Diplomasi Demi Harga Diri Bangsa

Diplomasi Demi Harga Diri Bangsa1

(Lee Kuan Yew Tabur Bunga Di Pusara Usman dan Harun)

 

BERBAGAI persoalan Indonesia dengan negara lain, seperti Malaysia dan Australia, selalu disikapi Pemerintah hanya dengan nota protes. Padahal, DPR dan masyarakat kerap menyuarakan desakan agar Pemerintah berani bertindak lebih tegas. Bahkan, ada suara-suara agar Pemerintah menarik dan memulangkan duta besar masing-masing. Bagi Pemerintah, penarikan duta besar hanya akan mengakibatkan keadaan semakin buruk, sementara ada banyak kepentingan Indonesia di negara-negara itu yang harus diselamatkan.

Julius Sumant, jurnalis senior, mengungkapkan bahwa kebijakan “Seribu Kawan Nol Musuh” Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencerminkan pandangan liberalis. Ada sikap bulat dalam Pemerintahan untuk tidak membuka peluang ‘konfrontasi terbuka’ sekecil apa pun dengan negara manapun. Mengadopsi kebijakan ‘keras’ hanya akan merugikan kepentingan nasional, baik potensi ekonomi maupun jejaring interdependensi global yang sudah terbentuk.

Padahal, kata Julius, selain dosis paling ekstrem berupa perang fisik (ini sebetulnya sangat tidak mungkin tapi sering disalahartikan), masih ada dosis tindakan diplomatik yang bisa menjadi jalan tengah. Tidak selembek nota protes, tapi juga tidak seburuk perang fisik. Kebijakan yang mengakomodasi politik ‘Seribu Kawan Nol Musuh’ tak jelas orientasinya jika dibandingkan dengan politik Bebas Aktif Pak Harto dan fondasi politik luar negeri yang diletakkan Bung Hatta lewat pidatonya “Mendayung di Antara Dua Karang” pada 1948.

Bung Hatta mendayung di antara dua blok karang, komunisme dan Barat, saat Republik tengah menghadapi dua agresi militer Belanda. Orientasinya jelas: kedaulatan penuh Indonesia. Sikap RI yang anti-komunis sengaja diadopsi dengan tujuan menarik AS dan Barat agar mendukung perjuangan Indonesia dan pada saat bersamaan menekan banalitas Belanda agar mau duduk di Konferensi Meja Bundar. Hasilnya pun jelas: pengakuan Belanda atas seluruh wilayah Republik (Indonesia Serikat) kecuali Papua pada 1949.

Lewat diplomasi yang lincah pula, Bung Karno bisa menekan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy untuk membarter Allen Pope (pilot CIA yang ditembak jatuh karena membantu pemberontak Permesta di Maluku) dengan 10 unit Hercules C-130. Alhasil, TNI AU menjadi angkatan udara pertama di dunia yang mengoperasikan pesawat angkut raksasa itu di luar AS.

Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew Menaburkan Bunga Pada Makam Usman dan Harun di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1973
Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew Menaburkan Bunga Pada Makam Usman dan Harun di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1973

Pak Harto juga punya orientasi politik luar negeri yang sangat jelas dan terukur. Menjelang Perang Dingin usai, Pak Harto menggalang solidaritas negara Dunia Ketiga lewat Gerakan Non-Blok dan OKI. Tujuannya jelas: mengantisipasi konstelasi politik internasional yang sedang bergerak ke arah polarisasi Utara (negara maju) melawan Selatan (negara berkembang dan kurang berkembang) yang bukan tidak mungkin akan mengganggu perekonomian nasional di masa mendatang.

Pak Harto juga berani membubarkan gabungan negara donor IGGI (diketuai Belanda) karena dianggap terlalu mengintervensi. Pernah pula pada 1990-an Pak Harto menarik pulang Duta Besarnya untuk Filipina dan Australia karena merasa dilecehkan terkait isu Timor Timur. Langkah itu menjadi sinyal ‘merah’ bagi Manila dan Canberra.

Ada kisah lain yang menarik. Pada Oktober 1968, utusan Presiden Kolonel Abdul Rachman Ramly gagal memohon penghapusan hukuman mati dari Singapura atas dua prajurit Marinir, Sersan Usman dan Kopral Harun. Keduanya tertangkap pada masa Orde Lama dan dituduh melakukan infiltrasi.

Singapura bersikeras mengeksekusi Usman dan Harun. Pak Harto pun memulangkan seluruh staf kedutaan dari Singapura, menyisakan seorang atase pertahanan. Hubungan Indonesia-Singapura pun memburuk, jatuh ke titik paling nadir.

Pak Harto tidak membiarkan peristiwa itu berlalu begitu saja. Saat Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew ingin berkunjung ke Indonesia, Pak Harto mengajukan syarat. Orang nomor satu Singapura itu harus menaburkan bunga di pusara Usman dan Harun, bukan di kaki tugu Taman Makam Pahlawan Kalibata sebaimana lazimnya dilakukan kepala negara lain. Lee akhirnya menuruti syarat Pak Harto. Hubungan Indonesia dan Singapura pun kemudian membaik.[]

1Sumber: Harian Pelita 22 Februari 2013

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.