Bapak Dihujat Hati Saya Sakit

Batusari, 29 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak Soeharto

beserta putra-putri para menantu

dan para cucu

di Jakarta

 

BAPAK DIHUJAT HATI SAYA

SAKIT [1]

 

Dengan hormat,

Semoga Allah swt senantiasa memberi kekuatan, ketabahan, dan ketawakalan kepada Bapak sekeluarga dalam menghadapi cobaan-Nya. Amiin.

Saya bukan keluarga Bapak, tetapi merasa sebagai keluarga Bapak. Bapak seorang prajurit TNI dan saya dilahirkan dari seorang ibu yang bersuamikan anggota Polri. ABRI, dulu bertaruh nyawa memper­tahankan negara, bangsa, dan segalanya di bumi Indonesia. Itu terjadi tahun 1965.

Setelah semuanya selamat, bahkan semakin hari negara ini Berjaya hampir menyamai negara -negara tetangga, tanpa sebab yang jelas dan tepat Bapak dihujat, bagai sebongkah benda yang tidak berarti sama sekali.

Duh, Bapak! Hati saya sakit, gigi saya gemertak menahan geram. Tapi saya sadar, apa artinya saya seorang diri dalam situasi seperti ini.

Karena itu lewat surat ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal barang kali dapat menjadikan pertimbangan Bapak beserta ketuarga (terutama putra-putri).

Beberapa hat yang ingin saya sampaikan adalah:

  1. Cukuplah, Bapak beserta putra-putri. para menantu dan para cucu menerima hujatan yang tidak berdasar dan sangat tidak manusiawi. Karena itu, saya mengharap “jangan diam membisu, seakan berkesan mengakui apa yang dituduhkan mereka” artinya, berikan jawaban dengan sikap tenang, tapi melangkah, baik dalam ucapan, maupun tindakan.
  2. Semua kegiatan usaha/bisnis dan kesosialan yang biasa dilakukan keluarga terutama Mbak Tutut dan Ibu Halimah (yang banyak terjun di bidang sosial) jangan berhenti. Bahkan bila mungkin ditingkat­kan! Tetapi, demi keamanan dan menjaga kemungkinan buruk, menghadapi orang yang nekad yang lagi kumat, kegiatan-kegiatan tersebut jangan selalu diikuti tampil langsung dari Mbak Tutut maupun Ibu Halimah. Mbak Tutut dan Ibu Halimah tampilnya sekali-sekali saja, bila situasi keamanannya menjamin.

*** Saya sangat yakin, bahwa ABRI masih setia menjaga keamanan Bapak serta keluarga, kalau toh ada yang mulai miring-miring, dapat dihitung dengan jari. Sekalipun demikian, batasi tampilnya keluarga cendana yang melibatkan pengamanan ABRI, agar tidak mengundang rasa iri.

  1. Mbak Tutut kan punya TPI, Mas Bambang punya RCTI, saya mengharap kegiatan kemasyarkaatan, sosial dan keluarga dari cendana, terutama Bapak, supaya sering ditayangkan. Walaupun hanya sekilas.

*** Ketika acara tujuh bulanan Mbak Tata disiarkan/ditayangkan lewat berita jam tujuh malam dan keluarga cendana semua tampak, banyak yang bahagia, haru, dan bangga. Rasanya tayangan sekilas itu obat pelepas kangen. (malam senin tanggal 28-6-1998 jam 19.00)

  1. Sebaiknya, mulai sekarang bila ada sedikit harta (yang saya yakin sekali, hasil jerih payah pengembangan usaha masing-masing putra­-putri) segera diamankan.

*** Caranya, jangan disimpan/dititipkan di bank dalam negeri maupun luar. Karena sekarang banyak sekali orang yang mudah berkhianat tanpa mau menggunakan perasaannya. Salah satu cara yang barangkali baik, ujudkan dalam bentuk emas batangan dan kuburkan. Titipkan pada orang dipercaya oleh keluarga cendana. Tapi maaf, usahakan jangan keluarga. Kasihan dia, bila ada apa-apa pasti akan ikut menjadi pusat perhatian/penelitian.

  1. Rencana pemerintah, Pemilu dipercepat (kira-kira bulan Mei 1999) saya mengharap, GOLKAR jangan bubar. Tetap berkibar, ikut pemilu tetapi keluarga cendana jangan ikut aktif secara langsung. Berdiri tegak di belakang layar tetapi harus tampak gregetnya.

*** Walaupun Korpri tidak ikut langsung sebagai tulang punggung GOLKAR, saya sangat yakin! 75% dari mereka masih tetap setia pada Golkar. Hanya, usahakan yang ikut aktif secara langsung, jangan dihentikan sementara dari jabatannya. Sesudah selesai kegiatan pemilu, dikembalikan ke jabatan semula dan bila menjadi wakil rakyat, penghentian sementaranya diperpanjang, sampai batas waktu habis sebagai wakil rakyatnya.

Nah, selama mengikuti kegiatan Pemilu, PNS tersebut mendapat perhatian khusus dari keluarga cendana, maksudnya ya, sekedar perangsang kiprah.

Begitulah Bapak, lima hal yang dapat saya sampaikan. Insya Allah, saya tidak akan bosan untuk urun rembug bagi keluarga Cendana, karena itu surat ini bukan yang pertama dan terakhir. Kecuali ada jawaban dari cendana agar saya berhenti bersurat!

Bapak, saya mengharap surat ini agar dapat dibaca oleh putra-putri keluarga Cendana, karena itu merupakan harapan dan kebanggaan saya. Insya Allah, bila dibutuhkan, saya siap berkorban apa saja untuk keluarga Cendana. Termasuk bila sampai Bapak didudukkan di hadapan hakim, saya siap membantu menjadi saksi, dengan memberikan keterangan semampu saya, asalkan keterangan itu dapat meringankan Bapak! Tentu saja bersama putra putri Bapak.

Menurut saya, dari mana asal harta milik keluarga Cendana tidak ada yang menyalahi aturan. Semua berjalan melalui jalan bisnis, jadi kalau harta itu semakin berkembang adalah wajar. Bisnis apapun, pasti mencari kelebihan/keuntungan.

Seandainya dalam bisnis itu ada beberapa kemudahan, yang salah bukan yang melakukan bisnis, tetapi yang meloloskan kemudahan itulah yang salah!

Berarti, pejabat itu takut kehilangan jabatannya, apapun dilaksanakan, walaupun katanya negara dirugikan.

Contoh: Masalah PLN! Negara rugi karena ada tekanan dari putra-putri Cendana pada waktu itu.

Mengapa baru berani ngomong sekarang? Dari dulu takut kehilangan jabatan? Pejabat macam apa dia, tidak berani mengingatkan sesuatu yang dianggapnya menjadi penyebab kerugian negara.

Aduh Mbak Tutut, ketika Djiteng Marsudi (kalau tidak salah namanya) memberikan keterangan di TVRI, saya marah sekali! Sampai TV saya lempar gelas, tentu TV pecah, apalagi gelasnya. Eee, saya sendiri yang rugi harus mikir beli TV lagi padahal si sulung anak saya harus ndaftar sana sini untuk masuk Perguruan Tinggi.

Untunglah, layar kacanya yang rusak/pecah dan onderdil TVnya tidak rusak, walaupun jadi ada sedikit gangguan. Sedikit ringan servisnya, bisa mengikuti berita lagi dan dapat melihat keluarga Cendana dalam acara Mbak Tata tujuh bulanan.

Rasa marah agak berkurang. Rasa mikir si sulung belum berkurang bahkan semakin bimbang (diterima apa tidak, bila diterima, bagaimana biayanya?) Intermesso, ya Mbak Tutut? Daripada tegang sendiri. Maklum PNS hanya guru SD yang tidak dapat menyambi lain karena tugasnya di kaki gunung Slamet. (Bila Mbak Tutut pemah membaca majalah Kartini edisi bulan Maret 1993 yang berjudul Melati dari Lereng Gunung Siamet, itulah saya).

Akh, tidak lengkap rasanya bila saya tidak menuliskan aktifitas saya di Golkar sampai hari ini (pamer dikit ya Mbak Tutut). Th. 1977 saya belum memilih, bam berusia 16 tahun, tapi sudah ikut gembar – gembor bila ada kampanye Golkar.

  • Th 1977 sudah menikah, usia cukup, belum punya anak tapi sudah menjadi ketua Satgas Kartini Ampi tingkat desa
  • 1982 menjadi ketua Satgas Kartini Ampi tingkat Kecamatan
  • 1987 menjadi Sekbid Peranan Wanita Ampi Rayon
  • 1992 anggota Upillucam
  • 1997 pembantu Komcat, tentu saja punya kemdung kuning paket dari Mbak Tutut, dan saya jurkam lho mbak.
  • 1988, team aksetensi Golkar sudah turun ke tingkat kecamatan, ternyata saya masih dipercaya masuk dalam komposisi Pembantu Komcat.

Bapak, saya betul-betul kader dari nol, tapi belum pernah menikmati apapun dari Golkar, kecuali gaji saya sebagai PNS. Itulah sebabnya, saya sangat mengharapkan sekali agar Golkar tidak terkubur bersama arus reformasi yang konyol, tetapi saya mengharap Golkar mengadakan reformasi yang sehat dan segar sesuai dengan keadaan.

Jangan ada kader lompat pagar apalagi lompat tembok yang dibantu oleh pejabat yang takut kehilangan jabatannya.

Maafkan saya Bapak, Mbak Tutut. Barangkali akhir surat saya terlalu banyak guyonannya, bukan karena saya tidak menghormati Bapak sekeluarga.

Tetapi semata -mata saya beranggapan kita sekeluarga, suka duka bersama, saya siap lakukan apa saja demi keluarga Cendana. Dan surat ini sebagai pelepas kekesalan saya pada perkembangan keadaan. Baik keadaan negara, keadaan perlakuan segelintir/sekelompok orang terhadap keluarga Cendana dan juga kekesalan hati saya menghadapi rasa bingung memikirkan bagaimana biaya sekolah anak saya.

Dan surat ini, saya jadikan pelepas kekesalan hati saya, semoga. Insya Allah, saya akan men yam bung surat ini di waktu yang akan datang, bila ada sesuatu yang mendesak. Terima kasih atas kesediaan Bapak sekeluarga untuk menerima dan membaca surat tidak berarti ini, syukur-syukur berkenan menerima masukan dari saya. (DTS)

Hormat saya,

Ny. Siswati

Jawa Tengah

*** Hubungi saya, nyawa pun siap untuk tameng keluarga Cendana

 

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 814-818. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.