IDE MBAK TUTUT ITU AKAN TERUS BERLANJUT

IDE MBAK TUTUT ITU AKAN TERUS BERLANJUT[1]

 

Solo, Media Indonesia

IDE untuk membangun kembali eksistensi dolaoan anak-anak ini lahir dari H Siti Hardiyanti Rukmana. Kebetulan, saat itu masih pada taraf sebatas pemikiran memvisualisasikan dolanan di TPI. Yang di kemudian hari berkembang kepada bentuk Festival di Solo.

Untuk mensikapi gagasan besar itu lantas TPI merangkul PT Global Citra Media Nusantara (GCMN) dan Mangkunagaran Surakartapun membuka pintu untuk menja di tuan rumah sekaligus.

Maka digelarlah Festival Mainan Anak-anak Indonesia 1993 di Puro Mangkunagaran, Solo. Diikuti 13 kontingen dari 11 provinsi seperti DI Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan (Palembang), Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Timor-Timur serta Irian Jaya yang melibatkan tak kurang dari 500 anak usia 5-12 tahun. Dan ditonton lebih dari 2000 orang setiap hari. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 250 juta. Tapi biaya ini lebih ngirit ketimbang TPI harus mondar-mandir ke daerah.

“Festival ini sebenarnya lebih kepada untuk menyiasati waktu dalam pembikinan program TPI. Bayangkan, kalau kami harus mengemas dolanan itu harus mendatangi masing-masing daerah, berapa lamanya,” ujar Boy Rivai Ketua II FMAI yang juga Direktur Program PT GCMN.

Belum lagi bila TPI dihadapkan pada penelitian dan riset untuk menemukan jenis permainan yang benar-benar orisinal dan unggul di masing-masing daerah.

Peristiwa ini, kata Boy juga tidak cuma berhenti di situ. Tapi akan berlanjut tahun depan. Kemungkinan tempatnya tidak lagi di Solo, tapi di Istana Maimun, Medan. Dan akan bergilir ke daerah lain. Namun diharapkan di Kota Bengawan itu tahun depan tetap terselenggara, kendati tidak harus dari penyelenggara sekarang. Karena dengan mentradisikan peristiwa tersebut, masih kata Boy, tiap tahun akan ada festival di tiap-tiap daerah.

“Ini kan bisa menambah kosa budaya Indonesia.” Dalam soal ini GRAy Koes Moertiyah siap menjawab. Bahkan, ujarnya, tradisi dolanan sejak dulu berlangsung di dalam Keraton. Melalui Pawiyatan yang ia pimpin Koes juga terns berupaya untuk menggali dan melestarikan dolanan.

“Saya selalu menganjurkan kep da guru di Pawiyatan untuk memberi waktu luang kepada anak-anak untuk main dolanan. Dan ini dipraktekkan pada jam istirahat. Kalau pun akan ada festival lagi di sini (Solo) kita lihat saja nanti,”ujar Koes Moertiyah lagi.

Tahun depan juga sudah berencana mengikuti festival serupa tingkat ASEAN di Singapura. Agustus ini telah dirancang lomba mendisain permainan anak-anak, yang hasilnya akan dipamerkan bulan November dan sekaligus akan ditawarkan kepada konglomerat untuk dibikin souvenir. Sebagian dari dolanan tersebut selain akan dibikin replika juga akan didokumentasi dalam bentuk visualisasi.

Maka cepat atau lambat Boy yakin akan terjadi kegairahan dalam menyikapi budayanya sendiri, khususnya terhadap dolanan, tradisional anak-anak. ban ini diakui oleh KGPA Sri Mangkoenagoro IX bila permainan ini secara terus menerus diperkenalkan kepada anak akan terjadi kristalisasi nilai dalam diri anak itu sendiri.

Lihat saja basil evaluasi Dewan pengamat yang terdiri Putu Wijaya, Dedy Mizwar, GRAy Koes Moertiyah, Walidi S Kar dan Sunamo SKar. Permainan dan mainan tradisional itu ternyata memiliki kesamaan corak daerah satu dengan yang lain; ini mencerminkan akan budaya berasal dari satu sumber. Mengandung pendidikan: menciptakan rasa kebersamaan dan spontanitas, kreatifitas, keberanian, dan rasa percaya diri serta mandiri. Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya antara lain menumbuhkan rasa cinta kepada alam serta terlibat pada lingkungan dan memiliki kepekaan rasa kebhinekaan.

Akhirnya tim tersebut sepakat untuk mendokumentasi secara audio visual lebih rinci dan mengiventarisir seluruh bentuk mainan di seluruh Indonesia. Mereka juga menawarkan, agar kelak diupayakan sebuah museum mainan anak-anak dari masa ke masa. Menurut Dedy supaya ada komunikasi antara generasi sebelumnya dengan generasi penerus dalam hal mainan anak-anak.

“Gagasan ini disambut baik oleh lbu Tien yang akan menyediakan lahan 1 hektare di Taman Mini Indonesia Indah (TMII),” ujar Dedy.

Lahan itu sedianya untuk memfasilitasi dolanan anak-anak seluruh negeri ini, termasuk pula akan dibangun museum di dalamnya. Sedangkan mainan yang tak mungkin bisa disimpan akan dibuat visual agar bisa di museumkan. Jadi jangan kaget jika sewaktu-waktu jalan-jalan ke TMII mendapatkan garis segi empat panjang di tanah, untuk main gobak sodor. Semoga. (Yad)

Sumber: MEDIA INDONESIA (5/08/1993)

__________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 909-911.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.