DANGDUT DAN KERONCONG DI PARIS

DANGDUT DAN KERONCONG DI PARIS[1]

 

 

Paris, Republika

Sorotan lampu wana-warni mendadak tumpah di arena Theatre de Paris, Minggu malam lalu. Seorang biduanita berpostur mungil muncul dari balik panggung. Dengan iringan musik yang cukup dinamis, penyanyi yang berkostum putih-putih itu pun segera berjingkak-jingkrak mengitari lantai panggung. Suaranya mengalun mantap. Geraknya sesekali ditingkahi hentakan kaki dan membuat, sekitar 1 JT penonton yang memadati gedung pertunjukan itu dibilangan rue Blanche,  Paris.

Inilah kali pertama sebuah lagu dangdut dinyanyikan di muka publik Paris, penyanyinya Vety Vera, biduan dangdut yang kini lagi naik daun di tanah air. Lagu Pura-pura dibawakannya dengan baik, dengan dukungan para pemusik Lolypop pimpinan Rinto Harahap. Tak pelak pertunjukan yang sebenarnya tak biasa itu-maklum Theatre de Paris selama ini memang lebih biasa menyajikan lakon-lakon klasik dan romantis karya dramawan Prancis- menjadi suguhan menarik bagi warga Paris. Tepuk tangan pun menggema, menyambut hangat bagian dari pergelaran Une Soiree Cullurelle en Indonesie yang diselenggarakan Yayasan Tiara Indah dan Yayasan Tiara Indonesia itu. Ini adalah perhelatan untuk menyambut 50 tahun Indonesia Merdeka.

“Tapi mengapa dangdut? Kami rnemang sengaja ingin memperkenalkan budaya daerah Indonesia yang belum banyak dikenal dunia Internasional. Selama ini mereka akan lebih banyak mengenal Bali.” kata Ketua Yayasan Tiara Indah. Hajah Siti Hardiyanti Rukmana-yang lebih dikenal sebagai Mbak Tutut-sehari menjelang pertunjukan.

Maka tak cuma dangdut memang yang disuguhkan untuk warga Paris malam itu. Ada penampilan lagu keroncong Dewi Murni yang dibawakan dengan lembut oleh Sundari Sukoco, ada juga warung pojok yang dibawakan dengan gaya genitnya Dewi Yull serta tak ketinggalan padual vikal trio Kahitna, beberapa tari daerah termasuk tarian Aceh juga digelar, lalu fashion show yang diisi dengan rancangan­rancangan mutakhir Prajudi dan Aji Notonegoro juga dibeber. Semuanya mendapat tepukan tangan yang meriah.

“Pendek kata ini adalah paket budaya kita di mata orang asing yang selama inicenderung negative.” kata Mbak Tutut.

Dan bagi warga Paris, harapan Mbak Tutut tidaklah terlalu muluk. Ini bisa dilihat dari besarnya antusiasme mereka dalam menghadiri undangan itu. Padahal dari segi ‘moment’ pertunjukan ini waktunya kurang tepat. Maklum pekan ini adalah long-weekend, yang lebih biasa mereka manfaatkan untuk berlibur ke luar kota.

“Tadinya saya juga khawatir. Ternyata hampir seluruh undangan dating.” kata seorang staf KBRI. Malah di antara tamu yang sebagian besar bule Prancis itu, tampak juga duta besar dari beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea dan Malaysia.

Tak heran usai pertunjukan dengan didampingi Dubes dan istri, Mbak Tutut membalas perhatian undangan dengan meyalaminya satu persatu di lobi teater yang berlantai tiga itu. “Merci beaucoup” katanya berulang-ulang  “Terima  kasih banyak.”

Une Soiree Culturelle en Indonesie adalah bagian dari tour panjang dua yayasan milik Mbak Tutut dalam mempromosikan budaya Indonesia. Sebelumnya rombongan artis yang mengemban misi Faces of Indonesia ini telah tampil di Washington, Boston (AS), Den Haag dan Rotterdam (Negeri  Belanda). Paris adalah  kota  kelima persinggahan mereka sejak rombongan yang terdiri tak kurang 200 artis itu bertolak dari Jakarta dengan pesawat carteran garuda DVC-1 pekan  kedua bulan April.

Dua kota sasaran selanjutnya adalah London dan Budapest (Hungaria) yang menurut rencana akan disinggahi dalam pekan ini memakan waktu sebulan penuh.

Dilihat dari lamanya perjalanan jumlah artis dan banyaknya kota di AS maupun di Eropa yang disinggahi, tour ini merupakan tour budaya yang terbesar sepanjang sejarah promosi budaya Indonesia. Selain itu kalau mengenai sambutan para pengunjungnya di setiap kota pementasan-pementasannya tergolong sukses.

“Tapi yang paling sukses di Rotterdam. Gedung pertunjukan yang berkapasilas 4.000 orang tak muat. Banyak penonton yang terpaksa berdiri.” kata seorang artis kepada Republika.

Tapi sayangnya tak semua pertunjukan rombongan ini berjalan mulus. Sehari sebelum pertunjukan di Rotterdam pada Kamis, 27 April, misalnya. Kedatangan rombongan ini disambut demo sekelompok masyarakat yang diidentifikasi sebagai RMS dan sebagian lagi orang-orang Portugis. Siaran sebuah radio Belanda malah menyebut-nyebut bahwa mereka yang berdemo dengan menggembar­gemborkan hak asasi manusia di Timor Timur ini mengakibatkan kerusuhan yang menghancurkan 60 buah mobil dan merusak 15 rumah dan sebuah toko. Tapi kini mereka berurusan dengan polisi setempat.

Di Paris kejadian ini malah sempat membuat was-was para pejabat KBRI. Menjelang kedatangan rombongan Mbak Tutut, 29 April beberapa staf lokal tampak berjaga-jaga di Gare d’Australia dan Montpamasse dua stasiun kereta Internasional yang menjadi pintu gerbang bagi para pendatang dari selatan dan Timur, termasuk Portugis. Menurut Atase Pertahanan KBRI di Prancis, Kol. Bambang Pangestu, pejabat di sini memang telah mengantisipasi masuknya warga Portugis dan Belanda yang mungkin ingin mencoba mengacaukan suasana.

“Tapi Alhamdulillah sampai saat ini tak ada apa-apa.”  katanya.

Dari pengamatan Republika sendiri selama dua hari di dua gerbang utama itu memang tak tampak tanda-tanda masuknya warga Portugis dan Belanda yang mengkhawatirkan itu. Meski begitu pihak pengaman rombongan budaya ini tampak tetap waspada. Ini terbukti dengan hadirnya Atase Pertahanan Kedubes Belanda yang terus mengawal rombongan selama tiga hari di Paris, sejak tiba Sabtu siang (29/4) hingga rombongan terbang ke London Senin siang (1/5). Selain itu, selama berlangsungnya pertunjukan, kawasan Blanche pun selalu dalam penjagaan polisi Prancis. Pengawasan serupa juga berlaku di seputaran Hotel Orion di kawasan La Defence, tempat rombongan menginap, maupun ketika rombongan berwisata ke1iling kota ke Champ Elysces dan Menara Eiffel.

Apa pun ceritanya. kekhawatiran yang terbayang memang tak pernah terjadi. Sebaliknya, “ancaman” yang sebenarnya malah muncul dari para artis sendiri, yang sebagian besar mulai merasakan lelah. Dewi Yull, misalnya, ketika tampil eli panggung tampak tak bisa menyembunyikan kelelahannya meski tak terlalu kentara. Begitu pun Vety Vera.

“Saya capek , tapi senang bisa ikut manggung di kota-kota besar seperti ini.” katanya dengan wajah yang agak pucat. Sedangkan Heydi, motornya trio Kahitna , mengaku bosan sendiri.

“Habis sepanjang pertunjukan harus nyanyi lagu yang sama. Nggak boleh ganti.” katanya sambil nyengir.

Tapi bagaimana pun juga, inilah pertunjukan budaya Indonesia yang mendapat sambutan cukup besar di Paris.

“Seluruh penampilan yang disajikan saya suka.” Tapi sayang ada kebocoran pada sound systemnya. Ini sangat mengganggu penonton, saya kira, “kata Louku Airne, seorang penyanyi asal Afrika yang kini warga Prancis. Lain lagi kesan Pascal, salah seorang undangan, soal dangdut.

“Kedengarannya memang agak aneh di telinga, tapi saya bias juga mengikuti iramanya. Menarik.” katanya.

Sekalipun bisa disebut tour terbesar, tapi tak ada penjelasan, pasti soal berapa besarnya biaya penyelenggaraannya. Yang pasti, sponsor utamanya adalah perusahaan penerbangan Garuda. Ketika pertanyaan soal biaya itu disodorkan kepada Mbak Tutut dia pun hanya mengelak.

“Ya… ini kan bagian dari acara peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka yang juga diselenggarakan di tanah air. Biayanya juga ya dari sana.” Ritno Hendro  Irianto (Paris)

Sumber : REPUBLIKA (05/05/1995)

_________________________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 669-672.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.