GULA NIPAH AKAN MUNCUL MENYUSUL GULA MERAH
Jakarta, Antara
Pemerintah hari Kamis menganjurkan kepada masyarakat, khususnya para pengusaha termasuk pengusaha kecil, untuk mengolah sumber daya hutan nipah yang banyak terdapat di daerah pantai menjadi bahan baku gula.
Menteri Pertanian Wardoyo selesai melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, menjelaskan bahwa di Indonesia sekarang terdapat sekitar 70 juta hektar hutan nipah yang belum tergarap. Kalau pun ada yang menggarap, katanya, pemanfaatan pohon nipah itu masih terbatas pada daunnya untuk kepentingan kepentingan terbatas pula. Padahal, jika diketahui caranya, pohon nipah mirip pohon aren yang dapat diambil niranya untuk bahan baku gula merah dan bahkan bisa diolah lebih lanjut menjadi gula putih.
Menteri menerangkan bahwa setiap hektar hutan nipah, yang rata-rata terdiri atas 20 ribu batang pohon, setiap tahunnya dapat menghasilkan 72 ribu liter nira, yang kalau diolah bisa menghasilkan antara lima sampai 10 ton gula merah.
Percobaan yang sudah dilakukan di Ketapang, Kalbar, menunjukan bahwa ongkos produksi untuk membuat gula merah dari nira pohon nipah setiap kilogramnya Rp 250, sementara harga gula merah di Kalbar berkisar antara Rp 600 sampai Rp700. “Kalau dari tujuh juta hektar hutan nipah yang ada itu bisa kita manfaatkan satu juta hektar saja, berarti bisa dihasilkan tambahan paling tidak lima juta ton gula merah setahun,” kata Wardoyo.
Areal hutan nipah di Indonesia yang belum tergarap hingga kini umumnya terletak pada daerah pantai, tepi sungai dan rawa di sepanjang pantai timur Sumatera, Kalimantan, Sulsel dan Maluku.
Presiden Soeharto memberi petunjuk agar penggalian potensi hutan nipah itu dilakukan dengan pola PIR, dan boleh dengan mendatangkan tenaga kerja dari daerah lain mengingat area hutan nipah biasanya berada di daerah yang jarang penduduknya Selain potensi hutan nipah, Mentan juga melaporkan kepada Presiden hasil-hasil konferensi menteri pertanian berbagai negara tentang Dewan Pangan Dunia yang berlangsung di Kairo, Mesir, 22 hingga 25 Mei lalu, serta perkembangan usaha budidaya udang di Indonesia dewasa ini.
Tentang perudangan, ia menjelaskan bahwa akhir-akhir ini terjadi penurunan harga jual, baik di dalam mau pun di luar negeri. Namun, setelah sempat kendor akibat penurunan harga itu, budi daya udang di beberapa daerah belakangan ini menunjukan gejala peningkatan kembali.
Wardoyo berpendapat, penurunan harga tersebut bukan disebabkan oleh mulai jenuhnya usaha budi daya udang di Indonesia. Kendati demikian, ia menekankan perlunya diversifikasi tujuan ekspor udang Indonesia. Selama ini, katanya, Indonesia mengekspor 56.000 ton per tahun dan sekitar 71 persen di antaranya ke Jepang.
Mengenai hasil konferensi para menteri pertanian yang diikutinya di Kairo, Wardoyo menjelaskan bahwa pertemuan tersebut antara lain berkesimpulan bahwa dunia perlu lebih memperhatikan masalah pengadaan pangan karena kondisi stok pangan dunia sekarang belum sebaik pada tahun-tahun sebelum dibentuknya Dewan Pangan Dunia tahun 1974.
Konferensi itu mencatat bahwa pada tahun 1987-1988 produksi pangan dunia turun berturut-turut tiga persen, demikian Wardoyo.
Sumber : ANTARA (22/06/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal.427-429.