BOSNIA, TRAGEDI PERANG YANG HARUS SEGERA DIAKHIRI 

BOSNIA, TRAGEDI PERANG YANG HARUS SEGERA DIAKHIRI  [1]

OlehAskan Krisna

Jakarta, Antara

Peperangan di Bosnia Herzegovina semakin mendapat perhatian masyarakat internasional, antara lain dengan keinginan beberapa negara anggota Gerakan Non Blok (GNB) dan Organisasi Konperensi Islam (OKI) mengirimkan pasukan perdamaian.

Utusan Ketua GNB Achmad Tahir setelah menyelesaikan muhibahnya ke Eropa untuk mengadakan pertemuan dengan para perunding PBB dan Masyarakat Eropa mengenai penyel esaian krisis di Bosnia belurn lama ini mengatakan, Indonesia tidak perlu mengirimkan sukarelawan ke wilayah perang antar etnis itu karena yang dibutuhkan adalah bantuan kemanusiaan.

“Saya berpendapat tidak tepat jika Indonesia mengirimkan sukarelawan ke sana, sebab yang mereka butuhkan adalah bantuan kemanusiaan,” kata Dubes Keliling GNB itu seusai menghadap Presiden Soeharto di Jakarta.

Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung sebelumnya menegaskan, “Hanya pasukan ABRI dalam bentuk pengamat (observer) atau penjaga perdamaian (peacekeeping forces) yang setiap saat siap dikirimkan ke Bosnia untuk bertugas di bawah bendera PBB, namun tidak dalam bentuk pasukan tempur (enforcing forces).”

Pertimbangan untuk tidak mengirim pasukan tempur, menurut Pangab, antara lain karena dana, resiko, logistik dan peralatan yang terlalu mahal. PBB memang meminta jenis pasukan tempur untuk dikirirnkan ke Bosnia guna menghentikan perang yang tengah berkecamuk di wilayah eks Yugoslavia tersebut, sementara itu Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga menyanggupi akan mengirimkan sekitar 17.000 tentara yang diambil dari negara-negara anggotanya ke Bosnia.

Jawaban

Penegasan Pangab tersebut kelihatannya menjadi jawaban atas saran dan tuntutan yang diajukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, agar Indonesia mengirimkan pasukan atau sukarelawan ke Bosnia. Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) DPR pertengahan Juli 1993 menghimbau, sebagai anggota OKI Indonesia hendaknya turut berperan aktif dengan mengirimkan pasukan perdamaian PBB ke Bosnia.

“Peranan Indonesia dalam forum semacam itu dinilai penting, disamping pengiriman pasukan ke Bosnia mempunyai arti strategis bagi kemampuan ABRI pada tingkat global, dan dampak politik yang makin mengakrabkan hubungan dengan negara-negara Eropa Timur, “kata Sekretaris F-PPH. M. Dja’ffar Siddiq.

Dja’ffar menandaskan, tindakan Serbia menumpas kelompok etnis Muslim di Bosnia harus dihentikan, karena hal itu sangat bertentangan dengan hak asasi manusia, jiwa Piagam PBB dan Mukadimah UUD 1945.

Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) tentang Bosnia, akhir Juli 1993 mengeluarkan pernyataan sikap, agar pemerintah segera mengirim pasukan ke Bosnia Herzegovina, menutup Kedubes Yugoslavia di Indonesia dan membuka hubungan diplomatik dengan Republik Bosnia Herzegovina.

Tuntutan itu agaknya tidak terlepas dari ketidakpedulian Serbia atas tuntutan PBB agar menghentikan aksi brutalnya terhadap Bosnia, sekalipun pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO= North Atlantic Treaty Organization) untuk menggelar operasi militer.

NATO dalam pertemuan di Brussels, baru-baru ini, menyepakati dan menyusun skenario serangan udara, namun operasi itu tetap di bawah persetujuan Sekjen PBB. Campur tangan NATO yang diprakasai AS itu disambut baik oleh negara Barat maupun negara anggota GNB yang selama berbulan-bulan berusaha mendesak Dewan Keamanan PBB melakukan tindakan lebih tegas untuk mengakhiri perang dan kesengsaraan di Bosnia.

Tetapi, ancaman serangan NATO terhadap Serbia itu dilaporkan mengguncang proses perundingan perdamaian yang dilakukan pihak-pihak yang bertikai di Jenewa.

Pihak Bosnia menganggap perundingan Jenewa bukan memecahkan masalah Bosnia, melainkan dimanfaatkan oleh ketua bersama konferensi intemasional mengenai bekas Yugoslavia sebagai upaya untuk mendikte Bosnia ke posisi berbahaya.

Perundingan

Jika NATO dan AS memilih jalur operasi militer, Indonesia selaku Ketua GNB bersama OKI berusaha membawa masalah Bosnia ke meja perundingan pada Sidang Umum PBB dengan sasaran tercapainya  perlucutan senjata.

Penjajakan ke arah itu dilakukan karena upaya negara GNB yang menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk meloloskan resolusi tentang gencatan senjata dihambat oleh negara-negara besar dengan alasan mengganggu proses perdamaian di Jenewa.

Di  dalam debat umum DK PBB, Indonesia menegaskan sikapnya  bahwa penyelesaian masalah Bosnia Herzegovina tak dapat ditunda- tunda, dan minta Dewan segera mengambil tindakan khususnya membebaskan Bosnia dari embargo senjata.

“Masalah Bosnia bukan semata-mata konflik antar-etnis dan  agama, tapi lebih dari itu adalah masalah kemanusiaan yang tidak lagi dihargai oleh Serbia, “kata anggota Komisi I DPR Drs.A.H. Sazili.

Sementara itu, Ketua DPR/MPR H. Wahono berpendapat, krisis di Bosnia Herzegovina masih sangat memprihatinkan. Pertempuran di beberapa kota di negara itu masih terus berlangsung, dan upaya dari berbagai pihak untuk mendamaikan pihak­ pihak yang bertikai belum juga menampakkan hasil.

“Kita mengharapkan, PBB dapat segera mengambil tindakan yang diperlukan, sehingga dapat menghentikan pembunuhan massal terhadap kelompok Muslim di wilayah tersebut, serta dapat membawa kembali perdamaian di bekas wilayah Yugoslavia,”katanya. (U.JKT-00 1/SP04/ 13/08/93 11:20)

Sumber: ANTARA (13/08/1993)

__________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 214-216.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.