GINSI INGIN DIBENTUK BADAN PEMBANDING UNTUK ATASI PERTIKAIAN
Jakarta, Antara
Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) meminta pemerintah membentuk badan pembanding untuk menengahi pertikaian antara importir dengan surveyor Societe Generate de Surveillance (SGS) yang selama ini sering merugikan importir.
Keinginan GINSI tersebut dikemukakan Ketua Umum Daryatmo yang datang ke Bina Graha, Kamis, bersama beberapa pengurus lainnya untuk melaporkan kepada Presiden Soeharto tentang susunan pengurus masa kerja 1988-93.
Pengurus GINSI lainnya yang datang ke Bina Graha antara lain Ketua I Amirudin Saud, Ketua II K.S Oetomo, serta Sekjen Husni Thamrin.
“Hampir semua importir sudah pernah merasakan babak belur akibat ulah SGS tersebut,” kata Daryatmo yang pernah menjadi Ketua MPR/DPR dan Kaskopkamtib. Ia mengatakan pertikaian yang timbul diantara importir dengan surveyor dari Swiss tersebut biasanya menyangkut masalah penentuan tarif bea masuk dan juga harga barang.
Ia mengatakan sampai sekarang belum ada sebuah wadah tempat para importir mengajukan keluhan atas perlakuan SGS, sehingga bisa diketahui pihak mana yang benar jika timbul kasus.Karena itu GINSI mengajukan usul kepada pemerintah bagi pembentukan badan pembanding (board of appeal).
Ketika ditanya wartawan mengapa SGS dianggap sering merugikan importir Indonesia, Daryatmo mengatakan ”SGS memang sudah mempunyai nama internasional yang baik, tapi bagaimanapun baiknya mereka masih terdiri dari manusia-manusia, yang tidak akan bebas 100 persen dari kesalahan”.
Ia menambahkan jika timbul masalah maka SGS selalu bersikeras bahwa pihaknyalah yang benar sehingga importir tetap harus mengikuti keputusari perusahaan surveyor yang beroperasi di Indonesia sebagai hasil lnpres 4 tahun 1985.
“Sekarang ini SGS seakan-akan can do no wrong(tidak dapat berbuat salah sama sekali, red),” kata Daryatmo dengan bersemangat. Pensiunan TNI-AD ini mengemukakan bahwa baru-baru ini timbul kasus diantara pengusaha yang mendatangkan barang dari luar negeri dengan SGS.
Barang tersebut sebelum dimasukkan ke dalam peti kemas bersegel sudah diperiksa petugas SGS.
Namun ketika peti kemas akan dibawa ke atas kapal, petugas SGS mengatakan segel tersebut sudah hilang. Akibatnya ketika peti kemas itu sampai di Indonesia, terpaksa dibuka untuk diperiksa, yang pada akhimya mengakibatkan importir harus mengeluarkan biaya tambahan dan waktunya terbuang.
Karena merasa tidak puas terhadap perlakuan SGS, maka importir meminta bantuan surveyor lainya untuk meneliti kasus ini, yang ternyata menemukan bahwa segel pada peti kemas itu masih tetap ada.
Sekarang segel tersebut disimpan oleh Daryatmo.
“Terus terang, apa yang dikatakan inspektur SGS itu di luar negeri bahwa segelnya hilang ternyata tidak benar.Lha, terus saya berpikir tidak missing (hilang, red) koq dibilang mising,” tanya Daryatmo.
Sumber : ANTARA (15/09/1988)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 360-361.