Djali Ahimsa: Pak Harto Pemimpin Yang Penuh Pengertian

Pemimpin Yang Penuh Pengertian [1]

Ir. Djali Ahimsa [2]

Perkenalan saya dengan Pak Harto terjadi pada tahun 1972 di Wina, Austria, ketika beliau mengunjungi Austria dalam rangka lawatan kenegaraan. Pada waktu itu saya bekerja sebagai staf Badan Tenaga Atom lnternasional. Kami para warganegara Indonesia yang berada di Wina mendapat kesempatan bertemu dan bertukar pikiran dengan beliau mengenai studi, pekerjaan dan berbagai hal yang berkenaan dengan keadaan kami di luar negeri. Sesudah peristiwa itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan beliau. Pada tahun 1984 saya mendapat panggilan pulang untuk menjabat Direktur Jenderal Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) untuk menggantikan pejabat yang lama. Mengenai pengangkatan saya ini, saya kira Pak Habibie memainkan peranan yang besar. Sebab, pada musim panas tahun 1983 Pak Habibie, Menteri Riset dan Teknologi, yang sedang di Eropa menyinggung-nyinggung masalah ini. Setelah saya menjabat Direktur Jenderal Batan inilah saya sering bertemu dengan Pak Harto untuk membicarakan masalah-masalah yang berkenaan dengan bidang tugas saya.

Setelah pertemuan demi pertemuan terjadi, saya mendapat beberapa kesan tentang beliau, baik sebagai seorang pribadi, seorang kepala pemerintahan, ataupun sebagai seorang kepala negara. Pada perjumpaan saya yang pertama di Wina tahun 1972, saya melihat Pak Harto sebagai seorang pribadi yang sangat low profile. Sikap beliau lebih menunjukkan sebagai seorang Bapak yang ramah dan lembut daripada sikap yang angker sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Apalagi beliau seorang militer, tentunya kita akan membayangkan beliau sebagai seorang yang kaku dan angker. Ternyata gambaran yang semacam itu tak terlihat pada sikap Pak Harto.

Setelah saya menjadi pembantu beliau, saya merasakan bahwa Pak Harto adalah seorang pemimpin yang mempunyai wibawa yang besar disamping daya tangkap dan daya analisa beliau yang sangat tinggi. Hal ini terlihat, umpamanya, ketika kami terlibat dalam pembicaraan tentang masalah-masalah tenaga atom. Meskipun awam dalam bidang nuklir, tetapi beliau mempunyai pendapat-pendapat yang luas mengenai hal ini. Oleh karena itu, beliau mampu meletakkan dan memberikan saran-saran kepada kami tentang peranan nuklir dalam konteks pembangunan secara menyeluruh. Beliau juga mampu mengemukakan analisa-analisa di bidang ketenagaatoman. Dari sini pulalah saya mendapat kesan bahwa Pak Harto itu mempunyai pandangan dan wawasan yang luas terhadap masalah­masalah yang berkaitan dengan pembangunan negara.

Kesan yang demikian inipun diberikan oleh Hans Blixs, Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional, ketika pada tahun 1986 ia melakukan courtesy call kepada Presiden. Dalam pertemuan tersebut, Presiden memberikan penjelasan-penjelasan mengenai rencana pembangunan Indonesia, mengenai industri, pertanian, ekonomi dan segala hal yang berkaitan dengan pembangunan. Seusai pertemuan tersebut dia memberikan komentar yang bernada kagum: “Wah, Presiden anda mengetahui banyak hal mengenai pembangunan negaranya, sampai hal yang sangat detailpun tak lepas dari perhatian beliau, terutama dalam hal pertanian. Beliau tahu persis apa yang diperlukan oleh rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah petani. Bagaimana bisa Presiden anda mengingat data­data pertanian dengan demikian rinci?” Menurut pendapat saya beliau memang mempunyai daya ingat yang sangat kuat.

Tidak semua orang tertarik untuk membicarakan masalah­masalah nuklir. Pada mulanya saya mempunyai dugaan bahwa Pak Harto juga tidak akan tertarik mengenai hal tersebut. Ternyata dugaan saya keliru. Beliau sangat antusias sekali ketika kami dari Batan menguraikan masalah-masalah dan rencana-rencana kami, baik yang bersifat jangka pendek maupun yang bersifat jangka panjang. Dalam suatu pertemuan kami mengemukakan rencana jangka panjang mengenai penggunaan tenaga nuklir sebagai alternatif tenaga listrik. Kami mengemukakan masalah ini, karena pada suatu ketika nanti kita pasti akan kekurangan tenaga listrik yang sudah tidak dapat lagi melayani perkembangan industri kita, yaitu pada saat kita tinggal landas. Kita tidak mungkin lagi menggunakan minyak dan batubara, yang dapat menyebabkan tingginya tingkat polusi. Nah, untuk itu kami dari Batan mengusulkan pada beliau suatu bentuk teknologi yang cukup tinggi tingkat keselamatannya, yaitu penggunaan tenaga nuklir. Beliau dengan cepat dapat memahami pemikiran kami dan memberikan tanggapan yang sangat baik.

Dalam hal ini kami juga memberikan gambaran pada beliau dengan menyampaikan data-data mengenai berapa besarnya tenaga listrik yang diperlukan, khususnya di Pulau Jawa. Dalam pembicaraan ini tampaknya Presiden tidak hanya memikirkan masalah tenaga listrik bagi industrialisasi saja. Selain itu beliau juga memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Artinya rakyat juga perlu diberikan penerangan. Beliau menginginkan agar semua rakyat, sampai ke desa­desa, dapat menikmati listrik. Dapat kita bayangkan berapa ribu desa di seluruh Indonesia yang memerlukan penerangan listrik. Di Pulau Jawa saja, kalau tidak salah, yang sudah dapat menikmati listrik baru kira-kira 15-20%. Jadi sebagian besar daerah-daerah Indonesia masih gelap. Kita dapat membayangkan berapa jumlah tenaga listrik yang akan kita perlukan.

Dalam kesempatan inilah kami menyampaikan betapa pentingnya pemakaian sumber alternatif, yaitu memakai tenaga nuklir. Sebab, tenaga nuklir adalah sumber energi yang dapat diandalkan dan relatif cukup murah juga. Akan tetapi banyak orang yang sangat khawatir kalau di Pulau Jawa terdapat reaktor nuklir, karena pulau ini dianggap terlalu kecil. Bagaimana jika seandainya terjadi seperti peristiwa Chernobyl? Menghadapi masalah ini kami menghadap Pak Harto dan menjelaskan mengapa peristiwa Chernobyl itu terjadi dan mengapa kejadiannya begitu dahsyat. Hal ini kami lakukan agar Pak Harto mempunyai gambaran bahwa peristiwa Chernobyl itu bisa terjadi akibat tingkat safety-nya yang rendah.

Reaktor nuklir di Chernobyl itu, secara fisik tidak aman, karena tingkat keamanannya tidak setinggi dan secanggih reaktor-reaktor di negara-negara Barat. Reaktor tipe Chernobyl ini pada mulanya dikembangkan oleh Uni Soviet untuk maksud memproduksi plutonium sebagai bahan peledak nuklir. Berbeda dengan reaktor nuklir yang dikembangkan di dunia Barat, reaktor tipe ini mempunyai tingkat keselamatan yang rendah, karena bentuk fisiknya dan kombinasi bahan bakar dan moderatornya. Akan tetapi sangat produktif untuk memproduksi plutonium. Karena tipe ini telah dianggap mantap oleh pemerintah Uni Soviet, maka tipe reaktor ini dikembangkan untuk keperluan sipil, untuk pembangkit tenaga listrik. Sistem keamanan yang dianut Uni Soviet juga sangat berbeda dengan sistem yang kita ketahui di negara-negara Barat, yang pada umumnya sangat ketat. Sebagai contoh sistem keamanan yang berlapis seperti di dunia Barat tidak terdapat di Uni Soviet. Menanggapi masalah ini Pak Harto cepat memberikan reaksi dengan menyatankan agar dalam membangun reaktor nuklir kita tingkat keamanannya dijaga betul. Dari beberapa kali pertemuan dimana kami terlibat dalam pembicaraan mengenai masalah nuklir, saya melihat bahwa Presiden adalah seorang pemimpin yang sangat terbuka dan demokratis. Beliau mencoba mengerti dan memahami dengan membiarkan kami mengemukakan pendapat-pendapat kami, baru kemudian beliau memberikan pengarahan-pengarahan. Sikap beliau yang semacam inilah yang melegakan kami, karena kami merasa diberi kepercayaan yang penuh dalam menangani bidang kami.

Dengan kepercayaan yang penuh dari beliau, kami bertekad untuk bekerja semaksimal mungkin agar tidak mengecewakan beliau. Itulah sebabnya kami selalu berusaha menanggulangi setiap masalah besar atau kecil dengan menghubungi para pembantu beliau yang lain, seperti Menteri Keuangan, Ketua Bappenas dan Pak Habibie (biasanya lebih dahulu), daripada langsung membawanya kepada Pak Harto. Syukur alhamdulillah selama saya menjadi pembantu beliau, kami dari Batan dapat mengatasi masalah-masalah yang kami hadapi. Mudah-mudahan kami tidak akan menemukan masalah besar yang akan kami kemukakan pada Presiden.

Dapatlah dikatakan bahwa Indonesia sekarang ini telah memasuki era nuklir, tetapi kita tidak akan menggunakan nuklir untuk kepentingan persenjataan. Pak Harto juga telah menekankan bahwa nuklir kita adalah untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Beliau juga mengatakan bahwa Indonesia ikut serta dalam meratifikasi perjanjian internasional yang menyatakan bahwa kita tidak akan memproduksi senjata nuklir. Hal ini merupakan kebijaksanaan yang tepat, karena jika orang mengetahui kita mempunyai program nuklir untuk kepentingan persenjataan, maka kita tidak mungkin akan dapat mengalihkan teknologi nuklir yang sangat kita butuhkan untuk, pembangunan PLTN kita nanti.

Mengembangkan teknologi senjata nuklir bagi suatu negara berkembang adalah tindakan yang sangat tidak bijaksana. Tidak ada artinya dimana negara-negara adikuasa memiliki beribu-ribu kepala ledak nuklir dan negara berkembang dengan sarana yang terbatas mampu membuat hanya satu sampai sepuluh senjata nuklir saja. Memiliki senjata nuklir berarti kita harus dapat mempertahankan diri terhadap serangan nuklir, dimana teknologi untuk menampik serangan nuklir adalah sangat mahal pula dan belum tentu akan berhasil. Bukankah dana yang begitu besar akan lebih bermanfaat jika dipergunakan untuk pembangunan? Jepang, sebagai contoh, dapat mengembangkan industrinya meskipun ia tidak memiliki senjata nuklir.

Pak Harto sangat menyetujui pandangan ini; bahkan beliaulah yang banyak memberikan masukan-masukan menyangkut penggunaan-penggunaan nuklir kita. Ketika kami menguraikan kepada beliau bahwa kami telah menggunakan nuklir untuk kepentingan pertanian, beliau sangat mendukung dan gembira sekali. Sebagai contoh, umpamanya, kami telah meneliti pupuk dengan memakai radio isotop. Kami telah pula menggunakan radio isotop untuk meneliti kadar tanah dan kadar perembesan air di tanah. Begitu pula kami telah meneliti makanan ternak, terutama untuk sapi, kambing dan binatang yang sejenis itu. Dalam kaitan ini kami menggunakan isotop untuk mengembangkan makanan ternak suplementer. Khusus untuk. yang terakhir ini, kami sendiri belum melaporkannya pada beliau, tetapi ketika Direktur Jenderal Peternakan menyerahkan hasil penelitian tersebut, kami mendapat telepon dari Cendana. Presiden meminta laporan yang lengkap mengenai penelitian kami.

Beliau sangat bergairah mendengarkan laporan kami. Pak Harto memang seorang yang penyabar dan demokratis. Beliau selalu menjadi pendengar yang baik dan tetap mendengarkan ketika para pembantu beliau mengemukakan argumentasi-argumentasi mereka. Hal ini telah saya rasakan sendiri. Tak ada kesan angker dalam sikap dan tutur kata beliau. Kesederhanaan dalam sikap selalu tercermin baik pada waktu kami menghadap beliau di Bina Graha ataupun di Cendana. Sama saja. Pak Harto tidak pernah menolak kalau saya, melalui ajudan beliau, ingin menghadap. Bahkan pernah saya merasa tidak enak sendiri, karena ketika beliau menerima saya, beliau sedang dalam keadaan sakit, pilek dan batuk-batuk. Seandainya saya mengetahuinya lebih dahulu tentu saya akan menangguhkan pertemuan tersebut. Setiap kami menemui beliau, sebelum kami masuk kepada pembicaraan yang pokok, pertama-tama beliau selalu menanyakan keadaan keluarga kami. Di situlah sifat kebapakan beliau tampak dengan jelas. Hal ini menimbulkan rasa dekat kami kepada beliau sehingga pembicaraan dapat berjalan dengan lancar, karena  diliputi  rasa  kekeluargaan.

Sikap beliau yang semacam ini saya kira tidak hanya ditujukan pada saya pribadi saja, karena beliau selalu menyediakan waktu untuk memenuhi undangan-undangan di luar kedinasan. Pak Harto selalu hadir dan hampir selalu menjadi saksi pada upacara-upacara pernikahan putera-puteri pembantu beliau. Perhatian Pak Harto yang semacam inilah yang memberikan rasa kelegaan pada kami, para pembantu beliau. Tindakan yang demikian tampaknya memang kecil, tetapi menurut saya mempunyai dampak psikologis yang besar. Beliau adalah seorang pemimpin bangsa tetapi juga seorang Bapak yang penuh pengertian bagi para pembantu beliau dan rakyat lndonesia.

***



[1]     Ir. Djali Ahimsa, “Pemimpin Yang Penuh Pengertian”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 913-918.

[2]     Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Nasional

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.