CIPTAKAN PROGRAM MEMBERANTAS  KEMISKINAN MELALUI KOORDINATOR

CIPTAKAN PROGRAM MEMBERANTAS KEMISKINAN MELALUI KOORDINATOR[1]

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menginstruksikan anggota Kabinet Pembangunan VI untuk membuat program pemberantasan kemiskinan dan kemelaratan, melalui koordinasi yang solid antar-sesama anggota kabinet. Langkah ini sangat strategis mengingat sekitar 27 juta rakyat (sekitar 15 persen dari seluruh penduduk di Indonesia) masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Instruksi Presiden itu disampaikan di depan 14 menteri yang sating terkait dengan usaha memberantas kemiskinan di Bina Graha hari Rabu (14/4). Aspek-aspek penting dari pertemuan itu disampaikan Menpen Harmoko kepada pers.

Tiga belas menteri lain, selain Harmoko, adalah Mensesneg, Menseskab, Mendagri, Mentan, Menhut, Menteri PU, Menkop dan Pembinaan Usaha Kecil, Mennaker, Mentrans dan Permukiman Perambah Hutan, Mensos, Menteri/Ketua Bappenas, Menteri Urusan Pangan/ Kabulog, dan Menteri Agraria/ Kepala BPN.

“Cita-cita kita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan merupakan upaya yang harus terus-menerus diusahakan. Lebih-lebih amanat rakyat dalam GBHN menyatakan bahwa Trilogi Pembangunan tidak bisa dipisah-pisahkan,” kata Presiden seperti dikutip Harmoko.

Kepada ke-14 menteri itu, Presiden Soeharto mengemukakan tujuh kelompok masyarakat yang dewasa ini menjadi surnber kemiskinan dan harus segera ditangani, yaitu petani gurem yang memiliki lahan sawah sangat sempit seperti 0,25. ha, buruh tani yang tidak memiliki tanah, nelayan, perambah hutan, penganggur, mereka yang tidak bisa melanjutkan sekolah dan yang terkena drop-out. Kriteria hidup di bawah garis kemiskinan adalah mereka yang makan di bawah 2.600 kalori.

Sebab itulah, kata Kepala Negara, berbagai program operasional yang saling terkait untuk mengangkat kehidupan mereka menjadi sangat vital. Karena itu pula, kata Presiden Soeharto, pertama-tama pembuatan peta situasi dan sumber kemiskinan

 

Contoh Konkret

Di depan para menteri itu Kepala Negara memberikan sejumlah contoh konkret mengenai program keterkaitan berbagai departemen itu, seperti menyangkut program PIR, pengelolaan hutan tanaman industri (HTI), transmigrasi, dan program tumpang sari untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Para pekerja di HTI trans ini, menurut Kepala Negara, bisa didorong untuk membentuk desa baru. Kalau saja ada 300 KK maka berarti akan ada sekitar 1.500 jiwa. “Berarti harus dipikirkan areal tanah dan hak pakai tanah. Untuk pengembangan desa itu juga diperlukan sekolah, jalan, tempat ibadah, koperasi, listrik dan lainnya. Ini memerlukan koordinasi penuh,” ujar Kepala Negara.

Petani gurem, tutur Presiden, juga bisa ditarik ke program transmigrasi, apalagi program transmigrasi ini sudah makin maju, ini berarti program transmigrasi harus lebih dikembangkan lagi untuk menampung petani miskin,” kata Presiden.

Di pantai selatan Jawa Barat, kata Presiden, juga ada proyek hutan murbai, yang daunnya bisa dijadwalkan makanan ulat sutera. Selain itu, kata Presiden, tentunya bisa dijadikan upaya penghijauan kembali. Apalagi, katanya, hutan di Jawa tinggal 22 persen, padahal yang dibutuhkan 25 persen. Di sini peran Menteri Agraria juga diperlukan untuk memberikan kemudahan di bidang perizinan.

“Mudah-mudahan kalau ini berhasil dan dilaksanakan, kita tidak akan mengimpor benang sutera lagi, tetapi kita justru mengandalkan kemandirian,” kata Presiden.

Usaha lain yang bisa dilakukan, kata Kepala Negara, adalah memberikan latihan kepada para penganggur dan gelandangan. Koperasi dan pembinaan usaha kecil juga harus digalakkan.

Partisipasi Masyarakat

Usaha pemerataan pembangunan dan penghapusan kemiskinan ini, kata Presiden, sebenarnya sudah dan sedang dilakukan, antara lain dengan program Inpres Desa, Inpres Dati II, Dati I, Inpres sekolah dan sebagainya. Langkah ini, tambahnya, telah membawa dampak positif terhadap usaha mengurangi kemiskinan dari 70 persen menjadi 15 persen.

Inpres desa, menurut Presiden, ternyata telah mendorong masyarakat untuk membangun proyek yang jumlahnya berlipat ganda dibandingkan dengan jurnlah dana Inpres, Rp 5,5 juta per desa. Dinamika masyarakat itu tidak lain adalah sebagai usaha mengurangi kemiskinan. Aspek lain yang penting adalah bahwa Inpres Desa itu juga telah meningkatkan kehidupan gotong royong masyarakat desa. Usaha untuk mendorong masyarakat agar membangun desanya sendiri harus terus-menerus ditingkatkan. Sebab, GBHN telah mengisyaratkan bahwa pembangunan tidak akan berhasil tanpa partisipasi masyarakat.

70 Peraturan Kolonial

Kemarin, Presiden juga menerima Menteri Kehakiman Oetojo Oesman SH. Kepada wartawan, Oetojo menjelaskan, mulai tahun anggaran 1993/ 1994 Depkeh akan mentransformasikan sekitar 70 peraturan yang bernapaskan kolonial ke dalam peraturan yang bersifat nasional. Iniakan merupakan salah satu persoalan yang temasuk program pembaharuan hukum.”Saya kira ini akan menjadi salah satu program kita. Dan Bapak Presiden juga menekankan betapa pentingnya sekarang posisi hukum di dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara,”katanya.

Program lainnya yang akan diterapkannya adalah penerapan manajemen modern, yang sangat diperlukan untuk memperlancar pelayanan hukum, serta pembentukan dan penyusunan perundang-undangan dan berbagai jasa di bidang hukum.

Yang juga menjadi program Oetojo adalah meneruskan pembinaan dan penegakan hukum. “Kedua masalah itu menurut petunjuk Presiden harus ditingkatkan,”ujarnya. Program lainnya adalah pembinaan hukum nasional, termasuk pembaruan hukum. Oetojo juga menjelaskan bahwa Kamis (15/4) malam ini ia akan menghadiri Konferensi Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung se-ASEAN di Kuala Lumpur. Pertemuan ini dimulai dengan pertemuan tingkat pejabat tinggi tanggal 12-13 April.

Hal lain yang ditekankan Presiden Soeharto kepada Menkeh Oetojo adalah penyerasian langkah kegiatan Depkeh dan Mahkamah Agung. (vik)

Sumber: KOMPAS (15/04/1993)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 865-867.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.