“BABY BOOM” TAHUN 60-AN, MUNGKINKAH TERULANG LAGI?
Jakarta, Suara Karya
Estimasi Kelompok Roma yang pernah membuat dunia panas dingin melalui ”The Limith to Growth”, akhimya bisa ditepis bangsa Indonesia dengan disematkannya U.N. Population Award PBB kepada Presiden Soeharto. Nama Indonesia bukan saja menjadi terkenal, namun lebih dari itu. Sebab bila program KB sedunia ditunda sepuluh tahun saja, maka penduduk di dunia ketiga mencuat menjadi 1,7 milyar. Jumlah inilah yang dikhawatirkan membawa malapetaka, penyakit berbiak ke mana-mana, kemelaratan, kelaparan, kesengsaraan akan mudah kita jumpai di setiap sudut gang.
Malthus dalam bukunya “Essay on the Principle of Population” (1966) juga telah melempar sinyal bahwa apabila tidak dilakukan gerakan pengendalian hawa nafsu (moral restraint) maka dunia ini makin lama makin sesak oleh polusi kemiskinan kemiskinan. Demikian percayanya sampai Malthus mengisyaratkan agar manusia menunda “reproduksi” sebelum mencapai titik mapan, dalam arti mampu memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan fisiknya.
Di negara kita “masa pahit” yang telah dikenal dengan nama baby boom terjadi di sekitar tahun 50-60-an. Para orang tua saat itu menganggap “banyak anak banyak rejeki”. Statemen klasik tersebut kini menjadi pil pahit yang harus kita telan. Para orang tua lupa bahwa segelintir nyawa manusia punya hak dan kewajiban. Mereka butuh makan, minum, sandang, papan, pendidikan, pelayanan kesehatan sebagaimana layaknya rnanusia lain hidup.
Sekarang inilah bayi-bayi yang lahir di tahun 60-an secara serentak memadati antrean di Depnaker, cari kerja Lebih mencemaskan lagi,menurut pengakuan Menaker, selama Pelita V jumlah angkatan kerja baru yang akan tersalur memperoleh pekerjaan paling banyak hanya 5 juta tenaga kerja. Ini berarti setiap tahunnya rata-rata hanya 1 juta orang yang dapat mempunyai pekerjaan dari jumlah 2,35 juta tenaga kerja baru.
Mereka terlalu idealistis kalau ekspor tenaga kerja ke Arab Saudi dikait-kaitkan dengan nationpride. Adakah yang patut disembunyikan tentang aspek ini? Jawabnya terpulang pada pepatah bahwa pengalaman betapapun pahitnya tetap berperan sebagai “guru” yang paling berharga. Sebab,manusia yang baik bukanlah manusia steril dari kesalahan dan dosa. Tugas kita sekarang harus berani menatap problema dan fakta, sembari mencoba mencari altematif supaya pengalaman pahit tersebut tidak: terulang lagi.
Tahap Peralihan
Program Keluarga Berencana (KB) nasional saat ini telah berada pada posisi peralihan, yakni masa pergeseran dari program pemerintah menjadi gerakan masyarak:at. Maksudnya, kesadaran mengikuti KB saat ini tidak: semata-mata karena mendapat bantuan gratis dari pemerintah, namun sudah berlanjut pada tanggungjawab individu. Tanggungjawab masyarakat untuk membiayai sendiri makin hari makin tinggi. Ini
diakui oleh Kepala BKKBN Pusat, Dr Haryono Suyono. Buktinya, kalau dulu KB dipromosikan di Indonesia (tahun 70-an) mendapat bantuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Indonesia sebesar 80 persen dari dana yang dibutuhkan, sekarang suplai terus menyusut hingga 20 persen.
BKKBN sendiri agaknya senantiasa mengantisipasi kendala gerak:an KB mandiri. Munculnya Lingkaran Biru merupak:an satu manifestasinya, sebab melibatkan peran swasta. Program ini dikelola oleh Fortune Indonesia dan Biro Penerangan Dan Motivasi (Penmot) BKKBN Pusat. Untuk pelaksanaan di daerah-daerah juga telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) KB Mandiri Lingkaran Biru yang melibatkan berbagai organisasi profesi, misalnya IDI (lkatan Dokter Indonesia), IBI (lkatan Bidan Indonesia), dan ISFI (Ikatan Srujana Farmasi Indonesia).
Pada tahun 2050 nanti, Presiden Soeharto bercita-cita penduduk Indonesia tak lebih dari 250 juta jiwa. Dengan mengkaji pertumbuhan penduduk per 35 tahun yang rata-rata 77 juta jiwa atau proyeksi PBB pertumbuhan rata-rata 1,02 persen, dihitung dari tahun 1950, jika tidak: ada upaya penekanan, mak:a ak:an “meledaklah” jumlah penduduk Indonesia mendekati angka 400 juta jiwa pada tahun 2050. Guna mencapai pertumbuhan di bawah satu persen, kerja keras harus runtut dan serius.
Fenomena Baru
Di tengah keberhasilan kita memperoleh penghargaan dunia, tiba-tiba mencuat persoalan baru. Revolusi seksual yang kini tengah melanda dunia (termasuk Indonesia) sedikit banyak terkait dengan semakin meningkatnya fertilitas di kalangan remaja.
Survai yang dilakukan ‘‘Masse” dan “Deschamps” pada 1975 membuktikan umur awal menstruasi (menarche) pada gadis-gadis menurun 10 bulan dalam setiap satu generasi. Kalau di masa 1980-an kebanyak:an gadis baru mendapatkan haid pertama sekitar umur 11 tahun, kini remaja khususnya di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat sudah menstruasi ketika menginjak usia 8 tahun (ceramah RSUP Sardjito Yogyak:arta).
Mundurnya umur awal mesntruasi yang praktis mendorong kematangan seksual lebih cepat daripada kematangan sosial ini, bagi negara-negara berkembang masih harus ditambah dengan fenomena-fenomena lain. Misalnya, adanya pandangan tradisional di pedesaan yang menganggap anak gadis sebagai beban ekonomi, hingga praktik perkawinan di bawah umur akhirnya tak terhindarkan (Dr. Prastowo Mardjikoen SK 2 Juli 91).
Fakta demikian itu diperkuat dengan kehidupan seksual yang cenderung semakin longgar di perkotaan , bukan tidak mungkin baby boom akan kembali terulang lagi di Indonesia seperti yang pernah terjadi di sekitar tahun 1960-an lalu semasa program KB belum diperkenalkan. Menjadi lebih menyedihkan lagi jika banyak di antara yang lahir nanti merupakan bayi-bayi tidak sah. Tanda-tanda ke arah itu kini sudah ada. Bayi yang dibuang di tempat sampah, dalam got, ditinggalkan di rumah-rumah sakit bersalin atau dicekik mati ibunya sendiri merupakan kasus yang barangkali tidak bisa lagi dihitung.
Bukan hal yang mustahil kalau kasus-kasus semacam itu banyak terjadi di Jawa. Sebab pulau Jawa yang dihuni oleh lebih dari 91.269.528 manusia (± 62 persen dari jumlah penduduk) akan mengundang problematika tersendiri. Bahkan melihat angka yang kelewat berat membebani pulau yang cuma seluas ± 7 persen dari seluruh wilayah Indonesia ini, selain memproyeksi timpang kepadatan yang tidak ideal (idealnya Jawa dihuni 60 juta jiwa) sekaligus akan menghadapkan penghuninya pada persoalan dan dilema yang tak kunjung reda.
Permisivisme
Sudah menjadi hukum alam jika proses modernisasi bakal menimbulkan gelinjang sosial. Masyarakat yang semula bersifat jenak menjadi gerak. Sifat masyarakat gemeinscha:ft berubah menjadi gesellschaft. Tandanya manusia semakin individualistis, egois, materialistik dan bahkan hedonis. Orang pun bukannya dapat melonggarkan jadwal kesibukan melainkan lebih memadatkan dengan mengatasnamakan kerja dan prestasi, tak hanya untuk lingkup sosial tapi juga untuk keluarga. Dari fakta semacam itulah anak -anak menjadi kurang pengawasan orangtua. Akibatnya si anak mencari kompensasi di luar rumah. Belajar dari masyarakat mengenai apa saja.
Demikian juga mengenai keingintahuan mereka di bidang seks. Mereka pada umurnnya memperoleh pengetahuan seks dari yang sifatnya vulgar. Video biru , bacaan cabul, gambar porno, demikian akrab dengan mereka, terutama di kota- kota besar.
Berbagai reaksi orangtua dilancarkan. Ada yang bersikap keras, namun ada pula yang permisiv. Tapi bagi si anak sikap orangtua bukanlah persoalan yang patut “digubris”. Sebab tontonan semacam itu saat ini mudah didapat di sembarang tempat. Pada tahap berikutnya pacaran dan menjurus pada Premarital intercourse atau hubungan seks sebelum perkawinan di luar prostitusi. Dari Yogya kakak-kakak mereka (para mahasiswa) pernah memberi contoh yang tak sedap dengan terungkapnya hasil angket ”kumpul kebo”.
Proses penularan masalah tentang kehamilan remaja saat ini sudah sedemikian terbuka. Oleh karena itulah tantangan gerakan KB bukannya semakin ringan namun malahan sebaliknya, semakin berat. Para orang tua, para guru, dan tokoh masyarakat (KB) harus mengadakan koordinasi dan kerjasama yang kompak.
Sebab untuk menangani problematika remaja yang masih dalam taraf emosional lebih jauh lebih sulit ketimbang yang sudah mapan (dewasa). Ingat, 55.000 hektar sawah di Pulau Jawa tiap tahunnya: beralih fungsi. Tentu ini satu konstatasi betapa masih tingginya laju pertumbuhan penduduk. Padahal kita tahu tanah Jawa merupakan lahan subur untuk industri pertanian, perkebunan. Timbul pertanyaan sekarang, kalau lahan sawah ludes untuk perumahan, pertokoan, perkantoran, bagaimana kita memperoleh bahan pangan beras di P. Jawa? Barangkali inilah baby boom versi kedua
*) Drs Sunardi staf pengajar perguruan tinggi di Yogya, Pengamat masalah sosial.
Sumber : SUARA KARYA (27/07/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 927-989.