Ginandjar Kartasasmita: Pak Harto, Pikiran Modern Dalam Pribadi Jawa

Pikiran Modern Dalam Pribadi Jawa

Ginandjar Kartasasmita (Marsekal Muda TNI; Menteri Pertambangan dan Energi, dalam Kabinet Pembangunan V)

Setelah kembali dari tugas belajar di Jepang pada bulan November 1965, saya bekerja di G-5/KOTI. Di G-5/KOTI itu saya bertemu dengan Pak Sudharmono, waktu itu masih berpangkat kolonel dan menjadi salah seorang asisten Ketua G-5/KOTI, Brigjen. Soenarso. Tidak lama kemudian, menjelang akhir tahun 1966, saya dipanggil latihan oleh AURI di Panasan; jadi, sejak semula saya sudah menjadi militer sukarela (Milsuk) dan bukan Wamil. Saya kemudian ditempatkan di Litbang AURI di Bandung, yang waktu itu namanya masih Depot Logistik. Kemudian ketika Pak Harto menjadi Ketua Presidium Kabinet dan Pak Dharmono diangkat menjadi Sekretaris Presidium Kabinet, saya dipanggil dari Bandung dan ditugaskan di Sekretariat Presidium Kabinet. Di sanalah saya untuk pertama kalinya melihat Pak Harto dari dekat sebagai Ketua Presidium Kabinet.
Pertama kali bertemu langsung dengan Pak Harto adalah ketika saya diminta menjadi penerjemah bahasa Jepang buat beliau. Waktu itu beliau menerima tamu dari Jepang, yaitu bekas instruktur beliau di PETA. Terus terang, sebenamya saya merasa tidak pantas menjadi penerjemah, karena, meskipun saya bisa berbahasa Jepang, karena bersekolah di Jepang selama hampir enam tahun, akan tetapi menjadi penerjemah adalah soal lain. Saya merasa betul pekerjaan itu kurang sempuma saya lakukan. Dan saya merasa Pak Harto mengetahui juga ke-“kikuk”-an saya waktu itu. Saya juga merasa bahwa beliau cukup mengetahui bahasa Jepang.
Sejak ditugaskan di Sekretariat Presidium Kabinet saya mengikuti Pak Harto dalam hampir semua sidang-sidang (Presidium dan kemudian) Kabinet, meskipun sampai tahun 1983 (sebelum menjadi Menteri Muda di Kabinet Pembangunan IV), cuma duduk di barisan belakang untuk mencatat saja, dan dalam berbagai kegiatan yang terjadi dalam perkembangan Orde Baru di masa-masa itu. Saya juga banyak mengikuti perjalanan beliau, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Keseluruhannya sampai saat ini sudah 23 tahun lamanya saya menjadi pembantu beliau, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan sendirinya masa yang cukup panjang itu telah cukup untuk mengatakan saya mengenal Pak Harto dengan cukup baik.
Saya percaya bahwa sejarah akan mencatat Pak Harto sebagai pemimpin yang besar. Beliau dapat bersanding sama tinggi sama rendah dengan peinimpin-pemimpin besar di dunia dan akan me ninggalkan bekas sejarah seperti pemimpin-pemimpin besar kita lainnya, seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Setelah 45 tahun merdeka kita memiliki dua Presiden, dan bangsa Indonesia harus bersyukur bahwa kita memperoleh pemimpin yang tepat pada saat yang tepat. Bung Kamo tepat untuk masanya, dan Pak Harto tepat untuk masanya pula. Jelas ada kontroversi mengenai Bung Karno, tetapi hal itu tidak mengurangi kebesaran beliau sebagai pemimpin yang besar dari bangsa ini. Pengakuan sejarah ini justru dimungkinkan oleh sikap bijaksana Pak Harto. Dari sini saya ingin mulai dalam mencatat kesan-kesan saya mengenai Pak Harto.
Kita masih ingat, betapa opini masyarakat waktu itu menginginkan Bung Karno diadili atas keterlibatan beliau dalam G.30.S/PKI Tetapi Pak Harto tidak menghendakinya. Beliau tidak ingin menodai sejarah bangsa Indonesia dengan mengadili Presidennya yang pertama, Proklamator Kemerdekaannya. Beliau menyatakan kita mikul dhuwur, mendhem jero terhadap Bung Karno.
Banyak orang yang kecewa, dan sejarah mungkin akan mempertanyakan apakah tidak sebaiknya pengadilan itu dllakukan agar jelas apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Dengan demikian generasi yang akan datang tidak dibebani dengan teka-teki. Namun bisa kita bayangkan apa jadinya bangsa ini apabila hal itu dilakukan.
Apa jadinya sesuatu bangsa yang memperhina seseorang yang memimpin perjuangan kemerdekaannya? Dimanakah kita bisa menempatkan harga diri kita? Saya yakin sejarah akan mencatat langkah Pak Harto itu sebagai sikap kenegarawanan yang besar, yang menunjukkan seseorang yang berperasaan hati yang dalam. Setiap bangsa memerlukan pahlawan dan riwayat kepahlawanan. Bung Kamo salah seorang diantaranya. Bangsa kita akan menderita sendiri kalau kita mencoreng citra pahlawan-pahlawan kita sendiri.
Sikap yang sama ditunjukkan pula ketika Pak Harto didesak untuk langsung saja mengambil alih pemerintahan, karena situasi yang sangat buruk, dari Bung Kamo yang tidak kooperatif. Kita bisa membacanya dari buku-buku beliau, tetapi saya ikut menyaksikan berbagai kejadian itu dari dekat. Kelihatannya itu jalan yang paling gampang, apalagi seluruh kekuatan ada di tangan beliau, dan seluruh rakyat ada di belakang beliau. Tetapi beliau menolaknya dan memilih jalan konstitusional. Beliau berpendirian kalau kit a ingin menata kembali kehidupan bangsa ini sesuai dengan konstitusi, haruslah dilakukan menurut cara yang diatur dalam konstitusi itu sendiri. Bagaimana kita bisa mulai membangun kehidupan konstitusional dengan cara yang tidak konstitusional; begitulah kira-kira alam pikirah Pak Harto.
Dan terbukti itu jalan yang paling benar. Kita telah merasakannya sekarang, dan sejarah akan menulis demikian. Saya kira langkah Pak Harto itu adalah awal proses transisi kepemimpinan nasional dengan cara demokrasi berdasarkan konstitusi. Itu merupakan modal yang amat berharga bagi usaha membangun kehidupan demokrasi dan konstitusional di masa kemudian. Bayangkan saja bagamana jadinya bangsa ini kalau pergantian kepemimpinan itu dilakukan denga paksaan. Tidak sulit untuk membayangkan negara kita menjadi seperti negara lain-lainnya yang dilanda kudeta demi kudeta. Karena kudeta itu seperti candu, sekali dilakukan menjadi ketagihan. Kita-kita ini, sekurang-kurangnya saya, dapat lebih mepyadarinya sekarang, tetapi Pak Harto telah melihatnya sejak waktu itu.
Kedua hal yang berkenaan dengan sikap beliau terhadap Bung Kamo itu saya ungkapkan semata-mata untuk memperlihatkan wawasan politik Pak Harto. Walaupun beliau dibesarkan dalam kehidupan militer, jelas beliau adalah seorang demokrat, dalam arti meyakini bahwa yang berdaulat adalah rakyat. Dan beliau berusaha untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat dengan sabar tetapi konsisten. Tahap demi tahap beliau membangun politik di Indonesia atas dasar konstitusi. Dimulai dengan pemilihan umum yang tepat dilakukan lima tahun sekali, penyederhanaan kepartaian serta penataan kembali hubungan lembaga-lembaga kenegaraan yang diatur dalam UUD 1945. Dan berbagai usaha lainnya untuk mempraktekkan apa yang tertulis dalam undang-undang dasar. Saya sering menyaksikan reaksi keras beliau kalau ada indikasi atau ucapan orang yang tidak menghargai konstitusi atau mencoba memanipulasinya untuk alasan tertentu.
Banyak orang merasa langkah-langkah penataan politik dan demokrasi itu kurang cukup atau kurang cepat. Tetapi .saya memahami mengapa Pak Harto tidak langsung saja mengadakan perubahan politik sekali jadi. Beliau pada dasamya adalah pribadi yang konsisten tetapi hati-hati. Kalau sudah ada satu niat, beliau tidak bisa dibelokkan dari niat itu. Tetapi beliau juga sangat cermat dan sabar. Beliau tidak gerabag-gerubug, kata orang Sunda. Beliau mampu menunggu kalau perlu sampai puluhan tahun mewujudkan niatnya. Beliau mengatakan aja nggege mangsa; jangan mendahului saat. Kalau sesuatu belum tiba saatnya, jangan dipaksakan.
Banyak orang tidak mengerti kenapa beliau sesabar itu. Tetapi kalau direnungkan mungkin itulah yang bijaksana. Masalah (bangsa) itu besar, terlalu kompleks untuk dikelola secara gegabah. Sesuatu gagasan harus diuji dulu sebelum diterapkan. Saya juga menyadari mengapa beliau ingin memastikan apakah saat dan kadar tindakan sudah tepat atau tidak sebelum langkah diambil; karena beliau tidak menginginkan kegagalan. Karena kalau gagal jadi hal yang sebaliknya dari yang diinginkan, sekurang-kurangnya bisa terjadi kemunduran, sehingga kita harus mulai lagi dar permulaan. Misalnya gagasan beliau agar Pancasila bukan hanya di idealkan, tetapi juga dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan itu baru diwujudkan pada pertengahan dasawarsa 1970-an, setelah beliau melihat saat yang tepat. Padahal saya yakin beliau sudah lama mengemban pikiran itu.
Salah satu tonggak sejarah dalam pembangunan politik di Indonesia adalah tercapainya konsensus nasional untuk menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Setelah demikian lamanya kita merdeka baru sekarang, di bawah kepemimpinan Pak Harto, kita berhasil mengikat seluruh bangsa dalam satu asas yaitu Pancasila: Ini bukan prestasi yang kecil, karena kita masih ingat betapa kuatnya tantangan terhadap gagasan ini sepanjang sejarah bangsa Indonesia, dalam berbagai bentuk dan dengan berbagai alasan.
Secara konsisten pada saatnya yang beliau anggap tepat pula Pak Harto telah mengambil langkah-langkah untuk memantapkan kehidupan demokrasi yangberdasarkan konstitusi di tanah air kita. Pak Harto mendorong dan meneladani keterbukaan. Lembaga­ lembaga perwakilan rakyat, organisasi-organisasi politik, pers dan masyarakat telah makin bergairah dalam menyelenggarakan fungsi kontrol sosial yang memang sangat diperlukan dan merupakan salah satu ciri pokok dalam setiap demokrasi. Dengan sendirinya diperlukan pula kematangan untuk dapat memanfaatkan suasana keterbukaan itu dengan sebaik baiknya dan dengan rasa tanggungjawab untuk; lebih menumbuhkan kehidupan demokrasi, dan justru bukan menjurus anarki.
Pak Harto juga menganjurkan masyarakat untuk secara terbuka berdilog. Dalam setiap kesempatan yang ada beliau berbicara langsung dengan rakyat dan menggali pandangan masyarakat terhadap berbagai isyu nasional.
Beliau menyampaikan: Pancasila adalah ideologi, yang terbuka. Dengan itu beliau menghilangkan kesan dogmatik dari Pancasila sebagai idiologi. Contoh lain, beliau juga mengundang para ahli ekonomi kita untuk memberi sumbangan pikiran mengenai Demokrasi Ekonomi berdasarka Pancasila. Setiap kali menjelang Sidang tahunan MPR beiiau memberikan sumbangan pikiran berupa rancangan GBHN. Pada saat menyusun rancangan tersebut Pak Harto mengundang seluruh lapisan masyarakar untuk menyampaikan usul-usul dan pandangan-pandangan.
Demikian pula gagasan Pak Harto menciptakan keadilan Sosial dengan memberi kesempatan yang lebih luas kepada golongan masyarakat yang berkemampuan kecil melalui koperasi sesuai dengan amanat konstitusi; beliau wujudkan setelah waktunya beliau anggap tepat. Gagasan agar koperasi memiliki saham di perusahaan­perusahaan besar misalnya, sudah lama saya dengar beliau ucapkan, tetapi beliau menunggu saat yang tepat untuk mewujudkannya. Dan saat yang tepat itu menurut beliau adalah sekarang, menjelang akhir tahap pembangunan jangka panjang pertama, setelah perusahaan­perusahaan besar telah siap dan mampu memikulnya.
Kalau dikatakan beliau orang yang sabar, tidak terburu-buru, tidak berarti bahwa beliau lambat mengambil keputusan. Sama sekali Pak Harto tidak berjiwa alon-alon asal kelakon. Sebaliknya beliau mempunyai keistimewaan yaitu bisa cepat mengambil keputusan dan menentukan sikap. Jarang sekali saya alami keluar dari ruangan Presiden tanpa memperoleh keputusan atau petunjuk yang saya perlukan atau saya mintakan. Beliau cepat dan tanggap sekali terhadap masalah-masalah pemerintahan. Saya belum pemah mengalami keadaan dimana masalah yang diajukan, baik secara lisan atau tulisan tidak ditanggapi oleh Pak Harto. Bukan hanya di dalam negeri, pada waktu saya bertugas di luar negeri heliau selalu memperhatikan dan memberi petunjuk segera jika diperlukan keputusan yang berdampak politik, yang perlu mendapat petunjuk langsung dari Kepala Negara. Hubungan dengan beliau dilakukan melalui Menteri/Sekretaris Negara. Dengan tidak mengenal waktu karena adanya perbedaan waktu serta keputusan yang acapkali harus segera diambil karena proses perundingan yang cepat jalannya. Ada suatu saat dimana beliau sedang sakit, dan pada malam hari harus diganggu oleh Pak Moerdiono untuk memberikan petunjuk kepada saya yang ada waktu itu sedang mengikuti Koriferensi OPEC di Wina. Mempunyai atasan seperti itu tentu menenteramkan hati kita. Saya kira ini perlu diteladani, oleh karena banyak orang tidak mampu mengambil keputusan cepat entah karena ingin hati-hati atau memang kurang menguasai permasalahan sehingga akhimya menjadi berlarut larut.
Apabila di bidang politik masih saja ada orang yang menginginkan proses pembaharuan politik yang lebih cepat, di bidang ekonomi umumnya orang sepakat adanya kemajuan-kemajuan besar yang dicapai oleh Orde Baru, yang tidak lain karena kepemimpinan Pak Harto.
Banyak orang mengatakan bahwa kaum teknokratlah arsitek pembangunan ekonomi yang berhasil ini. Saya tidak berpendapat demikian. Memang membangun ekonomi memerlukan pengetahuan teknis dan ilmiah dalam banyak bidang. Dan jelas para teknokrat dan teknolog memberi sumbangan yang tidak kecil. Namun filosofi pembangunan ekonomi itu sendiri bersumber pada Pak Harto. Beliau yang meletakkan landasan-landasan pokoknya dan menentu­ kan arahnya. Tentu saja sebelum menentukan itu semua, beliau mendengar pandangan banyak orang, termasuk para teknokrat. Itu hal yang biasa; tetapi keputusan adalah keputusan Pak Harto sendiri. Para Menteri dan pembantu beliau lainnya selanjutnya menerjemahkan dan kemudian melaksanakan berbagai kebijaksanaan ekonomi pemerintah atas dasar arahan itu.
Konsep-konsep besar yang sangat mendasar dalam pembangunan ekonomi kita, yang memberikan ciri-ciri yang khas kepada pembangunan bangsa Indonesia, jelas mencerminkan watak kepemimpinan Pak Harto, seperti: pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, hakikat pembangunan kita adalah membangun manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya, trilogi pembangunan, delapan jalur pemerataan, ketahanan nasional. Terbentuknya dalil-dalil pembangunan tersebut tidak dalam satu waktu yang bersamaan, tetapi melalui proses yang cukup panjang dengan mengambil pelajaran dari pengalaman di masa lalu serta pengalaman pembangunan di negara-negara lain, dan dengan memperhatikan berbagai pandangan. Namun jelas gagasan-gagasan itu adalah milik Orde Baru di bawah kepemimpinan Pak Harto.
Bagaimana beliau, seorang jenderal yang tidak banyak memperoleh kesempatan menuntut pendidikan formal, dapat mengarahkan upaya menata sendi-sendi ekonomi dan pembangunan ekonomi yang demikian rumit itu, sering menjadi pertanyaan orang. Nyatanya demikian. Yang pasti beliau menpunyai wawasan. Beliau tahu apa yang dikehendaki dan arah yang ingin dituju. Untuk lebih mengkongkritkannya yang beliau perlukan selanjutnya adalah informasi­informasi. Dan informasi-informasi ini datang, baik dari para menteri serta pembantu-pembantu beliau di pemerintahan maupun sumber-sumber beliau lain di luar aparat pemerintah. Beliau punya banyak sumber informasi.
Beliau adalah pendengar yang baik. Pak Harto selalu sabar mendengar laporan dan jarang memotong orang yang sedang berbicara. Tidak jarang informasi yang sedang diberikan itu telah beliau ketahui sebelumnya, tetapi wajah dan sikap Pak Harto tidak menunjukkan hal itu. Pak Harto juga punya kemampuan yang lebih dari biasa untuk menangani informasi yang demikian banyak itu serta mengolahnya sendiri menjadi kebijaksanaan. Karena berbagai informasi itu tidak selalu sejalan, bahkan banyak sekali bertentangan satu sama lain, maka tantangannya adalah bagaimana menyerasikan dan mengambil kesimpulan-kesimpulan yang tepat. Beliau memiliki kemampuan untuk itu. Tidak ragu-ragu bagi saya untuk mengatakan bahwa disamping memiliki modal logika yang kuat, beliau juga memiliki intuisi yang tajam.
Kita bisa tidak selalu sependapat dengan kesimpulan atau arah yang beliau tetapkan, namun yang pasti beliau selalu memiliki alasan mengapa jalan itu yang dipilih. Acapkali jalan yang dipilih beliau pada saat dimunculkan berbeda dengan pandangan umum, bahkan dengan pandangan-pandangan para pembantunya sendiri. Tetapi seperti saya katakan tadi, sekali beliau ada niat dan yakin, sulit orang lain bisa mengubahnya. Dan banyak kali terbukti beliau yang benar. Ada dua contoh yang ingin saya ambil untuk menggambarkan hal itu.
Pertama, proyek pesawat terbang yang dipercayakan kepada Pak Habibie. Banyak orang, termasuk beberapa menteri; tidak setuju dengan pengembangan industri pesawat terbang. Industri pesawat terbang dipandang sebagai investasi yang tidak tepat. Lain orang cenderung berpendapat bahwa membeli pesawat terbang adalah lebih murah daripada membangun industrinya. Ada pula yang menilai ini proyek mercusuar baru. Walaupun saya adalah seorang Komisaris PT IPTN sejak masih bernama Nurtanio; saya juga termasuk yang ragu-ragu dan bertanya-tanya dalam hati: “Apa benar kita harus mendirikan industri penerbangan? Apa tjdak ada prioritas lain?”
Tetapi Pak Harto mempunyai pikiran yang lebih jauh. Beliau melihat betapa persoalan perhubungan sangat penting bagi negara kita yang demikian luas dan terdiri dari pulau-pulau. Selagi kita-kita berpikir mengenai prioritas investasi, debt service ratio dan sebagainya, beliau melihat ke depan dengan berpijak pada Wawasan Nusantara. Alangkah rawan bangsa ini kalau kita barus tergantung kepada asing untuk prasarana vital yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu pulau dengan pulau lain.
Lebih daripada itu beliau juga melibat betapa perkembangan dunia ini sudab makin menyatu dengan perkembangan teknologi. Bangsa yang kuat baruslah yang teknologinya maju. Dan untuk memajukan teknologi perlu ada penggeraknya, atau penariknya seperti lokomotif yang menarik gerbong-gerbong di belakangnya. Dan beliau memutuskan babwa wabana itu adalah industri pesawat terbang. Mungkin faktor adanya seorang Habibie mempengaruhi keputusan beliau dalam memilib wahana itu. Tetapi saya yakin gagasannya itu sendiri dari beliau, dan beliau hanya menunggu saatnya yang tepat, sampai ditemukan orang yang dianggap mampu untuk melaksanakannya.
Dalam industri pesawat terbang ini beliau bukan hanya aktif mendorong, dengan memberi dukungan penuh, tetapi juga ikut membantu dalam upaya pemasaran. Misalnya pembelian-pembelian impor kita, melalui pola imbal-beli, diupayakan dikaitkan dengan penjualan pesawat dan helikopter. Kita membeli minyak mentah dari Timur Tengah, beliau menyarankan agar sebagai imbalannya mereka membeli produk-produk IPTN. Ini hanya satu contoh dari banyak usaha lainnya.
Gagasan itu kemudian diperluas dengan industri strategis yang mencakup berbagai industri besar lainnya. Inipun saya tahu banyak yang kurang setuju, namun beliau tetap melaksanakannya juga. Sejarahlah nanti yang akan menilai. Namun sementara ini, sekurang­kurangnya dari segi perkembangan industri pesawat terbang dengan sejujur-jujurnya saya melibat pikiran Pak Harto itu telab membuahkan hasil. Yang sangat mengesankan bagi saya sederhana saja, yaitu sekarang saya bisa ke Bandung dan kembali lagi ke Jakarta dalam waktu hanya beberapa jam saja, karena ada pesawat-pesawat Merpati yang terbang Jakarta-Bandung setiap jam. Dan pesawat­pesawat itu buatan kita sendiri.
Mungkin contoh itu terlalu sederhana, tetapi bisa kita proyeksikan lebih besar lagi kalau mau. Belum kita bicara soal kebanggaan nasional sebagai bangsa di antara bangsa-bangsa di dunia yang sedikit jumlahnya yang mampu membuat pesawat terbang sendiri. Saya mengalami sendiri, karena banyak tamu-tamu saya, menteri­-menteri dari berbagai negara yang berkunjung ke Indonesia, meminta agar diacarakan kunjungan ke IPTN. Ini berarti bahwa pengetahuan adanya industri pesawat terbang yang berhasil di Indonesia telah menjalar ke mana-mana.
Industri pesawat terbang,. selain sebuah proyek yang mempunyai sasaran ekonomi dan sebagai wahana kemajuan teknologi, juga memberikan kepada kita sesuatu yang dapat kita banggakan. Jadi bisa juga berfungsi seperti sebuah etalase untuk kita pamer.
Demikian juga sebuah proyek lagi yang pada awalnya banyak ditentang orang, yaitu Taman Mini Indonesia Indah. Kita masih ingat pada tahun 1970-an Pak Harto (dan Bu Harto) dikritik keras dan bahkan didemonstrasi oleh mahasiswa berkenaan dengan pembangunan Taman Mini itu. Ketika itu saya juga bertanya tanya: “Apa tidak ada prioritas lain?” .
Sekarang coba bayangkan bagaimana jadinya Jakarta tanpa Taman Mini. Apa objek turisme yang akan ditawarkan ibukota ini kepada turis dari luar negeri? Sebagai ibukota negara tentu turis juga ingin melihat Jakarta, akan tetapi tanpa Taman Mini kemana turis-turis tersebut akan kita bawa? Lalu dengan demikian apa turis tidak singgah di Jakarta? Orang banyak menyatakan Bali lebih dikenal dari Indonesia sendiri. Dan memang Jakarta bagi para turis sering hanya jadi tempat transit saja. Saya sendiri bingung kalau ada tamu asing di Jakarta, mau diperlihatkan apa. Untung saja ada Taman Mini.
Dari kedua contoh itu, dan banyak lagi yang lain, kiranya tergambar manusia Soeharto. Beliau berpijak pada keadaan masa kini tetapi menatap masa depan yang terang. Untuk itu memang seringkali terlihat seakan-akan beliau harus menentang arus. Saya sendiri ikut mengalaminya.
Di tahun 1983 saya diangkat menjadi Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Masih terngiang di telinga saya ucapan Pak Harto ketika itu bahwa kalau kita ingin memajukan bangsa ini, dan bilamana bangsa ini ingin mandiri, maka kita harus membangun kekuatan kita sendiri. Kekuatan itu antara lain kekuatan ekonomi, kemampuan produksi. Menurut beliau kekuatan kita akan tumbuh kalau didukung oleh masyarakat, kalau masyarakat kita sendiri tidak menghargai produksi Indonesia, bagaimana kita bisa memajukannya.
Pikiran Pak Harto inilah yang kemudian saya kembangkan. Tentu pada waktu itu kita terus menerus dikecam karena dianggap sebagai proteksionistis mengapa harus memakai produk dalam negeri, padahal harganya mahal dan mutunya buruk. Banyak orang di pemerintahan juga tidak setuju jiwa upaya ini. Tetapi sekarang bagaimana? Produksi yang dulunya dilindungi, sekarang sudah menjadi mata dagangan ekspor. Berkat perlindungan, barang yang pada waktu itu dikecam mahal harganya, sekarang harganya bisa bersaing karena produksi bertambah besar dan kemampuan teknologi bertambah baik. Kalau pada waktu itu kita tidak memberikan perlindungan yang ketat, industrinya tentu sudah mati. Kalau pada waktu itu industrinya mati, apa yang dapat kita ekspor sekarang ini, pada saat kita memiliki momentum untuk mengekspor hasil-hasil industri?
Selama lima tahun, dari 1983 sampai 1988, kita melakukan promosi terhadap produksi dalam negeri dan mengadakan proteksi dengan berbagai peraturan. Kini masa itu sudah lewat; perlindungan tidak dilihat sebagai suatu mekanisme yang membatasi. Kalau industri terus menerus dilindungi, ia malah menjadi tidak sehat. Oleh katena itu, sekarang ini perlindungan terhadap produksi dalam negeri harus muncul dari kesadaran masyarakat sendiri, bukan karena pemerintah membatasi pilihan masyarakat. Sikap Pak Harto yang konsisten menghadapi banyak tantangan juga diperlihatkan menyangkut tugas saya di Tim Keppres 10 yang berkaitan Hengan evaluasi pembelian barang oleh instansi pemerintah di atas nilai Rp 500.000.000,-. Dengan adanya Keppres 10 ini nyatanya banyak uang negara yang bisa kita hemat. Selain itu kita juga meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri. Prinsip penghematan dan penggunaan barang dalam negeri yang dianut oleh Keppres 10 itu menyebabkan adanya bantuan luar negeri yang terpaksa kita tolak, karena bertentangan dengan prinsip yang kita anut.
Sebagaf contoh, ketika itu ada berbagai proyek bantuan luar negeri yang tidak memungkinkan barang produksi dalam negeri ikut didalamnya. Alasan yang dikemukakan antara lain adalah harganya terlalu mahal atau produksinya masih baru, belum diuji, dan sebagainya. Ini menyangkut masalah produksi dalam negeri yang justru telah dicanangkan oleh Presiden untuk digalakkan. Oleh karena itu saya menghadap Pak Harto untuk melaporkan persoalan tersebut. Reaksi beliau sangat tegas: “Batalkan saja pinjaman itu“. Sikap beliau yang demikian ini mengingatkan saya akan keputusan yang beliau ambil menyangkut pembangunan bandar udara Soekamo-Hatta. Untuk pembangunan lapangan terbang internasional itu beliau putuskan agar memanfaatkan sistem cakar ayam yang ditemukan oleh putera Indonesia sendiri, padahal sistem itu tidak dikenal di luar negeri. Tentu saja banyak yang tidak setuju tetapi beliau jalan terus. Dan ternyata sampai sekarang kita tidak menghadapi suatu masalah apapun di Cengkareng.
Pandangan jauh dan konsistensi pemikiran Pak Harto tampak dalam kebijaksanaan perminyakan kita. Kepada saya Pak Harto pemah mengatakan minyak kita diproduksi seperlunya saja, sehingga kita dapat memilikinya selama mungkin dan kita dapat mendorong produksi non-migas. Menurut beliau, kalau pendapatan yang berasal dari minyak dan gas itu terlalu besar maka nanti kita lalai mendorong produksi non-migas. Oleh sebab itu beliau mengatakan:

“Produksi minyak seperlunya saja, yaitu untuk mendukung ekonomi, selainnya biarkan saja didalam tanah sebagai cadangan; untuk generasi yang akan datang”.

Beliau juga selalu menekankan penganekaragaman sumber-sumber energi sebagai salah satu pokok kebijaksanaan energi nasional.
Salah satu keberhasilan yang menonjol dalam pengembangan sumber-sumber energi lain adalah pengembangan dan pemanfaatan gas. Pak Harto sejak pagi-pagi sudah melihat besarnya kekayaan gas alam kita, yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. Maka pemerintah Orde Baru meletakkan prioritas industrialisasi tahap awal pada pembangunan pabrik pupuk yang menggunakan gas. Dengan demikian pembangunan industri selain mendukung pembangunan pertanian juga memanfaatkan sumberdaya yang kita miliki sendiri. Untuk membantu para petani harga gas ditetapkan sangat murah. Saya ingat banyak orang yang menentang waktu itu dan mengatakan mengimpor pupuk lebih murah daripada membuat sendiri. Bayangkan, kalau kita tidak memiliki pabrik pupuk bagaimana kita bisa swasembada pangan dan betapa besarnya kita tergantung kepada luar negeri.
Yang penting pula untuk dibaca dari uraian itu adalah perhatian Pak Harto terhadap kehidupan para petani. Beliau san:gat memahami nasib para petani serta sangat mengerti kehidupan dan ekonomi pedesaan. Beliau sangat memahami betapa terbatasnya kemampuan para petani, padahal pupuk sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi dan harkat hidup mereka. Karena itu harga gas dibuat murah, padahal kalau dijual kepada industri dapat diperoleh hasil tiga kalinya. Sampai sekarangpun beliau tetap berpendirian bahwa harga gas untuk pupuk harus lebih murah, kalau perlu pemerintah yang menanggung sebagian harga gas itu.
Juga pembangunan pabrik LNG menunjukkan betapa jauhnya wawasan Pak Harto. Gas tidak mudah diekspor, harus diolah dulu, dalam hal ini didinginkan. Padahal gas sebagai sumber energi yang bersih merupakan komoditi ekspor yang potensial. Maka dikembangkan proyek LNG. Tetapi proyek LNG melibatkan pekerjaan yang rumit, karena di sini tidak hanya menyangkut proses pendinginan; juga pengangkutannya karena harus menggunakan kapal khusus dan harus dibuat terminal penerimaannya di tempat pembeli. Proyek ini melibatkan biaya yang besar. Maka dengan PM Eisaku Sato di tahun 1968 dibicarakan kemungkinan penjualan gas Indonesia ke Jepang dengan biaya pembangunan dari Jepang sebagai pinjaman. Pinjaman tersebut dibayar kembali dengan gasnya.
Saya juga ingat banyak tanggapan negatif terhadap pinjaman ini. Tetapi Pak Harto mengatakan bahwa pinjaman itu tidak membebani anak-cucu kita, karena setelah lunas justru generasi yang akan datang tinggal menikmatinya saja. Terbukti memang demikian. Kilang-kilang pertama di Arun dan di Bontang telah dibayar lunas pinjamannya dan sekarang hasil kilang-kilang itu sepenuhnya kita nikmati dan kita wariskan kepada generasi-generasi yang akan datang.
Strategi ini juga dilakukan dalam pinjaman-pinjaman lainnya, yaitu setiap proyek yang menggunakan pinjaman harus bisa membiayai sendiri dan secara ekonomi bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian pinjaman tersebut tidak menjadi beban bagi generasi yang akan datang, bahkan sebaliknya, akan menjadi landasan bagi generasi yang akan datang untuk melaksanakan pembangunan selanjutnya.
Menyangkut masalah energi, beliau mempunyai pandangan bahwa bagaimanapun juga suatu saat Indonesia harus memiliki energi nuklir. Pak Harto menetapkan agar kita bersiap-siap untuk itu, padahal banyak pihak di dalam dan di luar negeri yang menentang penggunaan nuklir sebagai sumber energi. Menjawab tantangan itu Pak Harto mempertanyakan masa depan sumberdaya kita yang tidak tak terbatas,. padahal negara yang berpenduduk besar membutuhkan energi dalam jumlah besar, apalagi dengan lajunya proses pembangunan. Oleh sebab itu, pada saat negara-negara lain sedang takut pada energi nuklir, Pak Harto justru memutuskan agar kita membuat reaktor nuklir. “Yang penting”, kata beliau, “persiapkan sebaik-baiknya, dan cegah adanya kecelakaan”.
Sifat konsisten dan keberanian beliau untuk mengambil keputusan dan bertahan pada pendirian, betapapun berat tantangan yang beliau hadapi, merupakan ciri khas Pak Harto. Beliau tidak bisa ditakut-takuti. Apabila beliau mengambil sesuatu keputusan yang dianggap paling aman, itu bukan karena sikap takut kepada sesuatu ancaman, tetapi karena itu yang beliau anggap jalan terbaik bagi rakyat dan negara. Beliau juga memiliki keyakinan yang kuat pada diri sendiri. Bahkan ada kesan kadang-kadang Pak Harto terlalu yakin (over-confident). Tetapi nampaknya segala sesuatu sudah beliau perhitungkan, termasuk risiko-risikonya.
Sikap tegas pada pendirian yang serupa ini sering diartikan sebagai sikap kepemimpinan yang paternal, sehingga seakan-akan para pembantu beliau kurang berani berinisiatif. Dikatakan bahwa menteri-menteri selalu mengacu kepada petunjuk Presiden. Padahal sebagai pemimpin, para menteri diharapkan mempunyai sikap dan pendirian yang jelas, dan tidak hanya manut.
Untuk bisa menanggapinya, kita harus kembali kepada sumbernya, yaitu UUD 1945. Sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 memberikan kewenangan dan tanggungjawab besar kepada Presiden. Presiden adalah mandataris MPR dan MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat. Kalau kita baca kembali riwayat penyusunan UUD 1945, jelas dikehendaki oleh pendiri Republik dan perumus konstitusi itu adanya sebuah lembaga kepresidenan yang kuat, meskipun bukannya tanpa kontrol. Meskipun menteri-menteri bukan pegawai negeri biasa, tetapi mereka hanyalah pembantu Presiden. Yang bertanggungjawab secara konstitusional adalah Presiden. Namun ini tidak berarti bahwa para menteri tidak memikul tanggungjawab. Mereka bertanggungjawab dalam bidangnya, tetapi pada akhirnya Presidenlah yang harus mempertanggung jawabkan seluruh pemerintahan ini kepada rakyat melalui MPR.
Memahami hal ini tidak mungkin dalam sistem kita ada menteri yang berbeda pendapat atau kebijaksanaan dengan Presiden. Yang mungkin, dan seharusnya begitu, adalah para pembantu Presiden mengajukan berbagai pertimbangan untuk suatu kebijaksanaan.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut Presiden mengambil keputusan. Keputusan apapun yang diambil oleh Presiden, itu adalah keputusan pemerintah. Menteri yang bersangkutan harus melaksanakannya apapun pertimbangan yang semula diajukan. Itu sistemnya, bukan soal siapa orangnya.
Saya tahu Pak Harto memberi kepercayaan penuh kepada pembantu-pembantu beliau; sekali seseorang diberi kepercayaan, maka dia dapat kepercayaan penuh. Beliau selalu menghargai orang yang punya inisiatif dan tidak pemah mematikannya. Pak Harto punya kecenderungan untuk memberikan kesempatan kepada orang yang membawa suatu gagasan kepada beliau. Dan kalau nanti ternyata orang tersebut membuat sesuatu kesalahan, beliau tidak ragu-ragu memberi pengertian, bahkan memikul tanggungjawabnya.
Pak Harto selalu membela anak buah dan pembantu beliau. Pak Harto mempunyai pendirian bahwa kalau ada pembantu beliau membuat kesalahan, maka beliau merasa ikut bertanggungjawab. Pak Harto sering mengatakan, jangan-jangan beliau yang kurang membimbing atau tidak jelas memberi pengarahan. Hampir tidak pemah Pak Harto menindak seseorang hanya karena ada satu laporan mengenai yang bersangkutan. Beliau selalu mengadakan check dan recheck. Pak Harto juga selalu memberi kesempatan seseorang untuk memperbaiki diri. Kalau dari kacamata beliau, beliau melihat tidak ada harapan lagi untuk memperbaiki, barulah beliau mengambil tindakan.
Di lain pihak beliau juga suka mengoreksi, meskipun seringkali dengan cara yang sangat halus. Demikian halusnya peringatan­peringatan beliau sehingga seringkali orang tidak menangkapnya. Kepada saya beliau pernah mengingatkan, agar jangan terlalu bersifat kedaerahan. Mungkin beliau mempunyai kesan bahwa orang Jawa Barat cenderung memiliki sifat kedaerahan yang kuat. Pak Harto juga pemah menyampaikan pesan kepada saya untuk tidak memperhatikan kelompok tertentu saja. Memang dalam upaya saya memajukan kemampuan nasional, secara sadar saya banyak membantu pengusaha-pengusaha muda pribumi yang saya nilai profesional dan pantas diberi kesempatan. Mungkin timbul kesan seakan­akan ini sebuah kelompok, meskipun tidak demikian maksudnya. Yang ingin saya katakan, dengan mengambil contoh-contoh mengenai diri saya sendiri, beliau tidak ragu-ragu untuk memberi peringatkan kepada pembantu-pembantu beliau atas hal-hal yang beliau nilai bisa menjadi masalah.
Menyinggung masalah pengambilan inisiatif oleh bawahan, saya, ingat sebuah pengalaman yang tak akan mungkin saya lupakan, yaitu ketika saya mengumumkan kenaikan tarif listrik pada tahui1 1989. Saya mengusulkan kepada Pak Harto agar saya saja yang mengumumkan kenaikan tarif itu kepada masyarakat. Selaku Menteri Pertambangan dan Energi saya mengumumkan kenaikan tarif listrik itu di gedung PLN. Pengumuman ini sama sekali tidak saya kaitkan dengan Presiden; sepatah katapun tidak saya katakan bahwa kenaikan tarif ini atas petunjuk beliau. Menurut saya hal ini adalah wajar-wajar saja, karena sebagai menteri, saya mempunyai tanggungjawab, disamping itu saya juga mewakili kewibawaan Presiden. Begitu saya umumkan, masyarakat menjadi ramai. Banyak orang menentang kebijaksanaan tersebut, dan tentu nya kepada sayalah semua itu ditujukan. Orang-orang bilang kepada saya bahwa kalau saya mengumumkannya di Bina Graha setelah menghadap Pak Harto atau menyatakan keputusan ini keputusan Presiden, tentu tidak akan heboh. Adanya pandangan seperti ini saya anggap lucu; tetapi di lain pihak, pandangan itu menunjukkan betapa kuatnya kewibawaan Pak Harto. Dan ketika pengalaman ini saya sampaikan kepada Pak Harto, beliau hanya mengomentari: “Dulu Saudara yang mau mengumumkan sendiri”.
Pak Harto adalah seorang ahli siasat. Keahlian beliau dalam siasat bukan hanya dalam bidang militer, tetapi juga di bidang­bidang lain. Di bidang politik, jelas tampak betapa mahirnya beliau dalam melakukan siasat-siasat politik, dalam mewujudkan tujuan­tujuan Orde Baru. Demikian pula di bidang ekonomi. Bahkan apabila ditanya apa yang membuat saya kagum terhadap Pak Harto, salah satu diantaranya adalah kemahiran beliau dalam bersiasat, mengatur strategi dan melaksanakannya.
Pak Harto tidak hanya memperhatikan soal-soal besar. Beliau juga memikirkan soal-soal kecil. Jarang memang pemimpin yang mampu berpikir strategis tetapi juga rinci. Sampai tempat duduk atau berdiri pada suatu acara, pakaian yang harus dipakai, beliau perhatikan. Kalau menerima tamu asing beliau tidak mau tamu itu menunggu.
Semua tamu yang saya bawa menghadap beliau -para menteri dari negara sahabat misalnya- keluar dengan rasa kagum terhadap Pak Harto. Beliau bukan saja sangat menguasai persoalan besar, dart tentu saja arah pembangunan nasional -politik maupun ekonomi- tetapi juga angka-angka dan hal-hal yang sangat rinci. Bahkan ada yang menyatakan kepada saya bahwa “boss”-nya
-presiden atau perdana menteri- tidak sebanding dengan Pak Harto dalam penguasaan materi. Pak Harto bisa bicara mengenai politik, strategi militer, hubungan bangsa-bangsa, pembangunan ekonomi, soal pinjaman, pembangunan pertanian, masalah peternakan, soal industri, masalah energi, dengan fasih tanpa catatan dan dengan data dan angka. Kepala-kepala negara dan pemerintah lain, setidaknya menurut beberapa tamu saya dan dari pengalaman saya sendiri, umumnya adalah orang-orang politik yang pengetahuannya umum saja, dan sangat tergantung kepada para menteri, bahkan birokrasinya, untuk bisa bicara seluas dan sedalam itu.
Terus terang saya sendiri juga heran bagaimana informasi­informasi itu bisa melekat di pikiran beliau dan keluar secara coherent pada saat diperlukan. Itu hanya bisa dilakukan karena Pak Harto selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun. Beliau selalu siap menghadapi segala keadaan dan tantangan. Saya tidak pernah melihat beliau risau atau gundah dalam menghadapi suatu situasi.
Pak Harto juga pandai mengendalikan diri. Di muka umum beliau selalu tenang. Hanya sesekali saja emosi beliau tampak; itupun terutama kalau beliau merasa sudah keterlaluan. Sampai sekarang rasanya baru satu dua kali saja saya melihat Pak Harto “marah” dengan emosi. Sebaliknya walaupun mungkin ada yang tidak cocok atau mungkin juga ingin marah, beliau umumnya dapat menekan dan mengendalikan ungkapan perasaan; beliau mengeluarkannya dengan kata-kata yang untuk ukuran kita sangat halus. Misalnya, kalau beliau mengatakan orang (atau orang-orang) itu “tidak mengerti-mengerti juga”, berarti beliau sudah marah atau sangat kecewa. Kadang-kadang keluar kata-kata sindiran, misalnya pada waktu beliau menyesalkan para menteri yang berbicara diluar bidangnya atau bertentangan satu dengan lainnya.
Bagi yang tidak begitu mengenal Pak Harto sulit untuk mengetahui apakah beliau senang atau tidak senang, apakah beliau •sedang menegur atau memberi penjelasan, apakah sedang mengoreksi ke salahan atau sedang memberi nasihat. Kadang-kadang juga tidak mudah menangkap apakah Pak Harto setuju, tidak setuju atau masih ingin memikirkan sesuatu pertimbangan. Mungkin ini yang sering disebut oleh orang-orang, terutama orang asing, sebagai cara memimpin Jawa, hal ini barangkali karena sulit mencari tipologinya. Yang nampak itu tidak selalu harus demikian, yang tidak nampak itu mungkin yang benar.
Jelas Pak Harto adalah orang Jawa, dan adat serta budaya Jawa mempengaruhi gaya kepemimpinan beliau. Misalnya, falsafah Jawa banyak sekali beliau gunakan untuk menjelaskan latar belakang suatu kebijaksanaan. Di sini letak ciri lain kepemimpinan Pak Harto. Pak Harto tidak pernah melepaskan diri dari kepribadian Jawanya meskipun beliau adalah seorang yang berpikir modern. Falsafah itu memberi makna-makna yang dalam terhadap berbagai pemikiran dan kebijaksanaan beliau. Maka tidak benar bila dikatakan bahwa Pak Harto berpikir dangkal; yang benar justru sebaliknya, yaitu bahwa beliau selalu berpikir dengan sangat dalam. Kalau beliau sedang ingin membicarakan falsafah hidup dengan kita, maka beliau bisa berbicara lama dan bisa sangat dalam sekali. Sebagai orang muda yang kurang memperoleh kesempatan untuk memikirkan hal­hal itu, uraian-uraian beliau bagi saya sangat menarik.
Falsafah tersebut selain diwujudkan dalam pikiran dan kebijaksanaan juga dalam simbol-simbol. Misalnya saja, pada pembangunan masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dimana beliau menjadi Ketua dan saya Sekretarisnya. Yayasan ini memberi bantuan kepada masyarakat berupa masjid. Masjid itu dibangun dengan rancangan yang telah disiapkan lebih dulu sehingga lebih praktis. Rancangan dasarnya datang dari Pak Harto. Semua ada simbol-simbolnya. Pancasila tercermin didalamnya. Bangunan masjid mengandung ciri-ciri arsitektur Islam yang umum tetapi juga mencerminkan bangunan tradisional Indonesia.
Atapnya menggunakan joglo. Kalau kita lihat, beberapa masjid pertama atapnya dua tingkat. Tetapi kemudian semua masjid beratap tiga tingkat. Pak Harto mengoreksi joglo dua tingkat itu. Kata beliau berkelakar, “itu joglo Sunda” (mungkin karena saya orang Sunda, padahal Joglo itu dirancang oleh sebuah tim dari Krakatau Steel (menurut beliau atap joglo itu harus bertingkat tiga, sebab ada fiiosofi atau makna simboliknya. Joglo yang bertingkat tiga itu mencerminkan alam yang dilalui manusia, yakni alam sebelum kita dilahirkan di dunia (alam purwa), kehidupan di dunia (alam madya) dan kehidupan di akhirat (alam wasana). Selanjutnya, maka diubahlah atap-atap joglo masjid YAMP sehingga semuanya menjadi bertingkat tiga.
Memang bentuk-bentuk simbolik, termasuk angka-angka, sering digunakan Pak Harto untuk menggambarkan berbagai latarbelakang suatu peristiwa. Oleh karena itu sering dituduhkan bahwa Pak Harto memerintah dengan mistik, dengan kebatinan. Jelas ini pandangan orang-orang yang tidak mengerti pandangan-pandangan yang bijaksana dari masa lalu beliau guna memperkuat argumentasi rasional yang telah ada pada Beliau, atau sebaliknya. Karena saya sendiri kurang cocok dengan hal-hal yang bersifat mistik, dan saya sulit terpengaruh oleh hal­hal di luar rasio, kiranya pandangan saya itu dapat menghilangkan kesan yang kurang tepat tadi. Sifat kejawaan beliau saya kira justru memperkaya sumber kepemimpinan Pak Harto dan memberi beliau lebih banyak keleluasaan dalam mempertimbangkan berbagai masalah. Saya tidak melihatnya sebagai suatu kendala yang menghalangi.
Saya menguraikan hal-hal itu .untuk menggambarkan betapa lekatnya nilai-nilai budaya Jawa pada diri beliau. Betapa nilai-nilai itu beliau coba wujudkan dalam bentuk-bentuk kongkrit.
Pandangan-pandangan beliau itu juga menunjukkan bahwa Pak Harto adalah manusia biasa yang dekat dengan kehidupan masyarakatnya. Pak Harto jelas manusia yang sangat sosial. Disamping YAMP di bidang keagamaan, ada dua yayasan sosial besar lagi yang beliau pimpin, yaitu Yayasan Dharmais di bidang sosial, dan Yayasan Supersemar di bidang pendidikan.
Pak Harto adalah manusia biasa seperti kita. Banyak kelebihan beliau, karena itu beliau menjadi pemimpin dan berhasil memimpin bangsa ini sekian lamanya dan demikian majunya. Tetapi dengan sendirinya beliau tidak pula luput dari kekurangan, yang sifatnya manusiawi juga. Hanya nabi-nabi yang tidak punya cela. Kita juga tidak bisa dan tidak boleh mengharapkan bisa mendapat seorang pemimpin yang seperti nabi. Dengan sendirinya karena Pak Harto berada di puncak kerucut masyarakat, orang lebih tajam melihat beliau. Tingkah laku pemimpin sepertinya ditaruh di bawah kaca pembesar, sehingga bisa tampak lebih besar dari yang sesungguhnya. Hal-hal yang biasa dilakukan orang biasa, bisa menjadi tidak biasa apabila dilakukan oleh seorang pemimpin.
Sebagai penutup, saya yakin sejarah akan mencatat Pak Harto sebagai pemimpin yang besar, yang telah membuat jasa dan karya besar bagi bangsanya. Hanya orang yang menentang arus sejarah yang bisa mengingkari besarnya jasa Pak Harto kepada Republik ini sejak perjuangan kemerdekaan sampai sekarang, 45 tahun kemudian. (AFR)

***

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.