HADIAH KEPENDUDUKAN PBB
Jakarta, Suara Pembaruan
UNTUK kedua kalinya Presiden Soeharto pada tanggal 8 Juni 1989 mendatang (pukul 17.00 waktu setempat atau pukul 04.00 pagi tanggal 9 Juni WIB), akan menerima tanda penghargaan dari badan khusus PBB. Penghargaan kali ini berupa hadiah kependudukan PBB yang diberikan oleh United Nations Population Fund (Dana Kegiatan Kependudukan PBB) yang akan diberikan langsung oleh Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar di Markas Besar PBB New York.
Selain Presiden Soeharto, penghargaan yang samajuga diberikan pada lembaga keluarga berencana dari Togo (sebuah negara yang terletak di sebelah selatan gurun Sahara, Afrika) bernama “Programme National de Bientre Familial”, yang juga telah berhasil menurunkan angka/tingkat kematian bayi di negara itu. Untuk prestasi luar biasa itu masing-masing akan mendapat sebuah medali PBB, sebuah diploma, dan hadiah uang US$ 12.500.
Keberhasilan Presiden Soeharto untuk menerima tanda penghargaan tersebut menurut Direktur Eksekutif Dana Kependudukan PBB, Dr. Nafis Sadik, terutama didasarkan pada keberhasilan Indonesia dalam program Keluarga Berencana (KB) yang tidak terlepas dari kepemimpinan Presiden Soeharto yang pada banyak kesempatan selalu berbicara “kuat dan lantang” mengenai pentingnya keseirnbangan pertumbuhan penduduk dan menjalankan program keluarga berencana.
Berkat kepemimpinannya, dalam dua dasa warsa terakhir, tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia berhasil diturunkan dari 3 persen menjadi 2,2 persen, sementara rata-rata harapan hidup (life expectancy) naik menjadi 60 tahun. Menurut Ketua BKKBN Dr. Haryono Suyono, angka/tingkat pertumbuhan penduduk tersebut hingga tahun 2020 mendatang akan ditekan lagi menjadi rata-rata 1,03persen.
KITA tentu gembira dan bangga atas prestasi dan pemberian penghargaan yang memang sangat langka itu. Proses dan pelaksanaan pembangunan yang dijalankan ternyata telah tidak hanya berhasil mengubah citra Indonesia di mata dunia, tapi dampak-dampak positif dari apa yang dilaksanakan itu ternyata bermanfaat pula bagi dunia.
Pada tahun 1985 lalu, untuk pertama kalinya Indonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO) di Roma, atas prestasinya dalam mengubah citra sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi suatu negara yang kini mampu berswasembada. Prestasi yang hampir serupa kini terulang lagi.
Citra Indonesia yang dulu terkenal sebagai salah satu negara “produsen” manusia terbesar di dunia, dengan tingkat kelahiran yang cukup tinggi, kini berhasil diturunkan dengan kampanye “dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja”.
WALAUPUN penghargaan kependudukan itu diberikan kepada Presiden Soeharto, tapi hal itu tentu tidak terlepas dari peranan dan partisipasi dari segenap bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain, penghargaan itu juga merupakan suatu kehormatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itulah tanggungjawab untuk bisa terus mempertahankan prestasi yang diakui secara intemasional itu tentu tidak berada pada Presiden Soeharto atau BKKBN saja, tapi pada seluruh rakyat Indonesia.
Hal itu memang tidak mudah, oleh karena seperti dalam dunia olahraga, mempertahankan prestasi adalah lebih sulit dari pada merebutnya. Oleh karena itulah pemasyarakatan apa arti dan makna pemberian tanda penghargaan itu bagi penduduk di seluruh pelosok tanah air menjadi sangat penting.
Untuk itu peranan jajaran Departemen Penerangan perlu dimaksimalkan dalam menghumaskan, tidak hanya upacara pemberian tanda penghargaan itu sendiri dari New York ke seluruh wilayah Indonesia, tapi yang lebih penting lagi bagaimana melakukan pendekatan dan publikasi semaksimal mungkin sehingga upacara dan arti/ makna yang melekat pada penghargaan itu bisa diliput secara meluas oleh media massa di seluruh dunia.
Pengalaman di waktu lalu, tatkala Presiden Soeharto menerima tanda penghargaan dari FAO di Roma, Italia, aspek ini belum begitu berhasil dilaksanakan. Kita berkeyakinan, menghumaskan prestasi yang baik dan langka inike seluruh dunia, tentu akan mempunyai dampak yang positif pula bagi peningkatan citra negara dan bangsa Indonesia di mata mereka maupun dunia intemasional. ***(SA)
Sumber: SUARA PEMBARUAN (03/06/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 825-827.