BULOG HADAPI TANTANGAN MAKIN BERAT 

BULOG HADAPI TANTANGAN MAKIN BERAT [1]

 

Oleh Askan Krisna

Jakarta,Antara

Badan urusan logistik (Bulog) mulai saat ini tampaknya akan menghadapi tantangan berat, sehubungan dengan pengembangan perannya menjadi holding company dan menangani sembilan jenis bahan makanan pokok, serta memantau 12 jenis pangan.

Kemungkinan dikembangkannya Bulog sebagai holding company dikemukakan oleh Menteri Urusan Pangan/Kabulog Ibrahim Hasan beberapa hari lalu. Sebagai holding company, maka Bulog adalah lembaga pemerintah non departemen yang semula menangani bahan pangan khususnya beras, gula, kedelai dan terigu akan menangani jenis bahan makanan pokok yang sifatnya strategis.

Unsur strategis tersebut karena Bulog menguasai hajat hidup orang banyak khusus di bidang pangan, yaitu dari jenis padi dan beras, umbi, buah-buahan, daging, ikan basah, ikan kering, sayuran, minuman segar sampai dengan bumbu-bumbuan.

Gagasan Ibrahim Hasan itu agaknya berasal dari adanya kenyataan bahwa beberapa jenis bahan pokok makanan seringkali harganya melonjak pada saat-saat tertentu, misalnya menjelang lebaran.

Berkaitan dengan kecenderungan itu, maka Bulog diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan akan terjadinya gejolak harga dengan melakukan intervensi pasar. Ibrahim mengemukakan, untuk menunjang kegiatan itu melibatkan semua depot logistik (Dolog) yang tersebar di 27 propinsi akan berfungsi menjadi unit bisnis yang mengelola dan mengendalikan jumlah komoditi dan harga berbagai jenis bahan pokok yang kini sedang diinventarisasi.

Saat ini Bulog mempunyai seratus subdolog dan 1.400 gudang yang masing­ masing berkapasitas simpan 3.500 ton beras . Dengan demikian fungsi dolog yang tadinya non profit, tampaknya akan bergeser mengejar keuntungan, sebagaimana holding company pada umumnya.

“Meskipun demikian, misi Bulog tetap menstabilkan harga komoditi yang mengalarni kejatuhan harga baik karena kelebihan pasokan maupun hanya dikuasai pihak tertentu ,”kata Ibrahim Hasan.

Keadaan itu menunjukkan Bulog hams jeli memantau kemungkinan akan datangnya kendala, seperti musim kemarau dan dapat memperkirakan produksi beras, sehingga bisa mempersiapkan tindakan yang akan diambil dalam mengantisipasi kendala-kendala tersebut.

Terus Meningkat

Sejak 1968, luas panen intensifikasi padi meningkat dari 1.597 ribu hektar menjadi 9.211 ribu hektar pada tahun 1992, atau meningkat hampir enam kali lipat.

Secara keseluruhan, selama 1968-1992 total produksi padi meningkat rata-rata 4,3 persen per tahun. Pada 1968 produksi padi 17.156 ribu ton, sedangkan 1992 meningkat menjadi 47.293 ribu ton.

Peningkatan produksi padi itu mengakibatkan surplus beras secara bertahap mengalami surplus dan tampaknya berakibat banyak gudang Dolog kekurangan tempat penyimpan dan menyewa gudang koperasi unit desa (KUD) maupun milik swasta untuk menampung limpahan produksi beras. Untuk mengatasi kelebihan produksi beras itu Bulog mengekspor atau meminjamkan berasnya kepada beberapa negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB).

“Indonesia tidak pemah memperdagangkan beras ke luar negeri, karena harga beras di pasar internasional jauh lebih murah daripada yang ada di dalam negeri,” kata Ibrahim Hasan.

Salah satu contoh kegiatan itu adalah Dolog Jawa Timur bersedia memberikan pinjaman beras sebanyak 12.000 ton untuk rakyat Zanzibar, seperti yang dikemukakan Gubernur Jatim Soelarso usai mengadakan pertemuan dengan Menteri Perdagangan dan Pemasaran Zanzibar Amani A. Karome, baru-baru ini.

Proses kerja Bulog untuk menyimpan beras dan murahnya harga di pasaran intemasional selama iniagaknya justru mengakibatkan kerugian mencapai Rp67 miliar pada tahun 1991-1992.

Selain itu, Bulog juga harus menanggung biaya sewa gudang dan membayar suku bunga bank 16persen per tahun. Pada HUT Bulog 11 Mei 1993, Ibrahim Hasan mengungkapkan, Bulog menanggung bunga kredit perbankan sedikitnya Rp 1miliar per hari.

“Karyawan Bulog tidak boleh Iengah dan harus menyelesaikan pekerjaannya secara tepat waktu, sebab setiap kelengahan yang terjadi per menit saja harus ditanggung dengan kerugian Rp16 juta ,”katanya.

Dengan jumlah gudang yang dimiliki sekarang, Bulog/Dolog seringkali kesulitan menampung produksi dari hasil musim panen padi atau musim giling tebu di berbagai propinsi. Beberapa tempat di Jawa Tengah, gudang penyimpanan gula yang dibeli Dolog kurang mencukupi, bahkan ada yang belum membangun, sekalipun musim giling sudah dimulai.

Wakil Ketua Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, kehutanan dan transmigrasi, H. Imam Churmen mengatakan, pada 1992 beberapa ton gula di Jawa Timur terpaksa disimpan di lapangan tenis karena gudang tidak mencukupi.

“Ini jelas merugikan Bulog sendiri, sebab kualitas gula akan menyusut,”kata Imam Churmen.

Efesiensi

Menghadapi tantangan yang dihadapi Bulog, Imam Churmen berpendapat, Bulog harus melakukan efesiensi dan memanfaatkan teknologi khususnya di bidang transportasi dan penyimpanan.

“Hal itu perlu dipikirkan meskipun untuk membangun sarana transportasi dan tempat penyimpanan yang memadai memerlukan biaya tinggi,” kata Imam.

Wakil rakyat itu mencontohkan, mahalnya biaya distribusi bahan pangan pokok di Irian Jaya yang hanya Rp1 miliar nilai bahan pangannya, namun ongkos transpoitasinya mencapai Rp 3 miliar.

Dalam kaitan tersebut, dia menegaskan pentingnya diversifikasi atau penganekaragaman pangan seperti yang selalu diingatkan Presiden Soeharto, agar segera direalisasikan misalnya pengembangan umbi-umbian, jagung, sagu dan lainnya.

Tentang rencana Bulog sebagai holding company, Imam Churmen mengingatkan, jika Bulog berorientasi kepada profit, maka hal itu tidak sesuai dengan rnisi yang diemban lembaga itu menurut  Keppres nomor 39/1969.

“Bulog memang terlanjur menanggung beban berat, sulit mencari jalan keluamya agar tidak merugi. Namun fungsi Bulog bukan penanam, tapi pembeli produk-produk pertanian,”demikian Churmen.

(U.AK/JKT-001/SBY-006/14 /05/93  12:19)

Sumber:ANTARA(l4/05/1993)

_________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 438-440.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.