Reformasi: Kebutuhan Rumah Murah Masih Belum Terpenuhi

Reformasi: Kebutuhan Rumah Murah Masih Belum Terpenuhi

Proyek Rumah Murah Pasti Akan Gagal Jika Diserahkan Sepenuhnya Kepada Mekanisme Pasar.

Pemerintah reformasi masih kesulitan memenuhi kebutuhan rumah murah di Indonesia. Dari kebutuhan sebanyak 600 ribu unit per tahun, pemerintah hanya bisa menyediakan 200 ribu unit rumah murah per tahun. Bagaimana cara pemerintah memenuhi target itu?

Pemerintah pun mengakui tidak bisa mencapai target pembangunan perumahan rakyat. Kementerian Perumahan Rakyat lebih dari 13,6 juta warga Indonesia masih belum memiliki rumah. Sejumlah faktor dikeluhkan telah menghambat pembangunan rumah murah. Termasuk langkanya tanah di perkotaan.

Bukan hanya itu, perizinan juga masih sulit lalu bunga kredit konstruksi pun masih tinggi. Dari sisi konsumennya sendiri, kemampuan mereka menyediakan uang muka masih rendah.

Pemerintah juga mengaku kekurangan uang untuk membiayai pembuatan rumah murah. Dana yang dibutuhkan untuk membangun 600 ribu unit rumah memakan biaya lebih dari 18 triliun rupiah.

Karena itu, Kementerian Perumahan Rakyat berdalih, pemerintah hanya berkewajiban menyediakan prasarana umum dan pengajuan kredit perumahan. Sementara tanggung jawab pembangunan perumahan ada di tangan pengembang.

Asosiasi Pengembang Perumahan Real Estate Indonesia (REI) menuturkan ada problem koordinasi di pemerintah yang menyebabkan pengembang tidak bisa mengakses kredit program yang diberikan pemerintah. REI mencontohkan sejumlah kebijakan Kementerian Perumahan Rakyat yang tidak didukung Kementerian Keuangan. Misalnya Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FPLPP yang dikeluarkan Kementerian Perumahan, dimana masyarakat bisa mengakses kredit hingga 80 juta rupiah. Namun kebijakan itu tidak didukung Kementerian Keuangan.

Padahal, seperti diungkapkan Cosmas Batubara, Menteri Perumahan Rakyat (1978-1983 dan 1983-1988), kunci kesuksesan pemerintahan Pak Harto membangun rumah untuk rakyat adalah komitmen seluruh instansi pemerintah dalam mendukung program tersebut. “Saya merasa berhasil membangun perumahan rakyat pada periode 1978-1988 karena saya selalu mendapat dukungan dari Menko Ekuin dan Menkeu. Jadi kebijakan pemerintah betul-betul diwujudkan dengan dukungan semua pihak,” kata Cosmas seperti dikutip Kompas, April tahun lalu.

DPR  mengusulkan pemerintah memberi insentif khusus kepada pengembang. Tujuannya agar pengembang bersemangat membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pengamat perumahan dan tata kota, Bambang Heryudwan, melihat masalah perumahan akan selalu menjadi momok pemerintah setiap tahun. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang menyerahkan pembangunan perumahan murah kepada pengembang.

“Bagaimana suatu mekanisme pasar menaruh perhatian kepada persoalan perumahan rakyat, susah itu. dikontrol dengan baik, supaya terjawab persoalan. Pimpinan negara ini harus sadar betul bahwa bagaimana perumahan rakyat bisa maju kalau diserahkan kepada mekanisme pasar,” katanya.

Suara senada juga disampaikan pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar. Menurut Jehansyah, proyek rumah murah pasti akan gagal jika diserahkan pada pengembang karena terkendala pajak. Ia mengusulkan agar pemerintah mewajibkan daerah membentuk perusahaan daerah sendiri untuk menjadi pengembang perumahan murah.

Pemerhati perumahan menilai pemerintah sebaiknya perlu mengkaji ulang kebijakan dan berbagai pola pengadaan perumahan rakyat guna memastikan tersedianya rumah bagi masyarakat dan mengurangi kekurangan ketersediaan rumah (backlog). Jehansyah mengatakan pertambahan backlog dari 8,1 juta unit rumah menjadi 13,6 juta unit rumah menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kebijakan, program dan pendekatan perumahan rakyat selama ini tidak efektif memenuhi target rumah untuk rakyat.

Salah satu penggagas Housing and Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto mengatakan dalam upaya mengatasi backlog, pemerintah sebaiknya menguatkan kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat. Ke depan, lanjut Zulfi, pemerintah seharusnya menjadikan 6 lembaga sebagai pilar pembangunan perumahan rakyat yaitu Kementerian Perumahan Rakyat, Perum Perumnas, Bank BTN, PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puslitbangkim) dan Bank Pembangunan Daerah.

Karena itu, Pemerintah pun diminta untuk mengoptimalkan peran Perum Perumnas untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan tempat tinggal yang mencapai 13,6 juta unit itu.

Perumnas perlu diberi wewenang khusus untuk membangun perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kemudian, Pemerintah memberi kucuran dana public service obligation (PSO) untuk menunjang fungsi dan tugas-tugas Perumnas.

Melalui PSO, Perumnas akan fokus membangun rumah umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sedangkan, pengembang swasta akan memiliih pengembangan rumah-rumah komersial yang harganya di atas subsidi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) seharga Rp 80 juta.

Perumnas juga perlu diberi kemudahan. Misalnya, perizinan untuk rumah umum dipermudah, tak terkecuali untuk pembangunan prasarana, sarana, dan utilitasnya seperti jaringan listrik, air, dan jalan. Selain itu, biaya-biaya yang tidak jelas harus dihapus. Semua langkah itu akan memudahkan rumah-rumah umum bisa segera dibangun dengan harga semurah mungkin.

Jehansyah Siregar juga mengatakan pemerintah harus memiliki public housing delivery system untuk menyediakan rumah murah bagi masyarakat. Sistem kelembagaan publik ini harus dijalankan oleh pengembang publik yang memiliki kemampuan menyediakan serta mengelola bangunan dan kawasan dalam skala besar.

Peran tersebut, menurut dia, tidak bisa dijalankan oleh pengembang swasta. Di sini peran pemerintah nasional melalui pengembang publik, seperti Perumnas, masih cukup besar untuk mewujudkan itu,” kata dia. Dia menyarankan agar peran Perumnas direvitalisasi menjadi National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC).[]

Galeri Foto Soeharto.co, Presiden Soeharto meninjau pabrik komponen rumah murah Perlit di Cibinong Bogor, 15 Juli 1974:

Sumber: Harian Pelita 30 Oktober 2012 dan Galeri Foto Soeharto.co

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.