) [1]

BS Muljana [2]

Kalau kita perhatikan angka-angka yang terdapat dalam laporan Bank Dunia[3], yang berhubungan dengan masalah distribusi pendapatan, tampaknya hanya ada tiga negara saja di dunia ini, yang tercatat oleh bank tersebut, yang distribusi pendapatan nasionalnya lebih bagus. Kebetulan dua negara diantaranya telah pemah kita kenal secara dekat, yaitu Belanda dan Jepang. Yang ketiga adalah Belgia. Di ketiga negara itu, pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok 40% jumlah penduduk yang pendapatannya terendah mendekati 22%, bahkan untuk Belanda lebih tinggi dari 22%.

Angka kita tersebut tidak jauh terpaut dari apa yang telah di capai Belanda, Belgia dan Jepang. Namun kita perlu ingat bahwa pendapatan per jiwa di dua dari ketiga negara tersebut kira-kira 20 kali lebih besar dari pendapatan per jiwa di negara kita.

Sedangkan pendapatan di negara yang satunya lagi bahkan kira­kira 30 kali lebih besar. Lagi pula perlu diingat bahwa sekitar 30 juta penduduk Indonesia, sebagaimana disebutkan di atas, masih hidup dibawah garis kemiskinan. Terutama apabila diingat bahwa penduduk negeri Belanda seluruhnya hanya kurang dari 15 juta, dan Belgia bahkan kurang dari 10 juta orang, maka jumlah 30 juta manusia, yang masih berada dibawah garis kemiskinan di negara kita, memang masih besar. Akan tetapi kalau diingat pula bahwa mereka hanya merupakan 17,5% dari keseluruhan, maka kemajuan yang telah tercapai sejak tahun 1976 jelas sangat mengesankan. Kalau ada yang tidak puas maka tentu hal itu wajar saja. Kita semua umumnya, termasuk Bapak Presiden sendiri, juga masih sangat prihatin. Tetapi kita semuanya juga perlu ingat bahwa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai selama pemerintahan Orde Baru ini sungguh besar. Dan lebih penting lagi, bahwa tidak ada jalan untuk mengurangi angka kemiskinan tersebut kecuali dengan meningkatkan upaya pembangunan, baik skala maupun mutunya.

Penggunaan angka-angka persentase yang menunjukkan ukuran pemerataan yang rendah, yang sedang dan yang tinggi di atas adalah berdasarkan hasil studi bersama antara Bank Dunia dan suatu lembaga penelitian di Inggris[4], yang diterbitkan tahun 1974. Ia juga merupakan hasil penelitian yang membandingkan keadaan distribusi pendapatan negara yang satu dengan negara lain.

Angka-angka mengenai pemerataan di Indonesia tersebut di atas merupakan hasil olahan dari angka-angka Biro Pusat Statistik (BPS). Setiap peneliti tentu saja berhak untuk mendapatkan angka berdasarkan penelitian dan olahannya sendiri. Akan tetapi dewasa ini angka-angka yang dikeluarkan BPS itu boleh dianggap yang paling dapat dipercaya. Setelah angka-angka itu diolah ternyata diperoleh hasil angka-angka distribusi pendapatan seperti yang telah dikemukakan di atas. Sampai pada saat ada peneliti lain yang menghasilkan angka-angka yang lebih dapat dipercaya, maka angka­angka yang dikeluarkan BPS tersebut merupakan angka terwajar untuk dijadikan pegangan.

Dalam hubungan ini, pada saya, ada perasaan khawatir bahwa salah satu kelemahan beberapa pengamat kita adalah bahwa mereka seringkali lebih memusatkan perhatian kepada suatu lingkup yang relatif kecil, yang ada kekurangannya. Dan hasil pengamatan itu diproyeksikan untuk keseluruhan, sehingga kesimpulannya seolah-olah keseluruhannya serba-kurang adanya. Jadi kembali kepada masalah yang telah kita kemukakan di atas, perhatian seorang pengamat  dapat dipusatkan kepada anggota masyarakat yang termasuk dalam kelompok yang jumlahnya 30 juta tersebut. Gambaran yang diperoleh dengan pemusatan yang demikian akan lain dari keadaan keseluruhan yang sebenarnya. Ada juga kemungkinan lain. Kalau kebetulan kita berada di Jakarta misalnya, dan datang ke kawasan kumuh, kita akan dapat berkesimpulan: “Keadaan kita masih sangat jelek sekali! Kalau setelah itu kita pergi ke daerah elit, seperti Pondok Indah misalnya, maka kita dapat langsung berkesimpulan: “Keadaan masyarakat kita timpang sekali!”

Dalam melihat masalah kenegaraan, kita memang harus memperhatikan yang kecil-kecil. Namun apabila hendak memberikan keputusan (judgement) ataupun kesimpulan berkenaan dengan benar tidaknya seluruh usaha pembangunan yang telah dilaksanakan, kiranya kita harus melihatnya secara menyeluruh. Ini sama sekali tidak berarti bahwa kita boleh mengabaikan yang 30 juta itu. Sama sekali tidak! Bahkan masih harus dicari terus jalan agar yang 30 juta itu, dan juga yang pendapatannya masih sedikit di atas mereka, sesegera mungkin terentas dari keadaan mereka yang masih kurang. Dan untuk itu usaha-usaha pembangunan dengan perbaikan-perbaikannya perlu dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Dalam hubungan ini sukar dapat diterima pendapat yang kadang-kadang bernada sinis, mengejek seolah-olah mengatakan: “Sedikit-sedikit pembangunan, apa-apa pembangunan!” Yang masih cenderung berpendapat demikian seyogianya memperhatikan juga bahwa “pembangunan” merupakan istilah yang merangkum semua pengertian mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan agar tercapai tujuan nasional bangsa kita. Jadi apabila ada yang menganggap mengutamakan pembangunan itu tidak betul, rasanya keliru.

Tidak dapat dipungkiri kiranya bahwa keberhasilan pembangunan yang telah tercapai sampai sekarang pada hakikatnya adalah gambaran dari keberhasilan nasional kita dibawah pimpinan Bapak Presiden. Sudah pasti bahwa pembangunan bukan hasil usaha pemerintah saja. Memang pembangunan selama ini tidak dilakukan oleh pemerintah saja. Beberapa waktu yang lalu ada pengamat yang menyatakan bahwa pembangunan kita hanya dilakukan oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya menjadi penonton saja. Rasanya yang demikian itu merupakan suatu pendapat yang sulit diterima.

Pengamat tersebut juga perlu memperhatikan berapa besar peranan masyarakat (sudi baca: rakyat!) dalam pembangunan sekolah, rumah sakit, rumah ibadah. Lagi pula coba bayangkan, seandainya dalam pembangunan suatu bendungan misalnya, rakyat hanya bertindak sebagai penonton saja. Maka dalam keadaan serupa itu tentu saja bendungan itu hanya akan tinggal bendungan yang hanya dapat menyediakan air secara teratur dan tidak akan menghasil.kan apa-apa yang lain. Akan tetapi dalam kenyataannya berkat partisipasi para petani, produksi pangan meningkat. Partisipasi petani ini penting sekali. Mungkin dalam bentuk menaikkan pengetahuannya, dengan jalan mengikuti penyuluhan yang diberikan para petugas. Kemudian memperbaiki cara-cara berproduksi mereka, antara lain, dengan jalan memanfaatkan pupuk dan memanfaatkan air yang telah tersedia dengan teratur berkat adanya bendungan yang telah dibangun beserta saluran-salurannya. Lalu apa hasil dari semuanya ini? Produksi padi meningkat, dan produksi bahan-bahan lain juga meningkat. Pada tahun 1980 kita masih merupakan negara yang banyak sekali mengimpor beras. Empat tahun kemudian kita swasembada beras. Kalau hasil yang demikian besar itu bukan hasil dari partisipasi para petani juga, lalu hasil dari apa? Rasanya sukar untuk mengerti apa yang dimaksud dengan:”rakyat hanya menjadi penonton”.

Misal lain adalah kenyataan bahwa jalan-jalan merupakan prasarana. Apabila setelah jalan-jalan tersebut dibangun tidak ada pengusaha besar ataupun kecil yang berupaya membangun dan mengembangkan usaha di bidang pengangkutan, maka jalan-jalan yang telah dibangun itu akan bagaimana pemanfaatannya? Apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan para pengusaha pengangkutan itu bukan merupakan partisipasi dari pihak rakyat? Berkat partisipasi merekalah maka jalan-jalan dapat digunakan rakyat; para petani, para pengusaha dan lain-lainnya dapat berkesempatan mengangkut bahan dan hasil-hasil produksi mereka. Dengan demikian jangkauan mereka untuk memperoleh bahan produksi dan memasarkan hasil-hasil produksi mereka menjadi lebih luas. Sekali lagi, sulit untuk mengerti apabila ada yang mengatakan bahwa tidak ada partisipasi rakyat, atau bahwa rakyat hanya menjadi penonton saja. Jadi rasanya jelas bahwa kegiatan-kegiatan pembangunan selama ini bukannya tanpa partisipasi rakyat, melainkan bahkan makin berhasil mengembangkan partisipasi rakyat. Kiranya kalau masih ada pengamat yang menganggap bahwa dalam pembangunan ini tidak ada partisipasi rakyat, ia perlu memberikan penjelasan mengenai pengertian partisipasi yang dimaksudkannya.

Dalam hubungannya dengan kepemimpinan Bapak Presiden dalam pembangunan ada satu hal lagi yang layak mendapat perhatian. Kegiatan pembangunan dilaksanakan baik untuk kepentingan rakyat yang hidup di masa sekarang maupun untuk rakyat dari generasi mendatang. Dapat terlaksanakannya pembangunan yang demikian merupakan pencerminan kepemimpinan yang dapat melihat jauh ke depan tanpa mengabaikan kebutuhan masa sekarang.

Demikianlah maka Bapak Pembangunan kita mempunyai perhatian yang sangat besar atas usaha-usaha pelestarian lingkungan. Demikian pulalah maka setiap Pelita selama ini mesti mempunyai dua tujuan. Yaitu, pertama, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat yang makin merata dan adil; dan kedua, meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. Setiap Repelita kita sampai sekarang memang mencerminkan visi seorang pemimpin yang, disamping mampu melihat keadaan dan kebutuhan nyata yang ada sekarang, juga benar-benar sanggup melihat ke masa depan. Suatu masa depan yang maju untuk kepentingan anak-cucu, untuk kepentingan generasi-generasi yang akan datang. Kesejahteraan rakyat generasi sekarang harus meningkat, tetapi dalam hal-hal tertentu generasi sekarang juga perlu bersedia berkorban demi generasi mendatang. Pembangunan memang memerlukan pengorbanan. Jer basuki amawa bea. Itu tidak dapat dihindari. Dalam hubungan itu yang harus diusahakan ialah agar pengorbanan yang tidak dapat dihindari itu hendaknya diusahakan sekecil mungkin. Sedangkan yang secara langsung memberikan pengorbanan harus memperoleh imbalan sememadai mungkin. Dan itulah yang diusahakan pemerintah selama ini. Memang harus diakui adanya kekurangan-kekurangan, misalnya masih adanya pejabat yang berkecenderungan menyalahgunakan wewenangnya ataupun adanya kekurangan dalam pendekatan, yang masih harus diusahakan agar selalu dihindari.

Dalam hubungan ini pulalah hendaknya kita dapat melihat persoalan pembangunan Bendungan Kedungombo baru-baru ini, misalnya. Pembangunan Bendungan Kedungombo diperlukan baik oleh generasi sekarang maupun demi kepentingan generasi mendatang. Orang mengatakan bahwa yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Sesungguhnya dapat juga dikatakan bahwa mereka menjadi korban bukan karena mereka itu rakyat kecil, melainkan karena kebetulan mereka tinggal di lingkungan yang memang harus digenangi air. Mereka perlu pindah bukan karena mereka rakyat miskin. Orang­orang berada pun yang kebetulan tinggal di situ juga harus pindah.

Dari Bapak Soeharto sebagai seorang pemimpin kita dapat belajar untuk melihat segala persoalan dalam proporsinya yang benar dan dalam dimensi waktunya yang sesuai. Beliau dapat melihat persoalan-persoalan yang ada dalam rangka keseluruhan yang besar, dan memandangnya bukan dari segi masa sekarang saja, melainkan juga dalam-dimensi perkembangan waktu. Hal ini disamping tampak dari kepemimpinan beliau dalam bidang ekonomi, juga tampak sekali dari hasil-hasil kepemimpinan beliau dalam bidang politik. Di bidang politik dalam negeri, selama pemerintahan Orde Baru kita selalu dalam keadaan stabil yang dinamis[5], Pancasila makin kuat diterima rakyat Indonesia sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di bidang politik luar negeri, penghargaan bangsa lain terhadap bangsa dan negara kita makin tinggi. lni tampak jelas bukan saja dari perkembangan hubungan negara kita, baik dengan negara-negara tetangga maupun dengan negara-negara lain, melainkan juga dari perkembangan hubungan antar-bangsa yang makin sesuai dengan cita-cita nasional kita seperti yang ditunjukkan oleh hasil diplomasi beliau di Beograd dan Moskow bulan September tahun 1989 yang lalu.

Pak Harto selalu menekankan bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah suatu proses. Dan·tinggal landas yang akan kita mulai pada Repelita VI nanti juga merupakan suatu proses. Sedikit catatan mengenai tinggal landas, barangkali, ada manfaatnya.

Pendapat bahwa pengertian tinggal landas dapat dikiaskan dengan sebuah pesawat terbang yang akan tinggal landas kurang sepenuhnya tepat. Apalagi kalau pengkiasan itu diembel-embeli dengan kata-kata: “Jangan-jangan nanti setelah tinggal landas, masih ada yang tinggal di landasan”. Yang dimaksud dengan tinggal landas itu adalah proses yang akan memungkinkan kita untuk melaksanakan pembangunan secara lebih lancar dan lebih cepat atas dasar kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam masyarakat kita sendiri. Ini berarti bahwa dalam keadaan tinggal landas nanti memang belum akan tercapai semua yang menjadi tujuan nasional kita, sehingga usaha-usaha yang kita lakukan untuk  mencapai apa yang kita inginkan itu masih akan dilaksanakan terus. Pelaksanaan itu akan lebih lancar daripada di masa-masa lampau. Dapat diduga bahwa pada awal masa tinggal landas nanti, kemiskinan masih akan ada di negara kita, akan tetapi usaha-usaha untuk menanggulanginya akan berjalan secara lebih lancar sehingga masalah itu akan dapat teratasi secara lebih cepat daripada di masa-masa lalu.

Kalau kita kembali menggunakan analogi kapal terbang maka suatu pertanyaan dasar adalah: “Apakah yang dituju dalam proses tinggal landas itu?” Yang dituju adalah apa yang dinamakan mencapai cruising altitude. Apabila telah mencapai ketinggian itu; kita sudah mencapai tujuan tinggal landas. Demikian pula dalam pembangunan, pada tahap tinggal landas berbagai tujuan yang kita kehendaki masih harus dicapai. Dalam keadaan itu usaha-usaha pembangunan kita masih harus diteruskan, bahkan juga masih akan menghadapi masalah-masalah dan kekurangan-kekurangan.

Sebagai pengakhir beberapa ungkapah mengenai kepemimpinan Bapak Soeharto dalam bidang pembangunan ini, pada tempatnya kiranya apabila dikemukakan hal berikut. Sehubungan dengan tujuan pembangunan, yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, ada yang menghubungkannya dengan ungkapan dalam bahasa Jawa: tata tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku. Pengertian yang demikian, barangkali, tidak mengapa asal jangan dianggap bahwa apabila telah tercapai keadaan seperti itu maka kita lalu bisa hidup serba enak. Keadaan tata tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku itu mungkin benarakan ada apabila tujuan pembangunan telah tercapai. Akan tetapi untuk mempertahankan keadaan itu kelak kita perlu terus mengusahakannya tanpa henti-hentinya. Tidak dapat kita beranggapan bahwa seolah-olah apabila keadaan telah tercapai maka keadaan itu akan menjadi sesuatu yang given. Apalagi kita perlu ingat bahwa apabila tujuan tersebut telah tercapai, peranan sektor perindustrian di negara kita sudah akan sangat besar. Dan dalam keadaan tata tentrem dan seterusnya itu hanya dapat lestari apabila terus diusahakan dengn kerja keras oleh semua pihak.

Jadi pendapat bahwa apabila tujuan pembangunan telah tercapai maka kita akan boleh hidup enak-enak merupakan pendapat yang berbahaya. Dalam keadaan itupun kita juga perlu bekerja. Salah satu hal yang akan ada atau berlangsung apabila tujuan tersebut telah tercapai adalah seluruh rakyat pada umumnya akan memperoleh kesempatan untuk bekerja. Dengan bekerja, seluruh rakyat masing-masing akan memperoleh pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhannya, baik jasmaniahnya maupun rohaniahnya. Dalam keadaan itu, mungkin, masih akan ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, tetapi perbedaan itu tidak akan terasa terlalu mencolok, karena rakyat pada umumnya telah akan mampu memenuhi kebutuhannya akan barang dan jasa secara memadai. Dalam keadaan itu tidak akan ada rakyat yang diperlakukan dengan semena-mena. Kelembagaan hukum kita sudah tidak mengizinkan hal itu terjadi. Lagi pula dalam keadaan itu semangat Pancasila telah akan jauh lebih meresap dalam hati sanubari setiap insan Indonesia daripada sekarang. Tetapi dalam keadaan itu semua anggota masyarakat, katakanlah para petani, para karyawan perusahaan, pemimpin perusahaan, pegawai negeri, pimpinan pemerintahan, semuanya akan tetap harus bekerja keras secara efisien. Berdasarkah yang demikian itu, rasanya kurang sreg kalau ungkapan tata tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku, diberi pengertian seolah-olah kita akan dapat hidup enak-enak apabila tujuan nasional kita telah tercapai panjang. (Habis)

***



[1]     BS Muljana, ” Merencana Untuk Masa Kini Dan Masa Nanti “, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 470-486.

[2]     Menteri Muda Perencanaan Pembangunan Nasional/Wakil Ketua Bappenas dalam Kabinet Pembangunan V

[3]     World Development Indicators, Tabel 30, dalam World Development Report 1989

[4]     Redistribution With Growth, published for the World Bank and the Institute of Development Studies, University of Sussex, Oxford University Press, 1974

[5]     Mereka yang masih kurang mampu mehghargai makna stabilitas yang dinamis yang telah kita alami selama ini, silakan menengok ke negara-negara lain yang tidak stabil di kawasan dunia manapun juga dengan memperhatikan apa yang telah dialami rakyatnya

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.