“BEBENAH” DIKALANGAN PARPOL [1]
Djakarta, Kami
Suatu berita jang datangnja sangat tiba-tiba telah mengkabarkan bahwa Presiden Soeharto didampingi oleh Sekkab Sudharmono dan Aspri Sudjono Humardani telah mengadakan pembitjaraan tertutup dengan pimpinan partai2 politik dan Golkar. Pemberitahuan kepada para peserta disampaikan melalui telpon dan pembitjaraan dengan kelompok2 dilakukan setjara terpisah. Mula2 dengan PNI, IPKI, MURBA. PARKINDO dan Partai Katholik, kemudian dengan NU, PARMUSI, PSII dan PERTI, achirnja dengan Golkar.
Walaupun tidak dikatakan persis demikian, namun kiranja pertemuan mendadak ini diadakan sehubungan dengan penentuan wadjah dan format DPR hasil pemilu jang sudah akan ada pada tanggal 28 bulan ini. Presiden menggaris-bawahi lagi keinginannja agar DPR nanti dipimpin oleh seorang Ketua jang didampingi dan dibantu oleh 4 orang Wakil Ketua. Hampir dengan kepastian bisa diramalkan bahwa Ketua DPR adalah seorang dari Partai NU.
Setjara praktis politis Golkar sebagai kelompok terbesar dalam DPR tidak perlu lagi duduk sebagai Ketua, karena setiap Ketua harus tunduk pada pertimbangan majoritas mutlak Golkar. Buat fihak luar dan dalam negeri djuga akan lebih indah imagenja bila Golkar jang keluar sebagai Djago dari pemilu tidak duduk sebagai Ketua Legislatif. Sudah bisa ditetapkan pilla bahwa akan tampil partai2 PNI, PARMUSI dan Golongan Karya serta Golongan Karya ABRI sebagai Wakil2 Ketua.
Suatu hal jang djuga interessant adalah gagasan tentang tidak berfungsinja lagi lembaga MPRS sampai tahun 1973. DPR dan Presiden selaku Mandataris MPRS toch sudah melaksanakan “beleid” jang telah ditetapkan oleh badan kedaulatan tertinggi tersebut. Dengan bubarnja DPR-GR, dus sekaligus gugurnja keanggotaan rangkap DPR-GR/MPRS, maka tinggal wakil2 daerah sadja jang ada. Dan MPRS akan istirahat selama dua tahun mendatang ini. Bila perkembangan ini dihubungkan dengan gagasan penghapusan lembaga Ketua dan Wakil2 Ketua MPRS jang beberapa waktu jang lalu dikemukakan oleh Ali Murtopo, maka lebih djelas lagi nampak disini kelandjutan penjingkiran MPRS dari arena politik Indonesia. Hal ini sekaligus tidak bertentangan dgn UUD’ 45 dan tambah memperkokoh kedudukan Eksekutive.
Bersjukurlah ditjapai salah satu target definisi Demokrasi Pantjasila, jaitu suatu pemerintahan jang kuat. Kalau di-ingat pula bahwa DPR setjara hakiki djauh lebih lemah daripada Pemerintah, maka bisa disimpulkan bahwa untuk kedua kalinja kita di Indonesia mengalami pergeseran kekuasaan kearah “centrum” Eksekutive; Jang pertama adalah pada ketika Demokrasi Terpimpin di-introdusir.
Dalam pada itu nampak pula bahwa walaupun Presiden menginginkan muntjulnja 4 fraksi dalam DPR nanti, dalam kehidupan kepartaian Soeharto lebih tjondong pada tertjiptanja 3 partai besar. Bila angka tiga ini dihubungkan dengan pembitjaraan Presiden setjara berturut2 dengan tiga kelompok, maka sudah pula bisa diramalkan bahwa tiga partai besar itu kelak akan terdiri dari Golkar, Islam dan grup PNI-IPKI-MURBA-KATHOLIK-PARKINDO. Pembagian sematjam ini bisa dianggap terlalu formalitis karena melihat bentuk luar sadja dari penggolongan2 partai. Misalnja sadja bisa dikatakan bahwa PARMUSI-PSII-GOLKAR-KATHOLIK-PARKINDO lebih tjotjok duduk dalam satu golongan, daripada dengan PNI/NU.
Namun demikian ada anggapan bahwa pembagian setjara formalistis demikian itu djuga mempunjai fungsi memodernisir keseluruhan dari partai2 politik, artinja jang modem dikalangan dalam turut membantu memodernisir jang masih kolot dikelompok tsb, sedangkan jang lebih madju di kelompok pasangan bisa menarik madju pula partai2 jang “kuno” didalam kelompoknja.
“Benah2” dikalangan parpol, karena memang mereka tidak sanggup melakukannja sendiri, nampaknja sekali lagi dilakukan oleh pemerintah. (DTS)
Sumber: KAMI (08/10/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 789-790.