Kemantapan Dalam Keseimbangan (Bagian 1)[1]
Ali Alatas[2]
Pada tahun 1970 Bapak dan lbu Soeharto mengadakan kunjungan resmi ke Amerika Serikat. Selaku pejabat diplomatik di KBRI Washington DC, dengan pangkat Minister Councellor, saya diberi tugas untuk mengkoordinasi berbagai segi kunjungan itu. Kunjungan tersebut berlangsung cukup lama, sebab beliau tidak saja mengunjungi Washington DC, tetapi juga New York, Los Angeles, San Francisco dan daerah-daerah pedalaman di suatu negara bagian di Amerika Serikat bagian tengah. Di situlah saya mulai mengenal Pak Harto dari dekat, bercakap-cakap dalam rangka mempersiapkan segala sesuatunya, seperti persiapan untuk menghadapi anggota-anggota Kongres AS. Beliau ketika itu mengadakan pembicaraan dengan Presiden Amerika Serikat, dan bertemu-wicara dengan Komisi Luar Negeri Kongres. Diadakan pula pertemuan dengan kalangan pengusaha dan media massa di New York, di samping berbagai acara di kota-kota lain.
Setelah saya kembali dari Washington DC, saya ditarik lagi oleh almarhum Menteri Luar Negeri Adam Malik untuk menjadi pembantu dekat beliau. Dalam masa ini saya berkesempatan ikut serta dalam kunjungan kenegaraan yang dilakukan Pak Harto ke berbagai negara antara tahun 1970 dan tahun 1975. Diantaranya kunjungan ke Prancis, Belgia, Swiss, dan Itali. Saya juga ikut serta dalam kunjungan ke negara-negara tetangga kita, seperti Birma, Singapura, Australia, dan Filipina. Di waktu itu saya adalah Kepala Direktorat Penerangan dan Hubungan Kebudayaan, sekaligus juga juru bicara Departemen Luar Negeri. Akan tetapi, kemudian saya ditunjuk menjadi Kepala Sekretariat Menteri Luar Negeri. Pak Adam Malik pada waktu itu aktif sekali; kemana saja Pak Adam pergi, saya juga pergi, sehingga karena Pak Adam juga ikut dalam perjalanan-perjalanan Presiden, maka saya pun turut. Dalam perjalanan-perjalanan tersebut saya memperoleh kesempatan untuk mengenal kepribadian Pak Harto secara lebih akrab.
Kemudian, pada awal tahun 1976, saya ditempatkan di Iuar negeri lagi, sebagai Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa. Saya tidak lama dalam jabatan itu karena pada tahun 1978 Pak Adam Malik terpilih menjadi Wakil Presiden, menggantikan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Oleh karena itu saya ditarik pulang dan dikumandahkan ke kantor Wakil Presiden, menjabat sebagai Sekretaris Wakil Presiden, menggantikan Pak Selo Sumardjan.
Menduduki jabatan ini berarti bahwa saya erat berurusan dengan soal-soal kepresidenan, antara lain juga ikut menghadiri sidang-sidang kabinet sebagai staf pendamping Wkil Presiden. Di tahun-tahun itu saya sering ditugaskan untuk kembali ke Jenewa meneruskan tugas saya dalam perundingan dialog Utara-Selatan, memperjuangkan dibentuknya apa yang disebut “Dana Bersama” sebagai juru bicara dan perunding utama Kelompok 77 (kelompok negara-negara berkembang). Waktu itu sedang gencar-gencarnya perdebatan internasional di berbagai forum dalam rangka dialog Utara-Selatan. Yang sangat aktif dalam dialog itu, selain Menteri Luar Negeri Adam Malik; adalah Pak Widjojo yang pada waktu itu menjabat Menteri Koordinator bidang Ekuin. Saya sering mendapat tugas-tugas dan petunjuk-petunjuk langsung dari Pak Widjojo.
Pak Harto sendiri selalu mengikuti dari dekat seluk beluk perundingan tersebut. Beliau benar-benar menaruh perhatian besar terhadap perkembangan yang berkaitan dengan·dialog ini. Saya ingat, ketika saya kembali dari suatu perundingan, saya sesekali diajak Pak Widjojo menghadap Pak Harto. Setiap kali menghadap, saya selalu terkesan akan jangkauan perhatian dan penguasaan Pak Harto terhadap aspek-aspek permasalahan yang dilaporkan itu, kadang-kadang sampai yang sangat rinci pun.
Pada waktu Dana Bersama akhirnya berhasil disepakati, setelah liku-liku perjuangan selama kurang lebih empat tahun, maka pada sidang kabinet terbatas Ekuin berikutnya tanpa diduga-duga Pak Harto mempersilahkan saya duduk di meja rapat bersama menteri-menteri guna menyampaikan laporan langsung kepada sidang mengenai perkembangan perundingan, sampai berhasilnya dicapai kesepakatan mengenai Dana Bersama. Ketika itu saya merasa mendapat suatu kehormatan khusus. Sebab, laporan itu sebenarnya bisa saja disampaikan oleh Pak Widjojo, yang memang sudah saya berikan laporan lengkap sebelumnya. Namun Pak Harto rupanya menganggap perlu bahwa saya yang melaporkannya sendiri, kepada semua menteri Ekuin secara langsung. Dengan demikian tanpa sesuatu kata pun beliau menunjukkan kebesaran sifat kepemimpinan beliau yang dapat menghargai sesuatu pekerjaan yang telah berhasil baik dan penghargaan tersebut beliau perlihatkan langsung kepada pelakunya. Saya tidak akan dapat melupakan peristiwa ini, walaupun itu hanya berlangsung singkat saja.
Memang, berbicara mengenai sifat dan gaya kepemimpinan Pak Harto, ada beberapa hal yang sangat menonjol. Pertama adalah penampilan beliau yang senantiasa memperlihatkan ketenangan dan kemantapan sikap lahiriah yang bersumber pada keseimbangan batiniah yang nyata. Saya perhatikan bahwa beliau itu jarang sekali tergoncang dalam sikap tersebut, dalam arti menunjukkan emosi atau marah. Beliau selalu nampak tenang, walaupun mungkin saja hal-hal yang dilaporkan itu sesungguhnya amat menjengkelkan. Mungkin juga saya beruntung belum pernah menyaksikan beliau marah sekali. Sudah pasti ada kalanya beliau merasa marah atau jengkel, akan tetapi perasaan itu jarang sekali ditunjukkan. Beliau selalu bersikap seimbang sedemikian rupa, sehingga saya sampai kepada kesimpulan bahwa beliau itu benar-benar mempraktekkan falsafah Jawa, yaitu berkenaan dengan tiga “aja” yaitu: aja dumeh, aja gumunan, aja kagetan dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat menarik lainnya yang saya perhatikan pada diri Pak Harto adalah penguasaan beliau terhadap materi sesuatu permasalahan yang dilaporkan ataupun yang menjadi pengamatan beliau, baik dalam essensinya maupun dalam segi-segi rincinya. Hal ini sangat nyata, khususnya dalam persoalan ekonomi/pembangunan.
Di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri, banyak hal yang sebenarnya berada di Iuar prioritas perhatian beliau. Khususnya pada tahun-tahun pertama pemerintahan Orde Baru, fokus utama sudah jelas tertuju pada masalah-masalah pembangunan nasional, terutama pembangunan ekonomi. Namun, menurut pengalaman saya, begitu memasuki suatu masalah politik luar negeri yang dilaporkan kepada beliau ataupun yang sedang kita hadapi, beliau segera mendalami dan menguasai inti persoalannya. Dan dari petunjuk ataupun pengarahan yang diberikan, nampak sekali penguasaan tersebut dalam menempatkan penanganan dan pemecahan persoalan dalam konteks dan proporsi yang sewajarnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada tahun-tahun 1970 an salah satu sasaran utama dalam politik luar negeri kita adalah bagaimana mengamankan bantuan dari negara-negara maju tertentu yang tergabung dalam kelompok IGGI yang sangat kita perlukan demi keberhasilan pembangunan nasional. Namun di lain pihak, pada berbagai perundingan Utara-Selatan yang dalam kurun waktu yang sama sedang digencarkan itu, “lawan-lawan” kita justru adalah negara-negara IGGI tersebut, khususnya, Amerika Serikat, Jerman Barat, Inggris, Jepang dan lain-lain. Negara-negara inilah yang selalu bersikap kaku, dan mengambil posisi yang tidak dapat diterima oleh negara-negara berkembang (negara-negara “Selatan”), termasuk Indonesia. Kita harus mendebat mereka dalam masalah sikap seperti ini. Jadi, di sini sebenarnya kita menghadapi suatu dilema. Apalagi pada waktu itu Indonesia (dan saya pribadi) ditunjuk sebagai juru bicara dan perunding utama, mewakili kepentingan keseluruhan negara berkembang menghadapi kelompok negara maju yang dipimpin oleh tokoh-tokoh negara IGGI.
Dalam hal ini, Pak Harto memperlihatkan sikap kepempinan, kearifan dan pengertian mendalam beliau akan segi-segi serta perimbangan diplomasi multilateral yang sungguh mengesankan. Beliau secara tegas menentukan sikap kita menghadapi dilema tersebut. Yaitu, agar tidak ragu-ragu memperjuangkan apa yang menjadi prinsip perjuangan dan kepentingan dasar kita sebagai negara Non-Blok dan negara berkembang, agar tidak gentar menyatakan salah apa yang memang salah dalam pendirian negara-negara maju itu.
Namun dalam hal ini, diarahkan pula agar kita tidak melakukannya dengan gaya konfrontatif, bergembar-gembor atau dengan retorika yang berlebihan, yang hanya akan menjengkelkan lawan dalam perundingan, melainkan dengan pengajuan argumentasi yang berbobot, sikap yang teguh dalam pendirian tapi luwes dalam penyajiannya, yang kesemuanya bersumber pada kepercayaan akan kebenaran dan keadilan posisi kita. Dan inilah memang intisari diplomasi perjuangan Indonesia. (Bersambung)
***