BERI LAPORAN JANGAN NGECAP
Bolaang Mongondow, Suara Karya
Dalam pengambilan keputusan, laporan tentang fakta dan data dari masalah yang hendak diputuskan itu merupakan faktoryang amat menentukan.
Dalam suatu pertempuran misalnya, laporan yang mengecilkan atau membesarkan kekuatan lawan pasti akan berakibat pengambilan keputusan yang keliru dalam menghadapi lawan itu dengan risiko kerugian sebagai akibatnya.
Dalam pelaksanaan pembangunan, juga berlaku hukum yang sama. Pengambilan keputusan untuk menanggulangi bahaya hama wereng misalnya, pasti akan keliru bila laporan tentang ancaman bahaya itu tidak sesuai dengan kenyataan. Pendeknya, dalam pengambilan keputusan untuk menangani masalah apa pun dan di bidang mana pun, laporan yang dijadikan landasan pengambilan keputusan itu merupakan factor yang paling menentukan, apakah langkah-langkah penanganan yang diambil berhasil mencapai sasaran atau tidak.
Walaupun dilakukan secara sambil lalu, tapi terlaksana tidaknya prinsip itulah tampaknya yang dijajagi Presiden Soeharto seperti tercermin dari dialognya dengan transmigran di Desa Mopuya dan Mobugap, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Selasa lalu, ketika menyerahkan bibit tanaman pangan dan tanaman keras.
Ada pelajaran mendasar yang patut diambil dari kejadian itu. Yaitu, setiap laporan yang diberikan bawahan kepada atasan harus dicek kebenarannya, lepas dari apa pun bentuk dan bagaimana cara pengecekan itu dilakukan.
Ini tidak berarti, bahwa setiap laporan bawahan harus dicurigai. Tapi sesuai dengan fungsi laporan seperti dikatakan tadi, maka kebenaran fakta dan data yang terkandung di dalamnya harus betul-betul teruji, sehingga keputusan yang diambil dengan itu betul-betul pula teruji.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan tidak diperolehnya laporan teruji.
Pertama, bawahan atau pelapor harus mampu melihat sesuatu yang hendak dilaporkan dari segala segi secara obyektif dan seimbang. Dan kemampuan itu lebih-lebih lagi diperlukan oleh pelapor yang langsung terlibat dalam kegiatan yang dilaporkan.
Kedua, pelapor mempunyai keberanian untuk melaporkan apa yang dilihatnya secara apa adanya. Ini jelas tidak ringan bagi bawahan yang harus melaporkan tentang sesuatu yang menjadi tanggungjawabnya. Tapi justru itupula yang harus dijadikan salah satu unsur yang menentukan pemberian tanggungjawab oleh seorang atasan kepada bawahan.
Ketiga, atasan harus selalu kritis dan tidak Iekas puas atas laporan yang diberikan bawahan. Ini tidak benar bahwa atasan tidak menghargai prestasi bawahan. Ia dengan sikap kritis dan tidak Iekas puas itulah dapat dihayati kekurangan-kekurangan yang masih ada sebab titik tolak untuk dapat mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Keempat, atasan wajib mencurigai setiap laporan yang berbau “asal bapak senang”. Sekali pun belum membudaya tapi sejak lama tampaknya praktek semacam itu cukup banyak dikenal.
Kita tidak tahu persis bagaimana dan mana mulai terjadinya laporan ABS itu. Tapi dalam hubungan fungsionil atasan dan bawahan, lahirnya lapor ABS cenderung terjadi bila atasan lebih banyak hanya mendengar dan melihat yang baik-baik saja, apalagi motifnya terutama untuk menyenangkan diri sendiri.
Atasan yang demikian itu jelas merupakan sasaran yang empuk bagi bawahan yang tidak jujur dan tidak mampu yang biasanya memang melindungi ketidak mampuan dengan laporan ABS.
Untuk mengatasi semua itu, maka di samping ditingkatkannya pengawasan, barangkali sistem laporan sendiri perlu disempurnakan secara terus menerus.
Tujuannya adalah, terciptanya suatu sistem yang dalam dirinya sekaligus melekat unsur atau unsur-unsur yang mampu menjadi batu ujian benar tidaknya sebuah laporan.
Dengan dukungan kepemimpinan yang sehat, kita yang setiap laporan akan betulĀ betul dapat berfungsi sebelum faktor yang menentukan ketepatan pengambilan keputusan. Sedang laporan yang sifatnya ngecap akan kehilangan tempat berpijak. (DTS)
Bolaang Mongondow, Suara Karya
Sumber: SUARA KARYA (18/05/1978) [1]