ARAH BARU DINAMIKA BARU TETAPI JUGA KEADAAN LONGGAR YANG KURANG MENENTU

ARAH BARDINAMIKA BARU TETAPI JUGA KEADAAN LONGGAR YANG KURANG MENENTU[1]

 

Jakarta, Kompas

AMANAT Presiden dalam berbagai kesempatan mengandung kearifan kenegarawanan. Amanat yang keluar dari kepemimpinan nasional serta pusat keku asaan eksekutif menguak cakrawala serta memberikan arah kepada kecenderungan zaman.

Dalam dua minggu terakhir, pada kesempatan yang berbeda-beda, Presiden Soeharto menyampaikan pandangan yang menyegarkan mengenai beberapa hal pokok. Sekurang-kurangnya, kita mencatat ada lima isu besar yang diangkat.

Pertama, ketika menerima peserta Kursus Singkat Angkatan III Lemhannas di Bina Graha, Presiden berbicara tentang peran dua pendekatan dalam mengelola masyarakat, pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan.

Tentang pendekatan keamanan dikatakannya. “Hanya dalam keadaan darurat, dalam keadaan luar biasa, pendekatan kesejahteraan mengalah terhadap pendekatan keamanan. Inipun hanya berlaku dalam waktu yang sangat terbatas”.

Kedua, pada kesempatan itu, Kepala Negara juga berbicara mengenai perlunya prakarsa dan kreativitas masyarakat bagi pembangunan. Prakarsa dan kreativitas hanya berkembang dalam suasana yang nyaman dan bebas dari ketakutan.

Ia tegaskan “Yang menjadi perhatian kita secara khusus adalah pencipt aan kondisi dan peluang yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya prakarsa dan kreatifitas masyarakat tadi.”

Ketiga, di depan Rapat Koordinasi Forum Komunikasi dan Konsultasi Antar­ Departemen Dalam Negeri, BP7 Daerah serta Direktorat Sospol Dati I Seluruh Indonesia, Presiden Soeharto berbicara  tentang kehadiran konflik dan cara menyelesaikannya.

Katanya, “Dalam masyarakat yang semakin dinamis, sudah pasti ada persentuhan, bahkan konflik dan pertentangan. Hal ini alamiah dan tidak bisa dihindari.”Yang tidak kalah penting, bagaimana cara menyelesaikan konflik itu. Caranya “dengan menyusun tata cara dan tata krama bagi penyelesaian persentuhan secara damai, etis, dewasa, beradab”.

Keempat, tatkala membuka Rapat Kerja Departemen Kehakiman, Presiden menegaskan, negara kita adalah negara hukum. Karena itu tidaklah mungkin pemerintahan hanya bersandarkan dan bersemangatkan kekuasaan semata-mata.

Dikemukakannya “Pemerintahan dan negara yang hanya berdasar kekuasaan belaka cenderung sewenang-wenang dan terasa mencekam rakyat. Hal ini jelas bertentangan dengan hakikat pembangunan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan membangun masyarakat Indonesia seluruhnya.”

Kelima, pada kesempatan-kesempatan itu, Kepala Negara mengulang kembali pernyataannya bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka. Pancasila tidak kaku, reaksioner maupun dogmatis “melainkan bersifat akomodatif terhadap dinamika, serta mampu mendayagunakan kekuatan yang terkandung dalam kemajemukan masyarakat. Setiap golongan mendapat tempat dan peluang untuk mengembangkan diri, prakarsa maupun kreativitasnya.”

Doktrin apa pun tidak boleh bersifat statis “Jika wawasan berkembang dan lingkungan berubah, doktrin harus dikembangkan dan disesuaikan. Jika sampai terlambat mengembangkan dan menyesuaikan, maka akan terjadi keragu-raguan dalam jajaran pemerintahan dan masyarakat, tatkala menghadapi demikian banyak masalah.”

BUKANLAH untuk pertama kali, pemyataan dan penegasan tentang hal-hal itu dikemukakan dalam amanat Presiden. Barangkali, yang lebih merupakan hal baru adalah lingkungan dan kondisi, yakni lingkungan dan kondisi perkembangan serta perubahan yang berlangsung semakin terbuka dalam masyarakat. Sedang berlangsung aspirasi dan hasrat lebih besar dalam masyarakat untuk berekspesi dan beraktualisasi.

Bangkitnya ekspresi dan aktualisasi diri itu merupakan sinergi dari berbagai perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Dinamika dan variasinya beragam, sehingga kecuali arah yang konvergen, ada juga arah yang berpotensi divergen.

Ide dan arah yang ditegaskan secara jelas oleh Presiden Soeharto sejalan dan karena itu berkorespondensi dengan apa yang hidup dalam masyarakat. Tetapi ketika ide dan arah.barn itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan serta harus ditampung dalam lembaga pemerintahan maupun masyarakat, terjadilah kesenjangan.

Kesenjangan antara ide dan arah dengan kemampuan lembaga untuk mencerna serta melak sanakan, ikut memberikan dampak yang kita amati dewasa ini yakni suasana kedodoran dan suasana longgar yang belum menentu. Hal itu tidak mengherankan dan tidak usah membuat hati kecil. Sebab ide dan arah senantiasa terbang lebih cepat dari kemampuan lembaga, baik pemerintahan maupun masyarakat untuk mencernanya.

Pada waktu yang sama, pada tempatnya kita fahami, bahwa akhirnya kemauan dan kemampuan untuk menerjemahkan ide dan arah dalam kebijakan dan melaksanakannya lewat lembaga-lembaga, itulah kunci persoalan. Inilah, karena itu, pekerjaan rumah bagi kita semua, pemerintah dan lingkungannya serta masyarakat serta organisasi-organisasinya.

SITUASI baru yang kita hadapi adalah situasi serius, mengandung berbagai risikodan menentukan. Karena itu, sekalipun hadirnya perpolitikan dengan segala kesempitan dan intriknya adalah wajar, namun yang harus menentukan arah dan mempengaruhi perkembangan haruslah wawasan, sikap dan tanggung jawab kenegarawanan.

Sekiranya, ide dan arah baru yang dilontarkan oleh Presiden, sekadar ditanggapi serta diinterpretasikan secara perpolitikan faksional dan sempit, bisa-bisa kita akan terjatuh dalam pergerakan-pergerakan kecil tanpa arah. Pada tingkat pertama, tentulah lingkungan pemerintahan dan aparatur negara yang terpanggil untuk memaharni dan menerjemahkan pandangan kenegarawanan Presiden dalam kebijakan serta implementasi kebijakan.

Akan tetapi, tidak kalah penting bahkan juga tidak kalah menentukan adalah pemahaman dan tanggapan pimpinan masyarakat serta berbagai organisasi dan lembaganya.

Seperti halnya dalam lingkungan pemerintahan dan aparatur, pada lingkungan masyarakat serta berbagai organisasi dan lembaganya, persoalan juga timbul. Telah cukup lama, pimpinan dan organisasi kemasyarakatan tidak terlatih dan tidak memperoleh kesempatan serta iklimyang kondusif untuk mengembangkan pandangan, sikap dan pendekatan yang mandiri, damai, etis, dewasa, beradab.

Demikianlah diperlukan kesungguhan dan waktu yang harus dimanfaatkan secara konsisten dan terus menerus untuk bukan saja menyebarluaskan ide dan arah baru, akan tetapi juga mengembangkan budaya dari ide keterbukaan dan Demokrasi Pancasila seraya membangun atau memperbarui berbagai organisasi kemasyarakatannya.

SEMENTARA itu, perlu juga kita beri perhatian kepada situasi longgar tidak menentu yang diamati oleh banyak fihak. Kasus PDI dalam kaitan itu dinilai sebagai salah satu gejalanya yang menonjol. Situasi longgar dan kurang menentu itu sekadar suatu proses dalam usaha menangkap dan menerjemahkan arah baru ataukah di dalamnya terkandung pula perbedaan pendapat di lingkungan pemerintahan dan aparaturnya.

Bahwa pandangan dan sikap kenegarawanan sangat diperlukan, bisa kita pahami dari kenyataan, bahwa dalam situasi dan kondisi peralihan atau perbedaan apa pun, tuntutan akan pembangunan yang semakin berhasil tetap berlaku. Tuntutan itu bahkan berlaku semakin kukuh. Sebab dari dalam kita dihadapkan pada aspirasi masyarakat yang bertambah maju, sedangkan di luar, kita dihadapkan pada kompetisi yang semakin menggebu.

Sumber: KOMPAS (12/08/1993)

_______________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 209-212.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.