Oemar Seno Adji: Pak Harto Tidak Mencampuri Hukum

Tidak Mencampuri Hukum

Oemar Seno Adji (Menteri Kehakiman antara lain dalam Kabinet Pembangunan I dan II; Ketua Mahkamah Agung 1974-1981)

Dalam rangka memberikan sumbangan untuk buku kenang­-kenangan hari ulang tahun Presiden Soeharto, yang jatuh pada tanggal 8 Juni 1991, saya ingin memberikan sebuah tulisan yang dapat melukiskan hubungan, baik pribadi maupun kedinasan, antara Bapak Presiden dan saya. Tulisan ini diharapkan dapat memancarkan kesan-kesan atau pandangan saya mengenai Jenderal (Purnawirawan) Soeharto dan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.
Dalam hubungan kedinasan, saya telah diangkat sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di UI sejak tahun 1959 sampai tahun 1981, dan kemudian di perpanjang lagi oleh Bapak Presiden Soeharto selama lima tahun, sampai tahun 1986, sebagai Guru Besar Luar Biasa. Saya diangkat sebagai Menteri Kehakiman dalam tiga kabinet (dari tahun 1966 sampai tahun 1974) dan kemudian diangkat sebagai ketua Mahkamah Agung (dari tahun 1974 sampai 1981).
Ketika saya masih memangku jabatan sebagai Jaksa Agung Muda dan kemudian di Mahkamah Agung, saya bergerak dalam bidang penegakan hukum (rechtshandhaving), sedangkan dalam tugas sebagai Menteri Kehakiman, disamping penerapan hukum, tugas kami juga meliputi pembentukan hukum (rechtsvorming).
Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah dan kepada Bapak Presiden Soeharto yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat bergerak dalam teori dan praktek hukum. Dalam hubungan ini dapat pula saya kemukakan bahwa di negara kita ini terdapat suatu sistem yang tidak kita jumpai pada beberapa negara lain, yaitu bahwa apabila seorang guru besar memasuki jabatan dalam pemerintahan, maka ia tidak harus meninggalkan profesoratnya di universitas. Jadi didalam sistem yang kita ikuti, mungkin terjadi perangkapan jabatan antara jabatan guru besar dan jabatan-jabatan negara.
Bapak Soeharto telah ditempatkan dalam limelight sejarah sebagai tokoh nasional dalam kerangka perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia, khususnya dalam peristiwa yang terjadi di sekitar Yogyakarta, dan perjuangan mengembalikannya kedalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dalam perjuangan yang berpusat di Yogjakarta itu, Bapak Soeharto telah memainkan peranan yang besar, disamping pemimpin-pemimpin nasional lain, seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono, Panglima Besar Sudirman. Ketika itu saya bertugas di Departemen Kehakiman, dan saya telah mendengar nama Bapak Soeharto, mulai dari Surakarta dan Yogyakarta. Pak Harto sebagai pejuang, loyalitasnya dan nasionalismenya tidak pernah diragukan.
Dalam kurun waktu yang panjang itu, saya telah beberapa kali melihat sifat Bapak Soeharto yang menonjol. Saya melihat bahw Bapak Soeharto selalu memperlakukan Bung Karno dengan penuh hormat, sebagai orang yang lebih lanjut usianya dan sebagai proklamator. Dalam perlakuan ini, saya melihat adanya sifat-sifat ketimuran dan sifat-sifat mulia yang terdapat dalam pewayangan. Setelah Bung Karno meninggal, saya melihat Bapak Soeharto menegaskan bahwa pahlawan itu banyak jumlahnya, namun hanya dua orang saja yang proklamator.
Juga saya perhatikan bahwa Bapak Soeharto telah melakukan beberapa terobosan dalam berbagai bidang. Di bidang politik luar negeri: penghentian konfrontasi dengan Malaysia. Kami mendengar bahwa tindakan ini tidak ditujukan pada Bung Karno, yang ketika itu masih menjabat Presiden, akan tetapi terhadap Subandrio. Disamping pembangunan politik, pembangunan ekonomi mendapat prioritas. Di bidang konstitusional: kembali kepada kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Dalam bidang perundang-undangan, hal ini memerlukan uitwerking (penjabaran) lebih lanjut.
Diketahui bahwa perbedaan pandangan antara Bung Karno dan Bapak Soeharto adalah dalam hal pendekatan terhadap paham komunisme/Marxisme dan Leninisme yang dianut PKI. Paham itu kemudian dilarang Ketetapan MPRS No. XXV /1966, tentang Pembubaran PKI, yang menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Ketetapan MPRS ini juga melarang rakyat Indonesia untuk menyebarkan dan mengembangkan komunisme itu. Pengaruh perbedaan pandangan ini tampak pada waktu dikemukakannya RUU Pemilihan Umum, mengenai persyaratan bahwa mereka yang terlibat dalam G-30-S/PKI, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak diperkenankan ikut dalam pemilihan umum.
Ketika dilakukan serah terima jabatan Presiden, dari Bung Karno kepada Bapak Soeharto, tampak jelas dalam peristiwa itu derajat martabat orang Indonesia sebagai orang timur. Dengan menghaturkan syukur kepada Tuhan, dan dengan dipenuhi rasa bangga dan haru, kami bersama seluruh anggota kabinet dapat menghadiri dan menyaksikan peristiwa tersebut. Dalam peristiwa itu tampak Bung Karno tersenyum. Beliau tidak memperlihatkan perasaan seseorang yang telah berkuasa lebih dari dua puluh tahun dan sekarang harus menyerahkan jabatan dan kekuasaan kepada orang lain. Sama sekali tidak diperlihatkan Bung Karno perasaannya yang biasanya bersifat ouvert dan kadang-kadang eksplosif. Saya menyaksikan bagaimana Bung Karno memasuki ruangan sidang dengan tersenyum, sedangkan Bapak Soeharto dengan anggota­anggota kabinet yang lain tetap memperlihatkan rasa hormat dan mangku rancang (melipat tangan di depan), tanpa memperlihatkan seolah-olah ada kemenangan politik. Saya berpendapat bahwa pengendalian emosi dan perasaan dalam momentum yang sangat menentukan itu, dengan jalan tetap menghormati orang yang sudah yuswa (sudah tua), seperti apa yang saya amati ketika itu antara Bung Karno, Bapak Soeharto dan anggota-anggota kabinet yang lain, meninggikan derajat martabat ketimuran kita, orang Indonesia. Adalah mengharukan dan membanggakan untuk dapat melihat dan meresapkan semuanya ini.
Hal yang demikian, saya lihat pula ketika Bapak Soeharto berada di depan Bung Hatta membicarakan masalah Bung Karno, dimana Bapak Soeharto menjelaskan bahwa pahlawan nasional itu banyak, akan tetapi hanya ada dua orang saja proklamator, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta. Penghormatan Bapak Soeharto yang sangat tinggi kepada kedua orang proklamator itu telah memungkinkan berhasilnya diambil sikap yang tepat dalam menghadapi masalah pemakaman Bung Karno, sesuai dengan posisinya sebagai proklamator. Beliau dimakamkan di luar Taman Pahlawan, dan ini sesuai dengan kedudukan beliau yang tinggi sebagai proklamator, dan sesuai pula dengan keinginan beliau yang telah dikemukakan sebelum beliau meninggal dunia. Bung Karno dikuburkan di Blitar, disamping makam bapak dan ibunda beliau, yang sangat beliau hormati dan cintai. Dalam hubungan ini dapat pula dikemukakan bahwa Bung Hatta juga tidak dikebumikan di Taman Pahlawan, melainkan di Tanah Kusir.
Dalam menghadapi orang-orang yang kurang mempunyai pengertian tentang masalah penguburan Bung Karno di Blitar itu, Bapak Soeharto menjelaskan bahwa ini adalah ketentuan pemerintah, dan mereka yang tidak menyetujuinya dipersilahkan untuk mengeduk kembali, jikalau sudah dikebumikan di Blitar. Demikianlah dikemukakan secara halus oleh Bapak Soeharto dalam menghadapi alasan-alasan yang dikemukakan orang-orang yang tidak mempunyai pengertian itu, dan tidak mau mengerti bagaimana posisi Bung Karno sebagai seorang proklamator, dan juga sebagai seorang yang sangat berbakti kepada orang tua, khususnya kepada ibunda beliau.
Kalau kita kembali kepada sejarah, kita mengetahui bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan kita kembali kepada UUD 1945, adalah suatu tindakan yang berdasarkan hukum tata negara darurat, yang dalam pembentukannya telah berperan banyak sarjana hukum yang terkemuka. Semenjak saat itu, mulai tampak adanya penyimpangan-penyimpangan dari undang-undang dasar, dimana menurut hukum, kekuasaan Presiden terpusat di tangannya. Dengan sentralisasi kekuasaan itu, Ketua Mahkamah Agung menjadi menteri, demikian pula para pimpinan DPR. Presiden dapat turun atau campur tangan dalam urusan pengadilan, dan dengan terus terang dinyatakan bahwa tidak terdapat kekuasaan kehakiman yang bebas. Ketentuan hukum tersebut dalam kenyataannya tidak pernah dilakukan.
Tekad Orde Baru yang pertama, dibawah pimpinan Bapak Soeharto, adalah mengadakan gerakan untuk kembali kepada kemurnian pelaksanaan UUD 1945. MPRS No. Xl/1966 tentang pemilihan umum menghendaki agar lembaga-lembaga permusyawaratan /perwakilan rakyat dibentuk dengan pemilihan umum. Sebelum itu Ketetapan MPRS No. X/1966 menyatakan bahwa apabila terjadinya penyimpangan, maka lembaga negara itu harus didudukkan kembali pada posisi dan fungsinya sesuai dengan UUD 1945. Demikian pula dapat kita ingat kembali bahwa Ketetapan No. XIX/ 1966 adalah mengenai peninjauan kembali produk legislatif negara di luar produk-produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
Semua ketetapan MPRS itu memperlihatkan kepada kita bahwa telah terjadi penyimpangan-penyimpangan dari UUD 1945, dan karenanya harus didudukkan dan ditinjau kembali, sehingga kita kembali kepada kemurnian UUD 1945. Kesemuanya ini memerlukan peraturan perundang-undangan, yang atas permintaan MPRS waktu itu, harus dilaksanakan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam bentuk rencana undang-undang yang diajukan dan ditetapkan oleh Presiden. Ia memerlukan suatu karya legislatif, yang dalam DPR itu ditangani oleh Menteri Kehakiman sebagai pembantu Presiden.
Kesan yang saya peroleh dari Bapak Soeharto dalam masalah­masalah hukum itu adalah bahwa beliau menguasai permasalahan hukum dalam “garis besarnya”, sedangkan perinciannya yang akan mengambil bentuk perundang-undangan beliau serahkan kepada para pembantu beliau, dan dalam penyelesaiannya diserahkan kepada DPR. Kesan ini adalah identik dengan kesan para menteri bidang perekonomian yang menyatakan bahwa Bapak Soeharto melihat hutannya, sedangkan para teknisi melihat pohonnya. Beliau mempunyai penglihatan secara global, dan didampingi pula dengan daya tangkapnya yang kuat, sehingga kadang-kadang beliau melihat persoalan dengan problema-problemanya yang terkait secara alamiah, namun tanggapan tersebut terkena pada titik-titik yang tepat.
Sebagai contoh dapat kami kemukakan bahwa pada saat hendak membicarakan RUU Pemilihan Umum, maka telah timbul masalah sistem yang hendak dipergunakan dalam pemilihan umum itu, dimana sebagian besar anggotanya ditentukan atas dasar pemilihan umum, sedangkan yang lainnya terdiri dari para anggota yang diangkat. Ketika itu, sistem pemilihan umum diserahkan sama sekali kepada menteri, sedang anggota-anggota yang diangkat adalah dari Presiden. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa keseluruhan pembicaraan di parlemen diserahkan kepada kebijaksanaan menteri.
Pernah kejadian bahwa pada suatu kali ada suatu golongan dalam DPR yang tidak menyetujui persentase anggota yang diangkat. Pemerintah (dalam hal ini Menteri Kehakiman) tetap berpegang kepada persentase tertentu, yaitu 20%, di DPRD; ketika itu rasanya agak rawan untuk menyebutkan alasan-alasannya dalam sidang terbuka. Pada akhirnya masalah ini dapat diselesaikan di luar persidangan dengan Presiden sendiri. Dalam kesempatah itu, Presiden menjelaskan alasan-alasan persentase itu bagi mereka yang diangkat di DPRD. Penjelasan Presiden itu berfungsi sebagai konfirmasi dari apa yang telah dikemukakan dalam sidang, sehingga pada akhirnya diterima oleh DPR.
Demikian pula saya sebagai Menteri Kehakiman diserahi wewenang sepenuhnya untuk meninjau kembali produk legislatif yang tidak sesuai dengan UUD I945, dalam rangka pelaksanaan legislatif dari Ketetapan MPRS No. XIX/I966. Prinsip-prinsip penting yang terkandung dalam RUU, beserta lampirannya, antara lain adalah:

  1. diakui adanya suatu legislative review, karena menyerahkan masalah peninjauan kembali produk-produk legislatif ini kepada Pemerintah bersama-sama dengan DPR-GR.
  2. mengkualifisir Penpres dan Perpres sebagai “produk darurat”.
  3. pencabutan, peningkatan sebagai Undang-undang, diangkat sebagai Undang-undang yang transitory sifatnya, Undang­ undang yang besoknya harus diubah dan disempurnakan seperti Undang-undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (No. II tahun 1983);
  4. memandang perundang-undangan, yang memperkenankan Presiden “turun campur tangan” dan tidak mengakui adanya kekuasaan kehakiman yang bebas, adalah bertentangan dengan UUD 1945.
  5. meliputi lebih dari 400 peraturan yang kesemuanya harus ditinjau.

Dalam hal ini, Bapak Soeharto memberikan kebebasan sepenuhnya kepada Menteri Kehakiman. Selanjutnya Menteri Kehakiman membicarakannya dengan Menteri Hankam, Menteri Dalam Negeri, disamping memperhatikan bahan-bahan yang berasal dari ilmu hukum, mendengar simposium, seminar-seminar dan lain­lain. Disamping itu didengarkan pula pendapat-pendapat dari staf Departemen Kehakiman, dan juga dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan BPHN, sebagaimana juga memperhatikan kompilasi dari RUU dan organisasi profesi seperti Persahi. Bapak Soeharto juga memberikan kebebasan sepenuhnya kepada Menteri Kehakiman untuk menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan undang-undang yang memungkinkan adanya campur atau turun tangan Presiden dalam urusan peradilan dan pernyataan tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas. Masalah ini sama sekali tidak pernah disinggung oleh Bapak Soeharto, dan beliau menyerahkannya seluruhnya kepada Menteri Kehakiman.
Waktu DPR membicarakan RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, yang kemudian menjadi undang-undang, pernah timbul kesan kurang adan:ya pengertian pada kelompok-kelompok tertentu. Akan tetapi, dengan bantuan kalangan tokoh agama dari dalam dan luar DPR, dengan segala minat dari Bapak Soeharto, persoalan ini dapat diatasi dengan baik. Hal ini juga berkat intelegensi dan kearifan Jenderal Soemitro, Sekretaris Negara, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan pimpinan DPR. Sebagai konklusi keseluruhan dapat dikatakan bahwa dalam perencanaan dan penyelesaian undang-undang di DPR, Bapak Soeharto telah memberikan keleluasaan yang cukup. Campur tangan dari Bapak Soeharto hanya terjadi, jikalau hal yang demikian tidak dapat dihindarkan.
Perpindahan fungsi saya dari Menteri Kehakiman menjadi Ketua Mahkamah Agung memerlukan pemikiran yang mendalam. Hal ini berarti bahwa tugas saya beralih dari tugas legislatif, yang mengurus perencanaan hingga penyelesaian sampai menjadi perundang-undangan, menjadi tugas judikatif, dengan menyandarkan diri pada interpretasi dan aplikasi hukum yang diajukan oleh Bapak Soeharto, yang merupakan eksekutif tertinggi, nominal dan real.
Dari pengalaman saya sebagai Menteri Kehakiman, saya berusaha untuk tidak mempengaruhi jalannya peradilan; kami memandang Departemen Kehakiman sebagai unsur dari rangkaian administratif mengenai hukum. Dalam rangka peralihan fungsi ini, saya mengajukan beberapa soal kepada Bapak Soeharto, sehingga dengan begitu saya dapat diberi waktu untuk memikirkan dan mempertimbangkan masalah peralihan fungsi ini.
Pertanyaan pertama yang saya ajukan adalah mengenai masalah apakah saya mempunyai kemampuan teknis untuk mengisi tempat para pendahulu, yang sejak dari fakultas dan universitas selalu bergerak dalam pengadilan mulai dari tingkatan yunior hingga mencapai tingkat tertinggi sebagai Ketua Mahkamah Agung. Hal ini saya kemukakan karena pengalaman kami sebagai hakim terbatas pada beberapa bulan belaka, sedangkan pengalaman lainnya adalah di Kejaksaan Agung, universitas dan Departemen Kehakiman.
Pertanyaan kedua yang saya ajukan kepada beliau adalah apakah pandangan bahwa setiap guru besar dapat memimpin Mahkamah Agung, pada hal tugasnya lebih luas sifatnya dari mata pelajaran yang dipegang oleh guru besar yang bersangkutan. Pertanyaan ketiga adalah apakah saya sebagai orang yang berasal dari luar pengadilan dapat diterima oleh para hakim yang harus saya pimpin dengan menyimpang dari sistem karir bagi para hakim.
Jawaban yang diberikan Bapak Soeharto terhadap pertanyaan­pertanyaan yang saya ajukan itu adalah jawaban yang karakteristik dari beliau dan tegas. Beliau mengatakan bahwa masalah akseptabilitas saya sebagai orang yang berasal dari luar pengadilan dari pihak para hakim adalah tanggungjawab Bapak Soeharto sendiri sebagai Mandataris. Sekalipun demikian, saya mohon waktu untuk dapat mempertimbangkan peralihan fungsi ini. Waktu itu saya gunakan untuk minta pertimbangan dan pendapat dari beberapa anggota keluarga, teman-teman dan beberapa orang mantan dari Mahkamah Agung. Kesimpulan yang dapat saya tarik dari semua konsultasi ini adalah bahwa “pilihan” yang telah dilakukan Bapak Soeharto itu adalah tepat.
Peralihan tugas itu saya sertai pula dengan usaha agar saya terus belajar, dengan tujuan untuk mengurangi segala kekurangan saya dalarn bidang peradilan, berdasarkan keyakinan bahwa belajar itu tidak ada hentinya. Kegiatan studi ini saya lanjutkan pula setelah saya meninggalkan Mahkamah Agung, yaitu dengan bergerak dalarn bidang pendidikan dan bantuan hukum. Setelah melakukan semua usaha itu, barulah saya datang menghadap kepada Bapak Soeharto untuk menyampaikan bahwa saya dapat memenuhi permintaan Bapak Presiden Soeharto itu.
Mahkarnah Agung adalah puncak tunggal kekuasaan kehakiman yang memiliki aspek-aspek, baik dalam pengertian dan perumusan maupun dalarn pelaksanaannya. Ini merupakan ketentuan konstitusional yang perlu dijunjung tinggi. Statusnya yang seperti ini memang dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi orang justisial maupun di luar justisial.
Berdasarkan pengalaman selama di Mahkamah Agung dapat saya kemukakan bahwa saya tidak pernah diminta keterangan mengenai suatu perkara yang sedang diperiksa atau diputus pengadilan. Selama itu Bapak Soeharto tidak pernah memanggil atau meminta saya datang untuk membicarakan sesuatu perkara yang mungkin pada suatu waktu tertentu sedang mendapat perhatian atau sorotan masyarakat. Saya tidak pernah melihat adanya kecenderung­ an dari pihak beliau untuk ikut mernberikan pengaruh terhadap jalannya peradilan. Juga tidak pernah terdengar pernyataan Bapak Soeharto di muka umum, atau di hadapan pers dan media massa, mengenai suatu perkara, yang kiranya dapat mempengaruhi atau menilai pemeriksaan suatu perkara.
Apabila misalnya pernyataan-pernyataan seperti itu —qoud non— dilakukan oleh Bapak Soeharto, maka hal itu bertentangan dengan ketentuan konstitusional mengenai hak untuk memperoleh pemeriksaan pengadilan yang baik, atau fair trial dan fair administration of justice, yang merupakan hal yang inherent dalarn kekuasaan kehakiman yang bebas. Karena itu saya melihat, selama saya memegang pimpinan di Mahkamah Agung itu, bahwa ketentuan konstitusional mengenai kekuasaan kehakiman yang bebas tersebut sepenuhnya dihormati Bapak Soeharto.
Tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-­dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, sehingga benar­benar mencerminkan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Dalam hubungan ini dapat saya kemukakan bahwa selama menjalankan tugas peradilan di Mahkamah Agung, tidak ada suatu interference pun yang pernah terjadi dari pihak Bapak Soeharto terhadap kebebasan hakim. Bapak Soeharto mempunyai pengertian yang baik, baik secara institusional maupun pribadi, terhadap kebebasan yang mempunyai asas freedom for dan freedom from. Beliau tidak pernah mengadakan penilaian terhadap hakim dalam tugas fungsionalnya, yang disalurkan melalui media massa.
Dan akhirnya, kesan-kesan saya terhadap Bapak Soeharto sebagai pribadi, selama saya berada di badan eksekutif dan badan yudikatif. Saya berpendapat bahwa kata-kata yang terdapat dalam buku The Smiling General adalah ciri khas dari Bapak Soeharto, bukan saja dalam keadaan beliau sebagai jenderal, akan tetapi dalam jabatan apa pun yang dipangku beliau. Beliau adalah seorang yang andap asor (rendah hati), seorang introvert yang tidak mudah memperlihattkan pikirannya. Beliau adalah orang yang memegang teguh pandangan beliau dengan keras, mempunyai kemampuan dan dedikasi serta memiliki kenegarawanan (statesmanship) dan beliau adalah seorang yang mempunyai kepercayaan diri yang besar. Namun kadag­-kadang dalam sikap pribadi, beliau adalah seorang yang tidak mudah dimengerti. Beliau adalah juga seorang yang kejawen (memegang teguh adas istiadat Jawa) asli, ya menonjol, dan sangat mengutamakan kepentingan keluarga.
Saya perhatikan bahwa kehidupan keluarga beliau adalah berbahagia, sehingga pada setiap kali saya mengawinkan anak saya, saya selalu memohonkan doa pangestu dari beliau. Dalam peristiwa perkawinan seperti itu, yang saya mohonkan pangestunya adalah mereka yang saya lihat berbahagia atau berhasil dalam perkawinan, seperti misalnya Bung Hatta, Bapak Jenderal Nasution, Bapak Adam Malik; yang tidak pernah saya tinggalkan adalah Bapak Soeharto.

***

Prof. Oemar Seno Adji, SH, “TidakMencampuriHukum”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 669-678.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.