Arti Purnawirawan ABRI Bagi Saya

Arti Purnawirawan ABRI Bagi Saya[1]

Ketika usia saya mencapai 55 tahun, saya menjalani pensiun sebagai Jenderal TNI. Saya menerima Surat Keputusan pensiun itu dari Menteri/Pangab Jenderal M. Panggabean yang menandatanganinya, melanjutkan keputusan Presiden Republik Indonesia. Tentu saja keputusan ini saya terima dengan baik. Ini sejalan dengan keinginan saya untuk mematuhi undang-undang dan peraturan-peraturan.

Tetapi pensiun ini tidak berarti saya meninggalkan ABRI. Sebagai Presiden/Mandataris MPR saya adalah Panglima Tertinggi ABRI (pemegang kekuasaan tertinggi ABRI). Andai kata nanti saya sudah berhenti sebagai Presiden, hubungan saya dengan ABRI akan tetap ada kaitannya sebagai anggota Persatuan Purnawirawan ABRI, Pepabri. Memang sebagai prajurit TNI saya bisa dipensiun, akan tetapi sebagai prajurit pejuang saya harus tetap melanjutkan pengabdian pada negara dan bangsa.

Pada kesempatan menerima keputusan pensiun itu, saya menyampaikan pesan kepada para pimpinan ABRI untuk mengikuti contoh-contoh baik yang telah saya berikan pada nusa dan bangsa, dan menjauhi hal-hal yang buruk yang mungkin telah saya lakukan selama karier saya sejak 1945. Saya katakan, “Sekiranya ada hal-hal yang dinilai baik selama saya mengabdi pada ABRI, ya, tirulah! Tetapi kalau ada yang tidak baik, tidaklah perlu ditiru.”

Di depan sejumlah perwira tinggi Hankam, sewaktu upacara itu dipimpin langsung oleh Menhankam Jenderal Maraden Panggabean di Bina Graha tanggal 30 Juni 1976, saya berkata begitu dengan sungguh­sungguh, terharu.

Saya kembali jadi seorang sipil. Tetapi berhenti dari kedinasan militer bukan berarti berhenti dari pengabdian selaku anggota TNI­AD. Lagi pula seorang prajurit yang pensiun menurut undang-undang tetap merupakan cadangan ABRI. Karena telah mencapai umur 55 tahun, dengan sendirinya saya harus mematuhi peraturan memasuki masa pensiun itu.

Beberapa waktu sebelum itu saya juga telah mendatangi kantor pajak guna memenuhi kewajiban pajak saya selaku seorang warga­negara.

Benar, dengan itu saya ingin menunjukkan bahwa seorang yang duduk di kursi kepresidenan dan dalam dinas ketentaraan tidak mempunyai perbedaan dengan rakyat banyak dalam soal memenuhi peraturan hukum yang berlaku.

***


[1]        Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 325-326.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.