AGAMA SANDARAN BATIN

AGAMA SANDARAN BATIN

 

 

Jakarta, Pelita

Kembali Presiden Soeharto menandaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat dalam rasa keagamaannya. Agama adalah satu-satunya sandaran batin yang dapat memberi rasa kedalaman hidup, baik dalam suka ditanya keberhasilan maupun dalam ujiannya kesulitan.

Dalam kesempatan meresmikan berbagai proyek pembangunan di Bengkulu Sabtu sore Presiden berpendapat, nilai-nilai moral dan spiritual yang diajarkan agama akan sangat memberi makna yang dalam bagi pembangunan yang dilaksanakan sebagai pengamalan Pancasila.

Sudah barang tentu sebagai umat yang beragama kita sangat menyadari bahwa agama telah membentuk masyarakat tentang makna hidup, dan tentang tata hubungan antar sesama baik dengan masyarakat, dengan alam maupun dengan yang transendental.

Dan satu hal yang sulit kita pungkiri bahwa agama merupakan suatu sumber daya yang kuat bagi keabsahan moral, dan sebagai tenaga penggerak bagi suatu masyarakat dan bangsa.

Oleh karena itu pulalah barangkali mengapa nenek moyang kita sejak dahulu kala senantiasa berpegang pada nilai-nilai agama. Di sana dirasakan adanya keteguhan pendirian dalam semangat keberadaan sebagai manusia, semangat keberadaan sebagai suatu bangsa dan semangat keberadaan dalam tegarnya budaya bangsa.

Barangkali bangsa Indonesialah sebagai bangsa yang tidak pernah silau oleh gemerlapnya kemajuan-kemajuan kebendaan. Kalau dikatakan bangsa Indonesia sedang membangun itu bukan berarti bangsa Indonesia telah silau dengan kebendaan. Pembangunan di sana semata-mata untuk mengisi kemerdekaan menuju kesejahteraan hidup yang Iayak dan sekaligus sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya.

Sebab bagaimana pun juga haruslah diakui, kehidupan yang hanya menekankan hidup dalam kebendaan serta serba kecukupan, tidaklah akan dapat memberi kedalaman batin dalam diri bangsa Indonesia.

Sadar akan hal tersebut kini bangsa Indonesia tengah membangun dalam dimensi keseimbangan antara pembangunan fisik dengan motornya teknologi dan pembangunan rohani dengan dasarnya yang kokoh yakni agama.

Kita lihat di mana-mana pembangunan gedung-gedung, jembatan, industri dll dibarengi dengan pembangunan tempat-tempat beribadah.

Dari acuan pemeliharaan lingkungan hidup disadari bahwa sistem-sistem sosio-teknologis, dewasa ini ban yak menimbulkan kerugian-kerugian ekologis, sedang disadari pula terbatasnya daya mampu sistem-sistem pendukung kehidupan yang dimiliki bumi.

Dengan rasa kesadaran tinggi itulah lantas bangsa Indonesia mengambil sikap keseimbangan dalam pembangunannya. Keseimbangan dalam fisik dan rohani. Karena agama merupakan potensi penyeimbang dari sebuah kekuatan pembangunan maka keberadaan agama harus benar-benar terlibat langsung dengan pembangunan itu sendiri. Keterlibatan agama dalam pembangunan memang tidak cukup hanya dengan bangunan fisik dalam bentuk rumah ibadah akan tetapi yang lebih murni adalah tindakan dan kelakuan manusia-manusia pembangunan itu sendiri.

Manusia pembangunan yang beragama mendasarkan diri pada ketulusan, keikhlasan bekerja untuk mencapai hasil maksimal. Peran agama akan benar-benar dirasakan sangat besar artinya bila manusia-manusia pembangunan melaksanakan agama tidak hanya dalam ucapan saja tetapi dalam sikap dan prilakunya sehari-hari.

Orang-orang beragama digambarkan sebagai orang-orang yang tahan uji dalam segala situasi. Pengaruh pembangunan ini sangat besar. Di sana berputar dana yang tidak kecil. Mereka yang kurang kuat mentalnya pasti akan tergiur melihat dana tersebut dan lantas ia melakukan tindak korupsi. Orang beragama yang kuat mestinya tidak melakukan korupsi.

Contoh lain, akibat pembangunan juga akan melahirkan lingkungan baru, budaya baru serta perubahan-perubahan dalam bersikap. Orang-orang beragama dapat diharapkan tidak mudah tergoyahkan oleh nilai-nilai baru tersebut. Ia tetap dalam keberadaannya yang semula mempertahankan budaya bangsa yang sejati. Agama harus benar-benar jadi motivator sekaligus sandaran batin bangsa.

 

 

Sumber : PELITA(04/07/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 563-564.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.