APAKAH KITA SUDAH SIAP?

APAKAH KITA SUDAH SIAP?

DALAM sambutan tertulisnya pada pembukaan Rekernas Departemen Agama, Presiden Soeharto menggambarkan perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia di masa-masa mendatang.

Di tahun-tahun yang lalu kita semua telah mengalami bahwa pembangunan membawa perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

Dengan peningkatan pembangunan, yang antara lain akan berarti makin besarnya peranan industri dan makin menciutnya peranan pertanian, maka di tahun-tahun mendatang akan terjadi perkembangan yang lebih pesat dan perubahan yang lebih besar dalam masyarakat kita.

Presiden Soeharto mengingatkan kita bahwa perkembangan dan perubahan dalam masyarakat itu berarti adanya pergeseran berbagai nilai, seperti kini telah mulai dirasakan. Pergeseran nilai-nilai itu tentu akan makin hebat lagi di waktu yang akan datang.

Kita semuanya mengetahui banwa perubahan dan pergeseran nilai-nilai dapat menimbulkan berbagai macam pertentangan dan kekosongan jiwa dalam masyarakat.

Gejala-gejala peningkatan kriminalitas dan kekerasan yang akhir-akhir ini nampak agaknya berhubungan juga dengan proses2 perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang berjalan dengan cepat itu.

Apakah kita sudah siap untuk menghadapi perubahan yang makin pesat dan pergeseran nilai-nilai yang lebih besar di waktu mendatang apabila kita meningkatkan pembangunan kita?

Dalam menghadapi perubahan dan pergeseran nilai-nilai di waktu mendatang itu, Presiden Soeharto mengharapkan agar agama-agama menjadi modal budaya yang dapat memberikan ketahanan mental dan spiritual kepada bangsa kita.

Dalam hal ini Presiden Soeharto melihat tugas yang berlainan namun saling berhubungan antara Departemen Agama dan lembaga-lembaga keagamaan.

Kepada para pejabat maupun karyawan Departemen Agama Presiden menyerukan agar selaku aparat pemerintah mereka menyadari fungsi dan kedudukannya dalam menangani urusan keagamaan sebagai pelaksana ketentuan UUD kita, dalam menangani urusan keagamaan dan melayani kepentingan umat yang menganut berbagai agama di negeri kita ini.

Sedangkan dari lembaga-lembaga keagamaan diharapkan oleh Presiden Soeharto agar mereka mampu menjadi pendorong kearah kemajuan masyarakat Indonesia.

Dalam sejarah bangsa-bangsa memang kita lihat bahwa agama-agama dapat menjadi sumber motivasi bagi kemajuan. Tetapi sebaliknya agama-agama dapat juga menjadi penghalang bagi kemajuan. Dalam hubungan inilah harus kita tempatkan tuduhan kaum komunis bahwa agama adalah candu bagi rakyat.

Kita juga mengetahui bahwa dalam sejarah beberapa bangsa agama-agama menjadi sumber bagi pertentangan-pertentangan yang tak ada habis-habisnya.

Dalam Negara Pancasila yang di waktu mendatang akan meningkatkan pembangunannya, yang akan mengakibatkan perubahan dan pergeseran nilai-nilai, maka yang diharapkan oleh Presiden ialah agar agama-agama menjadi sumber motivasi bagi kemajuan dan sumber kerukunan. Atau dalam bahasa Pancasila agar agama-agama itu ikut mendorong pengamalan Persatuan Indonesia, yaitu sila ketiga dalam Pancasila dan jangan menjadi sumber bagi perpecahan.

Kita mengharapkan agar Departemen Agama maupun lembaga-lembaga keagamaan dalam masyarakat kita memperhatikan secara sungguh-sungguh harapan yang terdapat dalam kata sambutan Presiden Soeharto itu dengan mengembangkan pemikiran yang kreatif.

WAKTU Eropa Barat mengalami transformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, maka kita melihat bahwa agama, dalam hal ini agama Kristen, memerlukan waktu yang cukup lama dalam mengembangkan pemikiran yang kreatif, untuk menghadapi perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang berlangsung dalam masyarakat.

Agama-agama di Indonesia akan menghadapi tantangan yang sama dengan makin besarnya peranan industri dan makin menciutnya peranan pertanian dalam rangka peningkatan pembangunan kita di waktu mendatang.

Dalam hubungan itu pemah ada saran agar nama Departemen Agama diganti menjadi Departemen Keagamaan.

Selain lebih tepat dari segi ilmu bahasa, maka perubahan nama seperti itu akan lebih menegaskan kedudukan dan fungsi yang berlain-lainan namun saling berhubungan, antara Departemen Keagamaan sebagai aparat pemerintah dari Negara Pancasila dan lembaga lembaga keagamaan yang memang didirikan oleh masing­masing golongan agama dalam masyarakat.

Dengan perubahan nama seperti itu maka tidak mungkin timbul kesan seolah-olah pejabat-pejabat Departemen Keagamaan itu mempunyai kepribadian yang mendua atau “split personality”, yaitu ada kalanya berpikir dan berbicara sebagai aparat pemerintah dari Negara Pancasila dan ada kalanya berpikir dan berbicara sebagai wakil atau juru bicara dari suatu agama. (RA)

Jakarta, Sinar Harapan

Sumber : SINAR HARAPAN (15/06/1982)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 731-733.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.