INDONESIA DAN MEKSIKO IBARAT PINANG DIBELAH DUA

INDONESIA DAN MEKSIKO IBARAT PINANG DIBELAH DUA

 

 

Jakarta, Kompas

BUKAN suatu hal yang mengada-ada dan untung-untungan jika seorang kanglomerat Indonesia beberapa waktu lalu menjajaki kemungkinan menginvestasikan modal mendirikan pabrik batu baterai di Meksiko. Memang negeri di Amerika Tengah itu makin aktraktif sebagai basis perluasan bisnis, terlebih lagi dengan serangkaian terobosan pembaharuan di berbagai sektor ekonorni, perdagangan, pajak, penanaman modal dan moneter yang secara konsisten terus dilakukan.

Seperti halnya kini Indonesia negeri di Amerika Tengah di mana Presiden Soeharto memulai lawatannya kali ini, sedang gandrung akan deregulasi debirokratisasi, privatisasi. Bahkan dibanding Indonesia, Meksiko melakukannya secara lebih liberal, dan tidak sungkan-sungkan.

Umpamanya saja, simbol etatisme dengan dirnilikmya 1.155badan usaha milik negara yang tercatat tahun 1982, hampir tiga perempat di antaranya sudah diswastakan, dilikuidasi atau dialihkan penguasaannya kepada pemerintah daerah. Beberapa perusahaan penting yang telah dan akan diswastakan antara lain mencakup dua perusahaan penerbangan (Mexicana dan Aeromexico ), satu jaringan hotel (Nacional Hotelera), dua industri baja (Sicarisa dan Ahmsa), perusahaan telepon nasional (Telmex), pertambangan tembaga (Cananea) dan perusahaan asuransi terbesar di Amerika Latin (Asemex). Belum lagi 18 bank pemerintah yang juga menunggu giliran berganti induk semang.

Diperkirakan, sejak program privatisasi badan usaha milik negara itu dicanangkan pada tahun 1983,hingga kini lebih dari 170 perusahaan dijual atau diambil oper swasta, terutama investor luar negeri, yang kemudian menghasilkan lebih dari 8 milyar dollar AS untuk kas negara.

Lebih dari itu, Meksiko juga mencanangkan pengetatan ikat pinggang untuk mengatasi masalah utang luar negeri seperti halnya Indonesia. Meksiko yang pada tahun 1988 berutang 100 milyar dollar AS (sementara utang Indonesia per 30 September 1991,42,1 milyar dollar AS dan utang swasta sekitar 14 milyar dollar AS), kini bisa bernapas panjang setelah diterapkannya rencana Menteri Keuangan AS Nicholas Brady (Brady Plan) awal Maret 1989, yang menyarankan rencana baru mengurangi utang negara berkembang. Melalui serangkaian negosiasi dengan berbagai kreditor, Meksiko kini menikmati pengurangan utang sekitar 20 milyar dollar AS selama kurun waktu 1990-1994 ini.

Di bidang lain, kedua negara juga memiliki persoalan yang sama. Katakanlah dengan munculnya sekitar 1,2 juta angkatan kerja baru setiap tahun, masalah urbanisasi dan penduduk miskin.

Tak pelak lagi, ibarat pinang dibelah dua, Indonesia dan Meksiko adalah sosok negara berkembang produsen minyak yang sama-sarna menghadapi masalah sosial ekonomi dan sama-sama menyadari betapa mutlaknya suatu reformasi.

TAK kurang dari Dubes Rl untuk Meksiko David Napitupulu (56 tahun) yang menilai kepemimpinan Presiden Carlos Salinas de Gortari yang dilantik 1 Desember 1988 itu amat memperhatikan masalah perekonomian. Bahkan melalui Pakta Pertumbuhan dan Stabilisasi Ekonorni (PECE), salah satu tujuan pokoknya memang menjebol tembok tinggi inflasi.

Laju inflasi yang sempat 58 persen dalam tahun 1988, secara bertahap dapat diturunkan rnenjadi 19,7 persen tahun 1989 dan pertumbuhan ekonomi naik dari 1,4 persen menjadi 2,9 persen. Tingkat inflasi tahun ini diramalkan hanya sekitar 17 persen. Dan mulai tahun depan negeri berpenduduk sekitar 90juta jiwa (separuh penduduk Indonesia) inidirencanakan akan menikmati tingkat inflasi di bawah satu digit, tingkat terendah dalam setidaknya 10 tahun terakhir.

“Kunjungan Presiden Soeharto ke Meksiko ini amat penting, antara lain bertukar pikiran mengenai masalah aktual yang dihadapi kedua negara itu,” kata Napitupulu ketika dihubungi Kompas per telepon Kamis pagi (21/11). la menambahkan, kedua pemimpin juga berkesempatan membahas masalah regional dan arus kecenderungan globalisasi yang rnau tidak mau pasti berpengaruh bagi setiap negara berkembang.

Dubes yang juga tokoh Angkatan 66 ini mengingatkan pula bahwa Meksiko kini sudah rnasuk dalam kelompok Area Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) bersama AS dan Kanada. Meksiko juga berminat turut serta secara aktif dalam lingkungan pergaulan negara-negara di kawasan Pasifik. Karenanya, kata Napitupulu, kedua negara dapat menjelaskan -posisi dan pandangannya masing-masing .

la juga menilai Meksiko sangat aktifdalarn pergaulan internasional, utarnanya yang rnenyangkut aspek ekonomi. Wakil dari negeri ini hadir ke berbagai pertemuan dan organisasi di hampir segenap arab rnata angin. Namun jika itu berbau-bau politik,

Meksiko sedikit lowprofile. “Kalau tekanannya pada politik. Meksiko segan,” kata Napitupulu.

KENDATI demikian, kata Napitupulu. kuniungan Presiden Soeharto niscaya bermanfaat untuk mempererat kerja sama Selatan-Selatan. Hal yang sama juga dikemukakan Konselor pada Kedubes Meksiko di Jakarta, Miquel Garcia Zamu dio: “Ini merupakan kunjungan bermakna luas dan dalam bagi kedua negara yang sama­ sama negara berkembang,” kata Zamudio menjawab Kompas di kantornya, hari Rabu (20/11).

Konkretnya bagi kedua negara, kunjungan inikemungkinan akan ditindaklanjuti pengiriman misi perdagangan. Terlebih lagi Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bulan lalu telah mengikat kerja sama di Jakarta dengan kamar dagang Meksiko.

Baik Napitupulu maupun Zamudio menilai, peningkatan perdagangan dan penanaman modal antara kedua negara juga akan makin terbuka lebar. “Pengusaha Meksiko kini juga berminat menanamkan modalnya di industri petrokimia di Pulau Batam,” kata Napitupulu.

Selain itu, kedua negara juga dapat meningkatkan kerja sama di bidang iptek. Misalnya hubungan yang sudah mentradisi antara industri baja PT. Krakatau Steel dengan industri baja Meksiko, Almisa akan dapat lebih diperluas. “Sekitar 100 tenaga ahli Almisa masih bertugas di Indonesia dan beberapa hari lalu saya menerima fake dari Krakatau Steel yang meminta pengurusan visa bagi sejumlah tenaga ahli Meksiko lagi,” kata Napitupulu.

Tak kurang dari itu, Meksiko juga tertarik pada pengkajian dan penerapan teknologi di Indonesia, terutama setelah Menristek BJ Habibie mengutarakannya dalam suatu seminar di Acapulco beberapa waktu lalu.

Di bidang perdagangan, kendati nilai perdagangan kedua negara relatifkecil, namun sampai kini sudah menunjukkan peningkatan yang sangat berarti. Ketika Napitupulu mulai menempati posnya, tahun 1987, di kota Meksiko yang terkadang diguncang gempa itu, total perdagangan kedua negara baru sekitar 20 juta dollar AS. Empat tahun kemudian naik lima kali lipatjadi sekitar 100,5 juta dollar AS.

Diakui bahwa perdagangan itu masih menguntungkan Meksiko, dan defisit di pihak Indonesia sekitar 30juta dollar AS, di tahun 1990. “Namun saya percaya perdagangan itu dapat lebih diseimbangkan dalam waktu dekat,” kata Dubes RI seraya menunjuk antara lain minat Meksiko membeli lebih, banyak kayu lapis, tekstil dan barang pecah belah.

Karena itu, Napitupulu menilai banyak hal yang bisa dicontoh Indonesia dari Meksiko. Namun demikian pula sebaliknya, tidak sedikit yang dapat diperoleh Meksiko dari Indonesia. “Kedua aspek itu pun tidak berarti lalu saling menggurui satu samalainnya,” kata Dubes. (SA)

 

Sumber: KOMPAS (23/11/1991)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 219-222.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.