Defisit Perdagangan Terbesar dalam 51 Tahun
ORDE BARU TAK PERNAH DEFISIT
Neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit terbesar sejak 1961. Barang impor, dari migas hingga nonmigas, membanjiri negeri ini. Ini memprihatinkan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia kurun Januari hingga Desember 2012 mencapai US$190,04 miliar atau turun 6,61 persen dibandingkan periode yang sama pada 2011. Sementara nilai impor pada 2012 mencapai US$191,67 miliar atau naik 8,02 persen dibandingkan 2011 senilai US$ 177,4 miliar. Dengan acuan data tersebut, neraca perdagangan Indonesia selama 2012 mengalami defisit hingga US$1,63 miliar. Menurut sektor, ekspor hasil industri turun sebesar 4,95 persen dibandingkan 2011. Demikian pula hasil tambang turun 9,57 persen dan pertanian 7,98 persen. Sementara ekspor migas turun 10,86 persen dibandingkan 2011.
Terbesar Sejak 1961
Defisit perdagangan pada 2012 merupakan yang tertinggi dalam sejarah Indonesia, paling tidak sejak 1961. Tingginya tingkat impor sektor migas untuk memenuhi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dituding menjadi biang keladi defisit tersebut. “Kalau defisit itu terus menerus berjalan, maka defisit migas kita akan bertambah tinggi,” ujar Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar. Mahendra mengatakan, upaya untuk mengurangi defisit perdagangan harus dilakukan dengan menekan konsumsi BBM bersubsidi pada 2013. Pemerintah juga harus mendukung kebijakan pemerintah daerah (pemda) yang mendukung kebijakan pengurangan konsumsi BBM. “Pemerintah pusat harus mendukung kebijakan Pemda dalam mengeluarkan pro pengurangan konsumsi BBM, seperti pengembangan moda transportasi massal,” kata Mahendra. Dia melanjutkan, tak ada cara lain untuk menahan laju defisit perdagangan nasional selain menjaga subsidi BBM dalam posisi terkendali. Untuk itu, pemerintah bertanggung jawab untuk terus menjaga besaran nilai subsidi. “Harus menjaga dan mengendalikan tingkat volumenya dan juga efektivitasnya pun harus dijaga,” paparnya.
BBM Biang Keladi ?
Sektor migas menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan Indonesia dengan nilai mencapai US$5,59 miliar. Beruntung penurunan masih dapat ditekan dengan perdagangan nonmigas yang mengalami surplus US$3,96 miliar. Impor BBM selama Januari-November sudah mencapai US$26 miliar, sedikit di bawah impor mesin dan peralatan mekanik sebesar US$26,2 miliar. Apalagi kuota BBM bersubsidi sudah ditambah dan tambahan itu berasal dari impor. Biang keladi dari pengganggu instabilitas perekonomian ternyata impor BBM.Pada 2011, impor BBM melonjak jadi US$28,1 miliar dari US$18,0 miliar pada 2010. Tak ada yang mengalahkan laju peningkatannya. Pemburukan neraca perdagangan 2012 merupakan kelanjutan dari yang sudah terjadi pada tahun sebelumnya. Sedemikian parah sudah keadaannya sehingga defisit minyak kita tidak bisa lagi dikompensasikan oleh surplus gas. Untuk kedua kalinya setelah 2008, kini kita kembali mengalami defisit perdagangan migas. Jika pada 2008 defisit perdagangan migas baru US$1,4 miliar, pada Januari-November 2012 melonjak menjadi US$4,8 miliar. Kedaulatan energi kita kian rapuh.
Impor Non Migas Juga Naik
Namun, yang harus diperhatikan juga adalah turunnya ekspor nonmigas dan naiknya impor nonmigas. BPS mencatat ekspor nonmigas pada 2012 US$153,1 miliar atau turun 5,52 persen dibandingkan 2011. Sedangkan impor nonmigas pada 2012 US$149,1 miliar atau naik 9,05 persen dibandingkan 2011. Sekjen Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon, mengatakan pemerintah harus membatasi kuota impor guna menyeimbangkan neraca perdagangan Indonesia tahun 2012 yang tercatat defisit. “Bahkan, ketika krisis ekonomi 1997-1998 saja kita masih surplus,” katanya. Menurut Fadli, pemerintah harus membuat langkah strategis untuk menangani defisit tersebut, yakni menata ulang pola perdagangan dengan mengadakan “National Trade Policy” (Kebijakan Perdagangan Nasional) yang mengutamakan kepentingan nasional. “Selama ini, kita telah membuka sebesar-besarnya perdagangan bebas, namun karena daya ekspor dan daya saing kita kurang, akhirnya malah Indonesia menjadi pasar bagi produk-produk asing,” ujarnya. Dia memperkirakan neraca perdagangan pada 2013 akan tetap mengalami defisit bila nilai impor masih lebih tinggi dibanding nilai ekspor. “Perkiraan ekspor Indonesia pada 2013 mencapai 9,22 persen, namun impor bisa mencapai 9,24 persen,” kata Fadli. Dia mendesak pemerintah untuk segera membatasi kuota impor, khususnya kuota impor barang holtikultura, barang modal, dan migas. “Sebab komoditas-komoditas itu yang mengalami peningkatan impor pada tahun lalu,” jelasnya.
Selain itu, dia menyarankan adanya penguatan sektor industri domestik untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, dimana Indonesia tidak perlu mengimpor bahan baku dari luar jika memang tersedia di dalam negeri. Dia mengatakan, realisasi impor bahan baku pada 2012 Rp313,2 triliun dibandingkan target awal yang hanya Rp283 triliun. “Selama ini, investasi modal selalu diiringi impor bahan baku. Inilah yang menyebabkan neraca perdagangan menjadi defisit,” ujarnya. Fadli menekankan bahwa pemerintah harus segera melakukan evaluasi terhadap tata cara investasi dan perdagangan bebas yang diterapkan sekarang ini. “Pola perdagangan bebas saat ini terbukti tidak tak mampu mendorong perkembangan ekonomi nasional sehingga hal ini harus dicegah agar neraca perdagangan kita tidak defisit terus-menerus,” katanya.
Orde Baru Tak Pernah Defisit
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai neraca perdagangan Indonesia saat ini lebih buruk dibandingkan zaman Orde Baru. Saat ini, menurut pihak Kadin, banyak aturan aneh dalam perdagangan yang membuat impor lebih besar daripada ekspor. “Sekarang sering timbulkan kebijakan aneh. Kalau kita berbicara mengenai hambatan nontarif, biasanya ini untuk menekan impor. Justru hambatan itu malah banyak dilakukan untuk menekan ekspor,” ungkap Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulistyo. Pada masa Orde Baru, dia bilang, Indonesia tidak pernah mengalami defisit atau impor melebihi ekspor. Namun saat ini telah terjadi peningkatan impor bahan baku dan barang modal. “Kami juga sampaikan ke pemerintah, ini sangat memprihatinkan.” Oleh karena itu, dia meminta kepada pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan impor bukan ekspor. Permintaan ini bukan untuk untuk membatasi proses hilir tapi hulu dalam proses daya saing. “Dunia usaha jangan hanya obyek regulasi, dunia usaha mendatang agar mampu berkontribusi bagi pembangunan,” kata dia.
Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Orde Baru Satrio Budihardjo Yudono meminta pemerintah tegas memainkan hambatan nontarif guna memperbaiki defisit neraca perdagangan terhadap sejumlah negara. Pengurangan tarif masuk bagi barang impor yang membuat Indonesia dibanjiri produk asing berharga murah harus diseimbangkan dengan pemberlakuan pengetatan hambatan nontarif. Selain defisit terhadap Singapura dan Thailand, neraca perdagangan Indonesia juga mengalami nasib serupa terhadap Cina dengan besar defisit senilai US$1,174 miliar pada Januari 2012. Billy Yudono, demikian dia akrab disapa, menyarankan agar pemerintah mengantisipasi banjir impor produk negara tetangga dengan memberlakukan aturan mutu dengan konsisten.Pengetatan hambatan nontarif dinilainya efektif menyembuhkan defisit perdagangan. Billy juga mengaku prihatin dengan banjir produk impor yang berbahaya bagi produsen lokal.“Kalau hambatan tarif dikurangi, sekarang yang dimainkan hambatan nontarif. Jadi tidak hanya mengenakan pada tarif saja. Barang-barang yang murah bisa masuk karena aturan mengenai mutu tidak diterapkan,” ujarnya.
Billy menyebut Standarisasi Nasional (SNI) sebagai salah satu hambatan nontarif yang dapat dimaksimalkan. “Itu salah satu dari banyak hambatan nontarif,” tandasnya. Dalam buku Panjangnya Jalan Politik, Mantan menteri Orde Baru Cosmas Batubara menulis kebijakan ekonomi Orde Baru fokus pada bagaimana memperbesar tabungan pemerintah dengan menjaga nilai ekspor yang lebih tinggi daripada nilai impor. Impor pun hanya difokuskan kepada barang yang berfungsi menunjang proses industrialisasi. Hasilnya, tabungan pemerintah pada tahun anggaran 1993/1994 mampu membiayai lebih daripada setengah anggaran pembangunan.[]