AR Soehoed: Pak Harto Tidak Pernah Jauh Dari Rakyat

Tidak Pernah Jauh Dari Rakyat

AR Soehoed (Menteri Perindustrian dalam Kabinet Pembangunan III)

Nama Bapak Soeharto banyak kali saya dengar disebut-sebut di masa perjuangan kemerdekaan di Yogyakarta. Bahkan serangan malam hari yang dilakukan dibawah pimpinan Pak Harto pada tanggal 1 Maret 1949 saya saksikan sendiri, tanpa dapat berbuat apa-apa, sebab saya sebagai perwira Angkatan Udara RI tidak sempat bergabung dengan kesatuan. Kekacauan terjadi didalam komando Markas Besar Angkatan Udara ketika Belanda melancarkan aksi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Hanya segelintir anggota Angkatan Udara yang dapat bergabung dalam kesatuan, dan sebagian besar terpencar tidak menentu, setelah Pangkalan Udara Maguwo mengalami pukulan pertama serangan tentara Belanda. Markas Besar Angkatan Udara di Terban Taman kacau balau dalam gerakan maju tentara Belanda dari Maguwo kearah Jetis, Yogyakarta, dan banyak perwira terkepung di asrama Hotel Tugu, termasuk saya sendiri. Saya dapat meloloskan diri dan sambil menyusur jalur Kali Code, akhirnya saya dapat bersembunyi,di kompleks Paku Alaman.
Dari sini saya dapat melihat sekilas dan mendengar serangan yang dilakukan semalaman sampai mendekati daerah sekitar Paku Alaman. Maka lebih santer lagi disebut-sebut nama Pak Harto, yang waktu itu, kalau tidak salah, masih berpangkat letnan kolonel. Sesudah itu saya tidak mendengar lagi tentang nama Soeharto, terkecuali didalam pemberitaan-pemberitaan tentang penumpasan pemberontakan di Sulawesi dan pembebasan Irian Barat, sampai pada suatu malam kira-kira tahun 1964. Malam itu saya diundang pada acara selamatan khitanan di suatu keluarga kenalan baik saya di Jalan Haji Agus Salim, di sudut bundaran Jalan Irian. Saya yang pada waktu itu sudah berumah di Jalan Maluku, mendapat tempat duduk bersebelahan dengan sepasang suami isteri yang tampaknya cukup ramah dan ternyata tinggal di seberang rumah keluarga yang sedang mengadakan selamatan itu .
Sebagai tetangga di dalam Rukun Warga yang sama, saya memperkenalkan diri kepada sepasang suami-isteri itu, yang hanya memperkenalkan diri sebagai Soeharto, tanpa tambahan uraian jabatan atau pangkat. Saya sendiri mulai bercakap-cakap dengan kenalan baru itu tentang segala macam hal sampai masa perjuangan yang lalu di Yogyakarta. Pak Harto pun cukup ramah, akan tetapi jawaban-jawaban yang beliau berikan singkat-singkat saja, biarpun dibarengi senyum, seakan-akan segan untuk mengungkapkan terlalu banyak pada seseorang yang baru dikenalnya.
Saya merasa bahwa kenalan baru ini bukan sembarang orang; dari senyum dan keramah-tamahan beliau, saya mendapat kesan bahwa beliau adalah seorang anggota Angkatan Darat yang sudah pensiun. Tidak sedikit pun terkilas dalam ingatan saya untuk menghubungkan nama beliau dengan Operasi Trikora dalam pembebasan Irian Barat. Mungkin pada waktu itu perhatian saya terhadap masalah masalah kenegaraan agak kurang, setelah pengalaman pahit yang saya alami dalam ”Affair Suyono-Suryadarma” di Angkatan Udara. Sebenarnya apa yang disebut affair itu tak lain daripada suatu usaha dari beberapa perwira untuk membendung gejala penyusupan ideologi komunis kedalam tubuh Angkatan Udara. Oleh karena itu mendengar nama Soeharto pada waktu itu tidak menimbulkan pada saya sesuatu asosiasi ke berbagai peristiwa politik dan militer dalam tahun-tahun itu.
Pada akhir acara saya bersalaman sebagai sahabat. Sungguhpun baru saja berkenalan, bagi saya ketika itu Pak Harto bagaikan sahabat lama yang baru bertemu kembali. Demikianlah pertemuan pertama saya dengan Bapak dan Ibu Soeharto.
Bila malam perkenalan pertama ini saya renungkan kembali, maka yang paling saya ingat adalah senyum ramah percakapan yang lancar dan menarik, akan tetapi diliputi dengan suatu tirai keterbatasan, seakan-akan tiap jawaban diukur dan diucapkan secukupnya saja. Didalam pengalaman saya berhubungan dengan Pak Harto beberapa tahun kemudian, saya menyadari bahwa inilah pencerminan dari salah satu watak khas Pak Harto, yang senantiasa mengontrol ucapan-ucapannya, dan tidak melepaskan kata yang berkelebihan atau yang disertai emosi. Bukan berarti bahwa beliau tidak pernah marah, sesuatu yang telah saya alami beberapa kali, akan tetapi didalam amarah inipun tetap tercermin kemampuan pengontrolan perasaan.
Sewaktu Orde Baru mulai ditegakkan, saya yang ketika itu berwiraswasta sebagai insinyur konsultan, amat gembira oleh karena pada akhirnya ideologi komunis, yang sudah mulai kuat didalam tubuh bangsa kita, dapat dimusnahkan. Bagi kawan-kawan yang bersama-sama dengan saya meninggalkan Angkatan Udara, peristiwa tersebut mempunyai arti khusus pula, sebab didalam tragedi nasional tahun 1965 itu, akhirnya terbuka juga kebenaran yang kita perjuangkan pada tahun 1953 di dalam Affair Suyono-Suryadarma.
Mendengar kemudian, bahwa Mayor Jenderal Soeharto telah memegang tampuk pimpinan negara, maka barulah saya sadar siapa yang saya jumpai pada malam khitanan, belum sampai dua tahun yang lalu itu. Lahirnya Orde Baru dibawah pimpinan seorang miiiter bagi saya menimbulkan harapan bahwa akhirnya ada tangan keras yang mudah-mudahan dapat membawa negara ‘kembali kepada rel disiplin nasional dengan suatu tatanan negara yang berdasarkan aturan, loyalitas yang bulat serta kerelaan untuk bekerja keras didalam menunaikan tugas. Harapan ini telah tertanam didalam jiwa raga saya selama pendidikan dan latihan militer yang saya jalani satu setengah dasawarsa yang lalu.
Sungguhpun demikian saya tidak mempunyai rencana untuk ikutserta secara aktif di dalam perjuangan pembangunan Orde Baru; sampai pada suatu hari melalui Saudara Eddy Kowara, kawan sekolah saya di Bandung, saya diminta datang oleh Pak Sanusi Hardjadinata, Menteri Utama Industri dan Pembangunan. Pak Sanusi telah saya kenai sebelumnya ketika beliau menjadi Gubernur Provinsi Jawa Barat, sedangkan saya memimpin pembangunan pangkalan udara baru di Margahayu, sebelah selatan kota Bandung. Beliau meminta saya untuk menjadi penasihat beliau dan saya me­ nerimanya atas dasar part-time, sambil terus memimpin biro insinyur saya.
Pada tahun berikutnya saya diminta untuk mencurahkan seluruh waktu dan tenaga pada pembangunan nasional. Untuk itu diminta pula agar saya menutup sementara usaha saya yang pada waktu itu sudah mempunyai delapan puluh karyawan. Dengan persetujuan kawan-kawan, maka usaha PT Sendi Bangunan dibekukan, barang-barang inventaris dibagi-bagikan antara para pekerja yang kemudian masing-masing meneruskan usaha dalam beberapa kelompok kecil.
Tidak lama kemudian struktur pemerintahan diubah dan Pak Sanusi meninggalkan jabatan beliau. Saya sendiri tetap berkantor di Jalan Cut Mutiah 7 dengan tugas untuk melaksanakan Undang­-undang Penanaman Modal Asing yang baru dikeluarkan pada awal 1967. Ketika itu tiada hubungan apapun antara saya dengan Pak Harto, akan tetapi setelah mendapat clearance melalui interogasi dengan Pak Sudjono Humardhani, saya berangsur-angsur masuk kedalam arus perjuangan Orde Baru; Oleh sebab itu saya mulai berkenalan dengan Pak Ali Murtopo dan perwira-perwira lain di lingkungan Pak Harto, beberapa diantaranya sudah saya kenal sejak tahun lima puluhan.
Dari Pak Sudjono saya mendapat briefing-briefing pertama tentang keinginan dan pandangan Pak Harto, khususnya di bidang pembangunan ekonomi. Dengan Pak Ali Murtopo saya banyak bertukar, pikiran tentang strategi pembangunan, selain tentang masalah strategi dilihat dari segi sekuriti nasional dan internasional. Melalui beliau beliau inilah saya mendapat kesempatan berhubungan langsung dengan Pak Harto, didalam tahap-tahap permulaan, terutama untuk membicarakan berbagai proyek swasta dalam rangka Undang undang Penanaman Modal Asing. Sejak semula saya memperhatikan betapa besar perhatian beliau akan peranan modal swasta asing didalam pembangunan ekonomi nasional.
Pada waktu itu saya belum begitu mengenal pribadi beliau serta cara-cara mengajukan dan membahas berbagai masalah dengan beliau. Sikap saya pada permulaan semata-mata didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan bisnis, suatu sikap yang berkembang dalam diri saya selama dua belas tahun berwiraswasta. Didalam pembahasan-pembahasan ini saya terkesan akan cepatnya beliau menangkap pandangan-pandangan saya dan cepat pula dapat memberi tanggapan. Sering terjadi banyak proyek terbentur dan cenderung kandas didalam birokrasi karena kekakuan dalam pelaksanaan kebijaksanaan diantara instansi-instansi. Akan tetapi, dalam hal Pak Harto, beliau dengan cepat memahami masalah-masalah demikian, sehingga tidak sedikit proyek yang akhirnya dapat diselesaikan berkat petunjuk beliau.
Kebijaksanaan umum didalam masalah penanaman modal asing adalah bahwa bagi tiap usaha penanaman modal asing, betapa kecil pun, senantiasa harus ada penyertaan pihak Indonesia. Namun, bagi off-shore industries, bidang usaha yang pada waktu itu belum begitu dikenal dan pada dasarnya merupakan pemanfaatan tenaga kerja Indonesia, serta tanpa mempunyai pengaruh langsung terhadap ekonomi nasional, tampaknya persyaratan penyertaan Indonesia justru menjadi hambatan, sehingga tidak akan ada usaha semacam itu yang bersedia masuk ke Indonesia. Padahal saat itu usaha-usaha demikian dapat membuka lapangan kerja baru dengan cepat.
Oleh karena banyak instansi tetap hendak bertahan pada persyaratan pengikutsertaan Indonesia, maka saya membawa masalahnya langsung kepada Bapak Presiden. Bagi beliau tidak sulit untuk melihat kurang relevannya kebijaksanaan ini terhadap off-shore industries itu, justru pada saat masalah lapangan kerja demikian penting bagi Indonesia. Industri-industri ini kemudian langsung diberi pengecualian setelah Pak Harto sendiri turun tangan. Begitu pula pada waktu merundingkan investasi besar yang pertamina di bidang industri, yakni proyek Pabrik Semen Cibinong. Petunjuk Pak Harto pulalah yang dapat menyisihkan kendala, berupa berbagai persyaratan, sehingga kita berhasil dengan pembangunari industri semen pertama di daerah Cibinong. Industri semen ini kemudian melebar sehingga membuat daerah Cibinong menjadi salah satu pusat industri semen terbesar di Asia Tenggara.
Didalam proses modernisasi ekonomi melalui industri memang ban yak timbul hal-hal baru yang tidak jelas atau sama sekali belum tercantum didalam peraturan-peraturan. Didalam keadaan demikian banyak kali timbul keragu-raguan diantara instansi, yang akhirnya memerlukan petunjuk Kepala Negara. Namun demikian tidak selalu usul dan saran saya mendapat restu Pak Harto. Banyak juga usul saya yang ditolak dan berangsur-angsur saya sadari apa yang menjadi pokok pertimbangan beliau.
Didalam tanggapan dan penilaian beliau, beberapa kali saya melihat betapa besar perhatian beliau terhadap rakyat kecil, khususnya pengusaha dan petani kecil. Hal ini saya alami antara lain di dalam pembicaraan tentang suatu proyek pengolah lada di Lampung yang akan dilakukan oleh perusahaan bumbu-bumbu SB yang terkenal di Jepang. Sungguhpun saya yakin akan prospek positif dari­pada usaha pengolahan rempah-rempah ini menjadi bumbu-bumbu siap pakai, Pak Harto khawatir, bahwa adanya industri besar ini dapat menguasai nasib para petani lada yang pada waktu itu baru mulai hidup kembali. Oleh sebab itu proyek ini ditolak beliau.
Keadaan yang senada saya alami sewaktu pabrik Takasago, suatu pabrik kimia dari Jepang, hendak melakukan penyulingan minyak cengkeh di Jawa Tengah. Di sinipun Pak Harto menolak industri yang beliau perkirakan akan•merugikan kepentingan petani cengkeh. Hanya setelah diperoleh ketegasan, bahwa Takasago memiliki dan akan melaksanakan teknologi ekstrasi minyak cengkeh dari daun dan bukan dari bunga, maka penolakan ini dicabut. Kepentingan rakyat kecil rupanya merupakan dasar penilaian yang paling utama bagi Pak Harto, biarpun perhitungan rasional dapat membuktikan berbagai keuntungan ekonomis.
Berkat banyaknya proyek-proyek baru yang timbul, baik di dalam rangka penanaman modal asing maupun modal dalam negeri, pada awal tahun tujuh puluhan, maka hubungan saya dengan Pak Harto lebih rapat, ditambah lagi dengan upacara-upacara peresmian pembukaannya. Pada suatu hari saya mendampingi Bapak dan Ibu Soeharto yang mengadakan peninjauan keliling dengan bus pada peresmian tahap pertama pabrik semen Indocement. Ini merupakan salah satu penanaman modal dalam negeri yang terbesar pada waktu itu. Sebagai ahli teknik, tanpa sadar saya memberi komentar agak negatif terhadap beberapa bagian konstruksi baja, yang menurut hemat saya kurang sempurna. Tiba-tiba Ibu Tien Soeharto menyeletuk: “Ya, kurang-kurang sedikit, tetapi milik nasional.” Pak Harto hanya senyum-senyum kecil.
Dalam hubungan-hubungan inilah, saya dapat mempelajari pribadi dan suasana lingkungan Pak Harto sehingga saya dapat memahami ciri-ciri khas kepribadian beliau. Hubungan saya dengan beliau tidak selalu mulus. Bahkan pernah saya mengalami amarah beliau, sewaktu saya mencetuskan suatu gagasan strategi pembangunan yang berlandaskan pada pusat-pusat pertumbuhan ekonomi –growth centres– yang oleh beberapa pihak pada waktu itu, sekitar pertengahan tujuh puluhan, ditafsirkan sebagai tantangan terhadap Repelita II. Padahal gagasan saya justru dimaksud sebagai suatu cara untuk melaksanakan apa yang digariskan didalam Repelita II itu. Tafsiran yang negatif ini tampaknya sampai kepada Kepala Negara dan sempat menimbulkan amarah beliau, yang langsung dilimpahkan kepada saya dalam suatu pertemuan kurang lebih satu jam lamanya.
Saya sadar bahwa ada kesalahpahaman yang cukup serius, yang mungkin dibangkitkan oleh pihak-pihak tertentu. Akan tetapi hal itu terjadi mungkin juga karena salah pendekatan dari pihak saya atau mungkin pula karena salah ”timing’‘. Gagasan ini dicetuskan tak lama sesudah meledaknya peristiwa Malari. Dengan berlalunya waktu, gagasan saya mendapat penilaian positif juga; dan betapa bahagianya perasaan saya bahwa beberapa tahun kemudian gagasan ini tercantum sebagai salah satu unsur strategi pembangunan didalam GBHN.
Peristiwa di atas bukan satu-satunya dimana saya mendapat teguran keras dari Kepala Negara. Sungguhpun demikian, dan mungkin justru karena proses perkembangan didalam komunikasi semacam ini, saya merasa hubungan saya dengan Pak Harto tambah lama tambah erat, bahkan lebih akrab. Dari pengalaman-pengalaman semacam ini, saya mempunyai keyakinan bahwa sebaiknya segala persoalan dilaporkan dan dibicarakan secara terbuka saja dengan beliau betapapun rumitnya masalah yang akan dikemukakan itu.
Hubungan saya dengan Pak Harto menjadi lebih erat lagi sewaktu saya ditugaskan untuk memimpin Tim Perundingan Proyek Asahan. Perundingan ini memang amat sulit dan kerap kali memerlukan langkah-langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah Indonesia. Didalam waktu dua puluh lima bulan perundingan, Pak Harto tidak pernah menolak, bila saya meminta waktu untuk menghadap. Malahan dalam setiap pertemuan, beliau dengan tenang mendengar laporan saya tentang kemajuan yang amat lamban itu dan kesulitan-kesulitan yang saya hadapi. Disamping petunjuk dan pengarahan, saya merasa pula dibekali dengan keleluasaan penuh untuk mengambil keputusan bila keadaan memaksa, suatu hal yang merupakan dorongan moral yang amat besar bagi saya.
Namun setiap kali memberikan petunjuk dan pengarahan, beliau senantiasa tidak lupa mengingatkan saya untuk melaporkan dan membicarakan masalahnya dengan para pejabat tinggi atau menteri yang berwenang sesuai dengan tata cara prosedur pemerintahan. Jadi, walaupun sudah memberikan instruksi-instruksi secara langsung, Pak Harto tidak pernah melupakan atau mengabaikan prosedur dan jalur institusional yang tetap perlu dipatuhi dan dijalankan. Misalnya saja pada saat-saat akhir perundingan Proyek Asahan. Persyaratan yang diajukan pihak Jepang demikian sulit, sehingga saya tidak berani mengambil sesuatu keputusan tanpa persetujuan langsung dari Presiden, padahal keputusan harus diambil dengan cepat. Pada waktu itu Bapak Presiden dan menteri-menteri yang paling menentukan sedang dalam perjalanan ke luar negeri, antara lain ke Yugoslavia, Kanada, Amerika Serikat, dan Jepang. Yang lebih menyulitkan lagi adalah adanya keinginan kedua belah pihak,agar segala sesuatu sudah harus rampung sebelum Bapak Presiden mendarat di Tokyo. Sementara itu para menteri yang mengikuti Bapak Presiden sudah menyatakan tidak dapat berbuat apa-apa, dan menurut berita, Bapak Presiden sudah memberi keputusannya. Bagi saya dan tim perundingan, syarat ini adalah kunci akan berhasil atau tidaknya perundingan guna mewujudkan Proyek Asahan.
Saya meminta kepada Duta Besar Indonesia di Jepang agar mengirimkan telex langsung kepada Bapak Presiden, yang menurut perhitungan didalam beberapa jam lagi akan mendarat di Ottawa, Kanada. Dalam telex itu saya minta agar ditegaskan sekali lagi duduk masalahnya dengan lebih terperinci dan disertai permintaan agar keputusan, yang katanya sudah ada itu, dapat ditinjau kembali. Akan tetapi Dubes menolak, oleh karena secara protokoler Dubes tidak berwenang untuk melakukan langkah demikian.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengirim sendiri telex kepada Bapak Presiden, dengan menjelaskan duduk masalahnya, dan memohon keputusan beliau disampaikan sebelum pukul 10 malam, hari Kamis tanggal 3 Juli di Tokyo. Saya berkeyakinan bahwa dalam keadaan kritis ini Bapak Presiden akan membaca dan memperhatikan telex saya dan akan memberikan petunjuk atau pengarahan beliau. Telex yang saya kirim itu rupanya diterima langsung oleh Bapak Presiden, dan jawaban beliau saya peroleh sebelum jam 10 malam di Tokyo. Dengan demikian saya menerima petunjuk beliau yang sangat berguna dalam mengatasi rintangan terakhir yang masih menghambat penyelesaian perundingan dengan pemerintah Jepang.
Pada saat itu disamping rasa lega, saya merasa benar bahwa sebagai Presiden, Pak Harto segera dapat melihat pentingnya sesuatu masalah, biarpun masalah itu disampaikan dengan melangkahi jenjang hirarki, dan tanpa menunggu lama beliau memberikan keputusan. Keputusan inilah yang akhirnya membuka jalan bagi pelaksanaan suatu proyek nasional yang sampai sekarang masih tergolong salah satu proyek terbesar di wilayah Asia Tenggara.
Selama saya bertugas, baik didalam mempromosikan penanaman modal asing di Indonesia maupun didalam memimpin tim negosiasi Proyek Asahan, saya tidak pernah mendapat status pegawai negeri, melainkan senantiasa bekerja sebagai tenaga honor. Pada akhir tahun 1977, setelah sepuluh tahun menyumbangkan, tenaga kepada pemerintah Orde Baru, saya menghadap Bapak, Presiden untuk meminta izin agar secara berangsur-angsur dapat mengundurkan diri dan kembali berwiraswasta. Saya belum mempunyai rencana yang jelas, akan tetapi saya merasa perlu memberitahukan niat saya ini sebelum melangkah. Bapak Presiden tidak berkeberatan bila saya memulai langkah-langkah persiapan, asalkan saya selalu memberitahukan apa yang akan saya perbuat sebelum benar-benar melangkah keluar.
Tiga bulan kemudian Bapak Presiden memanggil saya dan berkata sebagai berikut:

Saya membutuhkan Saudara untuk menjabat sebagai menteri, bersediakah Saudara dan mampukah Saudara”.

Tak lain yang dapat saya jawab:

“Bersedia tentu, Pak. Tetapi, apakah mampu, itu hanya Bapaklah yang dapat menilainya.”

Demikianlah saya diangkat menjadi Menteri Perindustrian. Semasa lima tahun menjabat Menteri Perindustrian, saya berkesempatan untuk lebih mengenal lagi Pak Harto. Tidak hanya sebagai Kepala Negara, tetapi juga sebagai manusia biasa, sebagai bapak dan kepala keluarga. Diantara pembicaraan-pembicaraan saya dengan Pak Harto tentang masalah-masalah kenegaraan, kerapkali terseling tanya-bertanya tentang keadaan keluarga, tentang kesehatan pribadi dan keluarga.
Ungkapan-ungkapan selingan ini memberikan kepada saya rasa dan pandangan yang lebih mendalam lagi terhadap diri Pak Harto. Ungkapan isi hati sebagai seorang Indonesia biasa dengan segala suka-duka pribadinya yang tidak pernah akan terbayang diwajah beliau dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Negara. Sebagai Kepala Negara, beliau tetap memperlihatkan diri sebagai pemimpin yang tegas dan berkeyakinan bulat. Tetapi di lingkungan terbatas, beliau dapat bersikap amat ramah bagaikan sahabat biasa. Saya mengalami ini tidak hanya didalam pertemuan-pertemuan empat mata, tetapi didalam berbagai kesempatan lain, seperti didalarn perja1anan-perjalanan bersama dengan para pembantu beliau lainnya; ataupun sambil makan-makan bersama sesudah upacara-upacara.
Didalam keadaan dan suasana demikian, Pak Harto dapat berbicara secara leluasa tentang pandangan-pandangan, cita-cita beliau; kesukaan makannya sampai ke hobi memancing ikan. Beliaulah pemimpin yang mampu memelihara kemurnian dan keutuhan hati sanubari sebagai manusia biasa, disamping juga sebagai seorang pemimpin dari suatu bangsa yang besar yang tidak pernah jauh dari rakyat. Didalam obrolan demikian, Pak Harto pernah memberikan resep anti-sakit gula kepada saya, penyakit yang saya derita sejak bertahun-tahun. Secara terperinci beliau mengutarakan macam tanamannya, jumlah daun yang diperlukan, cara menggodoknya dan meminumnya. Menurut Pak Harto, isteri beliaupun memakai ramuan tersebut, sehingga tidak ragu ragu untuk memakan ice­ cream.
Mungkin keutuhan, kemurnian jiwa dan raga sebagai seorang Indonesia yang tidak berubah atau menjadi sumbang selama menjalankan tugas inilah yang membuat Pak Harto mampu memahami keinginan dan cita-cita bangsanya yang terjelma didalam dua dasawarsa ketenangan sosial-politis, yang memungkinkan bangsa Indonesia membangun dan berkreasi. Bahwa belum semua cita-cita bangsa dapat terpenuhi, tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya kepada beliau sendiri. Keadaan negara dan dunia, kemampuan serta kesediaan para pembantu beliau adalah faktor-faktor yang ikut menentukan pula.
Filsafat hidup beliau yang masih kuat terikat pada tradisi pernah terungkap dalam salah satu sidang Kabinet Pembangunan III. Saya lupa tanggalnya, tetapi waktu itu sidang sedang membicarakan masalah hujan dan banjir yanng banyak menimbulkan korban dan penderitaan, yang akhirnya membawa pengaruh pula pada ekonomi nasional. Pada waktu itu Pak Harto menyarankan untuk sekali­sekali mempelajari apa yang tercatat dalam buku “primbon“, agar dapat diambil langkah-langkah pengamanan jauh sebelumnya. Beliau mengutarakan tentang silih-bergantinya peristiwa-peristiwa alam menurut urutan tertentu. Saya tidak tahu apakah semua yang hadir memahami apa yang beliau maksudkan itu, tetapi bagi saya dasarnya cukup jelas.
Didalam ilmu-ilmu yang berkaitan dengan alam, sejak zaman Yunani ada yang disebut sebagai siklus-siklus alam. Siklus-siklus tersebut hingga zaman modern ini menjadi dasar perhitungan berbagai fenomena alam, seperti angin, besar gelombang, hujan dan banjir, bahkan sikap umat manusia dan lain-lain. Perbedaan antara petunjuk primbon yang disampaikan secara turun-temurun dengan teori ilmiah modern, menurut hemat saya, hanya terletak didalam referensinya. Sekarang ini dicerminkan dengan statistik, dimana statistik ini memperlihatkan pasang-surut suatu fenomena menurut jadwal dan dalil-dalil alam tertentu.
Dengan menyebut masalah primbon ini, saya melihat betapa dalamnya pemikiran Pak Harto akan problema-problema pembangunan yang dikaitkan dengan alam lingkungan Indonesia. Memang segala sesuatu kembali kepada alam dan kepada ulah manusia. Dan semua teori ekonomi dan pembangunan sebenarnya dapat dikembalikan kepada alam dan manusia yang bergerak di dalam lingkungan alam itu. Filsafat alam inilah yang saya pandang merupakan faktor yang sangat kurang mendapat perhatian dewasa ini, padahal ia dapat membuka jalan bagi penyelesaian banyak masalah kenegaraan secara mendasar.

 

***

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.