DITJARI KETUA DPR: [1]
Oleh : Wiratmo Soekito
Djakarta, NUSANTARA
Menurut konsensus Parpol2, dan Golkar dan Presiden Soeharto jang baru2 ini telah mengadakan pertukaran fikiran mengenai masalah penjederhanaan sistem kepartaian di dalam negeri kita:
- Pimpinan DPR hasil pemilu jang akan terdiri dari seorang Ketua dan empat orang wakil ketua, akan duduk pula sebagai pimpinan MPR sebagai hasil pemilu ditambah seorang wakil ketua lagi (djadi, MPR akan mempunjai seorang Ketua dan lima orang wakil ketua); dan
- Ketua DPR sebaiknja tidak diambilkan dari Golkar, melainkan dari Parpol sadja.
Seperti kita ketahui, baru2 ini Aspri Presiden, Ali Murtopo, jang bukan sadja kita kenal sebagai djurubitjara Golkar, tetapi djuga pengaman haluan dan ideologi negara mengemukakan suatu gagasan agar MPR tidak mempunjai pimpinan tetap, melainkan setiap mengadakan Sidang Umum sadja memilih Pimpinannja, sedang pekerdjaan sehari2 dipegang oleh seorang Sekdjen.
Pendapat tsb ditentang oleh Wakil Ketua MPRS, Subchan ZE, jang ingin dipertahankan struktur Pimpinan Tetap. Konsensus Parpol2 dan Golkar dengan Presiden Soeharto menghendaki agar pimpinan MPR hasil pemilu terdiri dari Pimpinan DPR hasil Pemilu ditambah dengan seorang Wakil Ketua lagi, jangan agaknja diilhami oleh pendapat Dr. Hatta dalam suatu wawantjara dengan sebuah surat kabar ibukota – merupakan djalan tengah antara pendapat2 Ali Murtopo dan Subchan Z.E.
Konsensus tersebut bermaksud untuk memetjahkan masalah strukturil (Pimpinan tetap atau periodik bagi MPR dan sekaligus masalah konjukturil (siapa jang harus duduk sebagai Pimpinan, terutama Ketua).
Dalam hubungan dengan konjungturil itu Ali Murtopo pun pernah menjatakan harapannja, agar K.H. Idham Chalid dari NU bersedia untuk duduk sebagai Ketua DPR. Perlu kita kemukakan bahwa gagasan Dr. Hatta jang kita sebut sebagai mengilhami konsepsi Presiden Soeharto dan konsensusnja dengan Parpol2 dan Golkar itu bertolak dari pemikiran, “kembali ke UUD 45”, ketika UUD 45 baru sadja berlaku maka fungsi DPR dan MPR disatukan dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia, bentuk fungsinja hanjalah Pusat), tetapi ketika KNIP dibagai pembantu Presiden belaka, karena pada masa itu Presiden adalah Presiden Revolusi.
Oleh sebab pemikirannja pada waktu Presiden adalah Presiden Revolusi maka kedudukan IP, kedudukan eksekutif adalah dibawah legislatif.
Dibawah kondisi jang demikian sudah wadjar apabila (Badan Pekerdja) KNIP Kasman Singodimedjo, bersikap sebagai “yes man” terhadap Presiden. Dalam bukunya “Sekitar Proklamasi” (Djakarta 1970), Dr Hatta menulis, “Baru kemudian dalam pertengahan bulan 1945 Sjahrir bersedia menjadi Ketua Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat atas desakan Ibu Mangunsarkoro, untuk menggantikan Mr Kasman Singodimedjo jang hebat dikritik karena ia lebih banjak mendjadi alat pemerintah daripada Ketua Dewan Perwakilan Sementara. (Dr. Hatta membubuhkan catatan kaki: Sebenarnja kritik atas Mr Kasman itu formil benar, tetapi prinsipil tidak pada tempatnja…).
Berhubung dengan pertanjaan itu pertanjaan kita ialah, apakah terpetjahkannja masalah strukturil dan konjunkturil, terutama masalah konjukturil itu berarti, bahwa Ketua DPR (jang dengan sendirinja akan menjadi pula Ketua MPR) hasil pemilu diambilkan dari Parpol, tetapi typenja adalah type Mr Kasman Singodimedjo jang untuk meminjam kata2 Dr. Hatta lebih banyak mendjadi alat Pemerintah daripada Ketua Dewan Perwakilan Rakjat…???
Seperti kita ketahui, sesudah dalam bulan Oktober 1945 Sjahrir mendjadi Ketua Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat, hubungan terbalik, jaitu bukannja Ketua Dewan Perwakilan Rakjat jang mendjadi alat Pemerintah, melainkan pemerintah jang mendjadi alat Ketua Dewan Perwakilan Rakjat. Dalam kurun waktu jang amat singkat. Sjahrir berhasil menjulap sistem Kabinet Presidentil mendjadi Sistem Kabinet Parlementer, sesudah pada tanggal 1 Nopember 1945 Pemerintah mengandjurkan berdirinya partai2.
Akan tetapi terlalu menggantang asap bila kita mengharapkan pada waktu ini muntjulnja seorang Sjahrir sebagai Ketua DPR hasil pemilu, terutama bila kita mengingat perbedaan kondisi dewasa ini dengan kondisi tahun 1945, kendatipun sembojan patriotik dan revolusioner dewasa ini: Kita kembali kepada semangat 45!”
Dalam achir tahun 1945 seorang Sjahrir dapat munctjul dengan prospek jang gilang -gemilang, karena dikalangan Pemerintah pada waktu itu terdapat kolaborator2 Djepang, sedang kita menghadapi antjaman kembalinja Belanda jang dibantu oleh Inggris. Menurut cerita seorang teman jg dimasa pendudukan Djepang mendjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Djakarta, beberapa bulan sebelum Djepang menjerah, Soekarno masih berkata pada kepadanja:
“Saja tidak melihat sesuatu pentundjuk, bahwa Djepang akan menjerah. Mudah2an lima tahun lagi kita masih akan sama-sama hidup. Nanti kita melihat siapa jang benar diantara kita”.
Bajangkan seorang pemimpin jang prognestiknja salah sama sekali kemudian harus memimpin Revolusi. Tentu sadja, sekalipun predikatnja adalah Presiden Revolusi. (DTS)
Sumber: NUSANTARA (13/10/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 924-926.