Jakarta, 4 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak Soeharto

di Jl. Cendana No.4

Menteng – Jakarta Pusat

BERSEDIA JADI TIM  PEMBELA [1]

Dengan hormat,

Terlebih dahulu saya mohon maaf kepada Bapak, karena dalam situasi yang masih bergejolak di masyarakat, saya mengganggu waktu Bapak dengan surat ini.

Saya berpendapat semua harta kekayaan Bapak dan keluarga adalah hasil jerih payah atau kerja keras Bapak dan keluarga selama ini. Putra putri Bapak terbukti berhasil dalam bisnis. Wajarlah karena mereka telah dididik oleh orangtua yang berhasil memimpin negara dalam waktu yang cukup lama. Seandainya orangtua saya seperti Bapak, saya mungkin lebih berhasil atau lebih kaya dari putra putri Bapak dan orang lain juga demikian.

Dari keadaan yang ada sekarang, yang akan menjadi persoalan di hari akan datang tentu persoalan hukum. Untuk menghadapi persoalan hukum tersebut saya secara pribadi bersedia sebagai anggota Tim Pembela atau Pengacara untuk membela kepentingan Bapak dan putra putri Bapak.

Sudah lama saya berharap bertemu dengan Bapak, karena saya kagum akan kepemimpinan Bapak selama ini. Walaupun akhir-akhir ini banyak orang menghujat, namun saya tetap kagum akan bapak. Bilamana Bapak tidak menghendaki saya ikut sebagai pembela Bapak, perkenankan saya untuk bertemu dan bersalaman untuk mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa Bapak selama ini. Semoga Tuhan memberikan umur panjang kepada Bapak.

Terima kasih dan salam sejahtera. (DTS)

Hormat saya,

Raja Timur Panjaitan, S.H.

Bekasi Utara

[1]       Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 177. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.