DIPLOMASI PERJUANGAN BUKAN BERARTI BOLEH HANTAM KROMO

DIPLOMASI PERJUANGAN BUKAN BERARTI BOLEH HANTAM KROMO

Presiden pada Pelantikan Dubes2 Baru

Presiden Soeharto mengatakan, sekarang ini sudah tiba saatnya kita mengembangkan kebudayaan dan kebiasaan yang positip dalam hubungan antar bangsa, yaitu: perundingan dan persahabatan, kerjasama dan bantu-membantu secara konstruktif.

"Hanya dengan mengembangkan kebudayaan yang demikian itulah, cita­cita semua umat manusia akan dapat dicapai, suatu kehidupan di dunia yang benar­benar mempunyai arti bagi kemanusiaan," kata Kepala Negara dalam pidatonya pada pelantikan empat orang Duta Besar Republik Indonesia di Istana Merdeka, Sabtu siang.

Keempat DutaBesar yang dilantik masing-masing adalah: Drs. Djoko Joewono untuk Pemerintah Suriname menggantikan Utojo Sutoto, Laksamana Pertama TNI Sudarsono untuk Pemerintah Republik Sosialis Vietnam menggantikan Hardi SH Mayor Jenderal TNI (Purn) Soedharmo Djajadiwangsa untuk Pemerintah Republik Demokrasi Sosialis Sri Lanka merangkap Pemerintah Republik Maldiv menggantikan Adlinsjah Jerrie dan Laksamana TNI Raymond Toto Prawira Supradja untuk Tahta Suci Vatikan menggantikan R.M. Soenarso.

Tugas Dubes Tambah Penting

Dengan menggambarkan keadaanjaman yang serba kompleks sekarang ini dimana harapan akan peperangan datang silih berganti yang kadang-kadang seolah­olah muncul dengan mendadak, Presiden menyatakan, tugas Duta Besar bertambah penting. Sekalipun keadaan jaman sudah demikian sekarang, Presiden mengatakan bagaimanapun juga jalan menuju perdamaian harus diusahakan oleh semua bangsa.

Dan untuk itu Kepala Negara mengingatkan adanya perubahan pengertian perang dan diplomasi.

"Apabila dahulu orang mengatakan bahwa peperangan adalah kelanjutan daripada jalan diplomasi yang menemui jalan buntu, maka sekarang, kita seyogyanya meneguhkan pendirian bahwa diplomasi adalah alat untuk mengakhiri dan menghindari meletusnya peperangan," kata Presiden.

Juga diingatkan, didalam pengalaman setelah perang dunia ll menunjukkan, peperangan bukanlah jalan keluar untuk menyelesaikan perbedaan pandangan atau kepentingan nasional antar bangsa.

Empat Prinsip Bersama

Untuk mencapai cita-cita semua umat manusia, yaitu suatu kehidupan di dunia yang benar-benar mempunyai arti bagi kemanusiaan, Presiden Soeharto mengatakan,sudah tentu diperlukan usaha dan kemauan dari setiap bangsa baik yang besar maupun yang kecil, yang telah maju ataupun yang sedang berkembang.

Selanjutnya usaha dan kemauan tersebut diterjemahkan dalam empat prinsip bersama.

Pertama, semua negara hendaknya saling menghormati kedaulatan penuh negara lain, yang di dalamnya termasuk sikap tidak akan mencampuri urusan dalam negeri orang lain serta menghormati sistem sosial dan politik yang ditempuh bangsa lain untuk membangun masyarakatnya sendiri. Kedua, semua negara hendaknya menjauhkan diri dari nafsu ekspansionis, baik politik ideologi, ekonomi, maupun militer.

Ketiga, dalam semangat saling hormat-menghormati tadi, semua negara hendaknya memperhatikan kepentingan negara lain tanpa mengorbankan kepentingan nasionalnya.

Keempat, dikembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan bathin semua umat manusia.

Keempat prinsip tersebut, kata Presiden, gampang dikembangkan dan dilaksanakan apabila setiap bangsa mampu dan mau mengendalikan diri dan kepentingannya karena terpanggil oleh tugas kewajiban bersama yang luhur, ialah untuk dapat hidup merdeka, damai, adil dan makmur dalam lingkungan masyarakat bangsa­bangsa di dunia.

Dikatakan, politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dewasa ini dilaksanakan di atas prinsip-prinsip tersebut dengan titik berat kepada prioritas pembangunan sekarang, yakni pembangunan ekonomi.

Pada awal pidatonya, Presiden Soehartojuga menjelaskan pengertian diplomasi perjuangan paada setiap diplomasi Indonesia.

Diplomasi perjuangan, kata Presiden bukan berarti boleh bertindak hantarn kromo tanpa perhitungan dan tanpa mengindahkan kebiasaan dan kepantasan diplomasi dalam hubungan antar bangsa.

Menerima Dubes Banglades dan Belgia

Sebelum melantik keempat Duta Besar RI tersebut, Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Sabtu pagi, lebih dulu menerima surat-surat kepercayaan Duta Besar Republik Rakyat Bangladesh untuk Republik Indonesia, M. Shamsul Islam, menggantikan Duta Besar yang lama A.H.S. Ataul Karim.

Kemudian di tempat yang sama dilanjutkan menerima surat-surat kepercayaan dari Duta Besar Kerajaan Belgia untuk Indonesia, Jcques Ivan D’Hondt yang mengganti pejabat lama Marcel Van Roey.

Sewaktu menerima Duta Besar Bangladesh, dalam pidato balasannya Presiden mengatakan, tugas Indonesia dan Bangladesh sebagai anggota negara sedang membangun adalah melaksanakan tugas-tugas besar dalam dasawarsa 80-an sekarang.

Tugas tersebut di satu pihak terus melaksanakan pembangunan bangsa­ bangsa dan di lain pihak berusaha tanpa mengenal lelah dalam mewujudkan perdamaian dunia.

”Tugas-tugas tersebut jelas akan merupakan tantangan yang berat bagi negara­negara yang sedang membangun." katanya.

Sedang dalam pidato balasannya menerima Duta Besar Kerajaan Belgia yang baru, Presiden Soeharto menyatakan keyakinannya kepada Belgia yang baru. Presiden Soeharto menyatakan keyakinannya kepada Belgia yang menjadi tempat Kantor Pusat MEE itu, bahwa negara ini akan memberikan sumbangsihnya yang lebih besar dalam pelaksanaan Persetujuan Kerjasama ASEAN MEE dalam berbagai bidang dalam dasawarsa 80-an sekarang ini.

Dalam hubungan Indonesia-Belgia, Presiden antara lain mengatakan kunjungan Sri Baginda Raja Boudin dan Ratu Fabiola ke Indonesia tahun 1974 dan kunjungannya sendiri ke Belgia sebelumnya dan kunjungan Ibu Negara Ny. Tien Soeharto ke Belgia bulan Januari 1977, merupakan peristiwa yang mengesankan.

Dan atas adanya bantuan Belgia untuk dana pemugaran candi Borobudur, Presiden menyampaikan penghargaan dan terimakasih. (DTS)

Jakarta, Suara Karya

Sumber: SUARA KARYA (21/01/1980)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 527-529.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.