EDITORIAL: KITA DAN JEPANG [1]
Jakarta, Media Indonesia
PERJALANAN Presiden Soeharto ke luar negeri kali ini menghasilkan sejumlah fenomena menarik. Pidato Presiden di depan Sidang Majelis Umum PBB dianggap oleh berbagai kalangan sebagai pidato yang sangat bagus. Padahal kita tahu Pak Harto bukan seorang orator.
Juga di New York, Presiden Soeharto menerima animo begitu tinggi dari kalangan pengusaha Amerika Serikat yang ingin mengetahui peluang bisnis di Indonesia. Kita mencatat bahwa animo dan apresiasi itu mengalir justru karena penampilan Pak Harto yang tenang dan sederhana, tetapi rasional baik dalam argumentasi soal misi dan keinginan Gerakan Non Blok, maupun mengenai posisi Indonesia dewasa ini.
Setelah meraih simpati di New York, Presiden Soeharto dan rombongan, Minggu (27/9), tiba di Tokyo untuk kunjungan ketja selama tiga hari. Kalau Presiden menaruh perhatian khusus kepada Jepang dalam kunjungan kali ini, agaknya sangat tepat. Hubungan Jepang dan Indonesia dari waktu ke waktu kian bertambah penting karena Jepang merniliki posisi sangat khusus.
Fakta yang sangat menonjol adalah Jepang telah muncul menjadi kekuatan yang amat dominan dalam perekonomian Indonesia. Dalam investasi asing di Indonesia sampai dengan 1991 Jepang telah menanamkan modalnya sebanyak US$12,3 rniliar yang menyebar di 472 proyek. Dengan angka investasi sebanyak itu modal Jepang mencapai 23% dari seluruh modal asing yang ditanarnkan di Indonesia.
Tidak itu saja. Modal Jepang di Indonesia masih bertambah lagi dengan bantuan lewat IGGI (tahun ini berubah menjadi CGI) yang kini hampir mencapai US$10 rniliar.
Persoalan yang kemudian muncul tidak sesederhana angka yang kita sebut.
Keunggulan modal Jepang menimbulkan kompleksitas sosial-ekonomi yang kini merebak. Kalangan yang tidak puas menuding bahwa ketimpangan ekonomi yang kini menggejala adalah dosa dominasi Jepang itu.
Maka tudingan terhadap Jepang seperti tidak ada hentinya. Kita dianggap terlalu mudah memberi konsesi modal terhadap Jepang yang lama kelamaan berubah menjadi ketergantungan.
Pertanyaan yang sekarang mengusik,sampai batas mana kita menggantungkan diri terhadap Jepang? Atau dengan kata lain seberapajauhkan kita membiarkan diri larut dalam dominasi itu?
Perkembangan dewasa ini memperlihatkan bahwa pengertian dominasi bisa dipertanyakan. Karena, Jepang sekarang telah muncul menjadi pasar terbesar ekspor Indonesia. Dibanding dengan negara lain yang menjadi mitra dagang Indonesia, Jepang cukup santun dalam politik sejauh yang menyangkut Indonesia. Sedikit sekali terlihat bahwa Jepang memaksakan kehendaknya sebagai negara yang memiliki Investasi dan bantuan modal paling besar.
Retorika politik yang menyudutkan Indonesia dalam segi perdagangan jarang muncul dari Tokyo. Sejauh yang kita tangkap, retorika selama ini baru menyinggung perdagangan kayu lapis. Di tengah arus pertanyaan seperti ini kehadiran Presiden Soeharto di Jepang kita anggap penting. Kita berharap setelah mengadakan pembicaraan dengan PM Miyazawa dan kunjungan kehormatan pada Kaisar Akihito, Pak Harto dapat pula membuka terobosan baru bagi usaha pengembangan hubungan bilateral RI-Jepang. Sehingga porsi modal dan bantuan yang mengalir deras ke Indonesia tidak boleh dimaksudkan untuk mendominasi, tetapi refleksi saling ketergantungan. Kita butuh Jepang, tetapi Jepang juga membutuhkan kita.
Sumber: MEDIA INDONESIA (20/09/ 1992)
______________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 361-362.