BERSAMA KAUM MUSLIMIN, SHOLAT JUMAT DI MASJID NEW YORK[1]
Melihat sepasang bakiak (alas kaki terbuat dari kayu-red) Jawa berada di depan pintu Masjid Islamic Cultural Center New York, Amerika Serikat, terlintas pertanyaan siapa gerangan pemiliknya. Jika alas kaki seperti itu dijumpai di kota-kota kecil di Pulau Jawa, itu hal yang biasa. Tapi ini berada di kota terkenal dunia-yang penuh dengan kekerasan dan kehirukpikukan.
Pertanyaan itu segera sirna saat pintu yang terbuat dari kayu kokoh diketuk oleh pengurus masjid dan dibuka oleh seorang pemuda berperawakan agak kurus. “Yang mengurus masjid ini orang Indonesia,” ucap pengurus masjid- seolah memahami apa yang tersembunyi di benak saya.
Mohammad Iqbal, nama pemuda itu sekilas terlihat cukup ramah tapi mungkin karena kesibukannya hanya beberapa patah kata saja yang meluncur dari mulutnya.
Ketika Pelita bersama tiga wartawan Indonesia datang ke masjid itu, Kamis (24/9) lalu, ia membuka pintu masjid megah tadi sambil mempersilakan masuk ke dalam tempat ibadah umat Islam itu. Iqbal lahir di Surabaya dan besar di daerah Otista, Jakarta Timur itu tampak tergesa-gesa menjawab pertanyaan, karena bemiat menyelesaikan pekerjaannya membersihkan lantai atas masjid tersebut.
“Saya sudah mendengar rencana kedatangan Presiden Soeharto ke masjid ini esok hari untuk menunaikan shalat Jumat, tutur Iqbal dalam bahasa Indonesia yang “patah-patah” karena sudah dua tahun menjadi penduduk New York. “Bapak -bapak ini apa pengawal Presiden,” tanya Iqbal lagi sedikit tidak percaya bahwa yang dihadapinya adalah para wartawan.
Beberapa pertanyaan yang disampaikan kepadanya hanya dijawab seperlunya. Mengenai podium yang dipakai oleh khatib untuk menyampaikan khutbah, misalnya, menurut penuturannya, terbuat dari kayu jati dan kombinasi kayu eboni serta kulit lokan pada bagian sampingnya merupakan sumbangan dari Pemerintah Indonesia.
Perangkat ibadah yang konon kabarnya dibuat di Jepara, Jawa Tengah itu baru tiba di New York beberapa hari sebelum shalat Jum’at dilaksanakan. “Ini juga dari Indonesia,” ucap Iqbal sambil menunjuk semacam tempat duduk berukuran besar terbuat dari kayu eboni yang diletakkan di sisi pinggir di dalam masjid. Demikian juga rak sepatu yang semuanya terbuat dari kayu berwama coklat entah apa nama jenis kayu tersebut.
Memasuki kompleks masjid yang terletak di pojok jalan 72 Barat di udara yang cukup dingin pada siang hari itu, terasa ada perasaan lain. Bisa dibayangkan di kota yang selalu hingar bingar dan senantiasa tidak aman itu berdiri kokoh sebuah masjid tempat ibadah umat Islam. Bahkan itu katanya merupakan masjid satu satunya yang terbesar di kota tersebut.
Tempat shalat di masjid yang diresmikan oleh Emir Kuwait Shaikh Jabir Al-Ahmad Al-Sabah, 27 September 1991 itu berada di lantai dasar. Sedangkan di basemennya, terdapat dua tingkat lain yang digunakan untuk kegiatan pendidikan, perpustakaan dan kantor.
Saat Pelita dan rekan-rekan wartawan Indonesia datang ke masjid itu di ruang bawah tanah terlihat dua orang muslimah berkulit agak hitam lengkap denganjilbabnya sedang menyelesaikan pekerjaan. Dengan santun, salah seorang dari wanita itu menanyakan keperluan dan kemudian melalui telepon ia memanggil pengurus masjid yang lain.
Melihat ke dalam masjid yang berarsitektur Kuwait- kembali timbul pertanyaan, siapa yang shalat di masjid itu. Pertanyaan ini mencuat, mengingat New York dikenal sebagai kota yang kurang “ramah”, terutama bagi orang-orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu.
Tapi pertanyaan itu lenyap ketika sempat menyaksikan dan mendengar penjelasan bahwa banyak umat Islam kota New York yang menunaikan ibadah shalat, terutama saat shalat dzuhur.
“Apakah besok Jum’at juga akan banyak yang shalat?,” tanya Pelita ketika melihat di dinding masjid itu terbaca: “Berbahaya,jika masjid dipenuhi lebih, 888 orang jamaah.” Peringatan itu dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah setempat- sebagai batas kapasitas masjid. Mungkin, peringatan ini diberikan karena daya tampung masjid maksimal 888 jamaah.
Masjid itu dihiasi dengan kaligrafi bergaya Kuwait, yaitu berbentuk segi-segi tajam yang selintas tidak terlihat bahwa itu merupakan kaligrafi. Karpet tebal, kubah dan menara yang menjulang tinggi melengkapi keindahan masjid tersebut.
Salah satu yang agak unik: adalah mihrabnya. Di tempat Imam biasa memimpin shalat pada masjid dilengkapi dengan hiasan kaca berukuran tebal yang dipotong sesuai dengan omamen di dalam masjid, sehingga antara kaligrafi, podium, bangunan dan mihrab itu terlihat sangat serasi dan artistik.
Keesokan harinya, Jum’at, tanggal 25 September 1992 Presiden Soeharto yang sedang berkunjung ke New York dijadwalkan untuk menunaikan shalat Jum’at di masjid tersebut.
Sekitar pukul 11.00 waktu setempat, Pelita bersama sejumlah wartawan dengan diantar oleh petugas dari PTRI New York sudah berada di kompleks masjid.
Angin dingin yang berhembus menyebabkan semuanya bergegas untuk masuk ke dalam ternpat ibadah itu. Tapi di dalam, masjid yang masih lengang rasa dingin ternyata belum bisa diusir sehingga terpaksa memasukkan telapak tangan ke dalam kantung jas atau kantung celana bagian samping untuk mendapatkan kehangatan. Atau harus duduk di atas karpet tebal wama abu-abu dengan kombinasi warna putih dan merah.
“Wah gimana nih, belum ambil air wudhu, dinginnya sudah minta arnpun,”ujar seorang rekan yang kelihatan kedinginan.
Semula keadaan itu membuat kami ragu untuk berwudhu. Apa shalat tanpa wudhu, itu kan tidak sah karena, keharusannya wudhu. Keraguan itu segera sirna, ketika kami membuka kran-kran di sana ternyata yang keluar semuanya air hangat. “Alhamdulillah”, puji syukur itu segera meluncur dari mulut-mulut wartawan Indonesia tadi. Selain wudhu dengan air hangat, perbedaan dengan kebanyakan masjid lainnya, adalah di depan semua kran disediakan semacam bangku pendek segi empat yang terbuat dari marmer, sehingga bisa melakukan wudhu san1bil duduk.
WAKTU kian berlalu, dan sedikit demi sedikit umat Islam kota New York mulai berdatangan ke dalam masjid. Pakaian mereka bermacam-macam. Salah satu yang menonjol, mereka kebanyakan mengenakan celana panjang atau jubah.
Mereka datang kemudian melakukan shalat sunnah. Sambil menunggu waktu shalat Jum’at mereka membaca Kitab Suci Al Quran yang banyak disiapkan di sisi podium.
Beberapa orang muslimah juga ikut menunaikan shalat Jumat, tapi tempat di lantai atas bagian belakang di dalam masjid itu. Seperti halnya dengan kaum muslimah lain di Indonesia, mereka juga mengenakan mukena waktu menunaikan shalat.
Tanpa terasa, ratusan umat Islam mulai memenuhi masjid sehingga benar-benar tidak ada tempat yang lowong. Mereka tampaknya datang dari berbagai tempat dan suku bangsa. Hal itu terlihat dari cara mereka berpakaian. Ada yang mengenakan pakaian seperti pejuang Mujahidin lengkap dengan surban. Ada pula yang mengenakan setelan jeans atau jaket-jaket kulit.
Sejumlah orang Indonesia yang ada di New York juga menyempatkan diri shalat Jumat di masjid Itu. Sekitar pukul 12.40, Presiden Soeharto tiba di tempat itu, karena 10 menit kemudian shalat Jum’at di Kota New York dimulai.
Presiden Soeharto adalah satu-satunya orang yang mengenakan kain sarung. Motif sarung yang dikenakan kotak-kotak warna ungu agak kebiru-biruan dan Jas wama gelap lengkap dengan peci. Kepala Negara disambut beberapa Wakil Tetap negara-negara Islam di New York, Imam Masjid Dr. Moh SalimAzwa serta pengurus masjid Moh Younas. Setelah memperoleh penjelasan seperlunya, Kepala Negara menunaikan shalat sunnah Tahiyatul Masjid danmengikuti khotbah yang disampaikan imam masjid. Dalam khotbah Jum’atnya, Imam Moh SalimAzwa menyampaikan perlunya umat Islam memperkokoh persatuan dan kesatuan serta menganjurkan untuk melakukan amal ibadah.
Khotbah Jumat itu disampaikan secara lantang dengan bahasa Arab dan Inggris. Satu hal yang juga disinggung oleh khatib dalam khotbahnya adalah mengenai masalah Bosnia Herzegovina dan masalah-masalah yang terjadi di Afrika.
Usai melakukan shalat Jumat, oleh pengurus masjid Presiden diantar menuju ke mobil. Seorang pria berkulit hitam usai shalat menanyakan kepada Pelita siapa orang tersebut. “Ia Presiden Indonesia, Bapak Soeharto,” ucap Pelita menjelaskan. Dengan muka berseri-seri pria itu melongokan kepalanya untuk melihat Presiden Soeharto. He is my brother,” ujarnya bangga. Memang, di New York ada semacam kebiasaan untuk menyebut brother bagi pria muslim dan sister untuk kaum muslimahnya.
Tanpa terasa ketika meninggalkan halaman masjid Islamic Cultural Center New York terlintas kebanggaan. Banyak saudara sesama muslim di kota itu.
Sumber: PELITA(09/10/1992)
________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 433-436.