INDONESIA MASIH TETAP MENOLAK BANTUAN DARI BELANDA
New York, Suara Karya
Pemerintah Indonesia terkejut atas tersiarnya berita yang menyebutkan bahwa kini telah terjadi perubahan sikap, sehingga RI bisa menerima bantuan Belanda, terutama di bidang Pendidikan. Mensesneg Moerdiono yang kini sedang mendampingi Presiden di New York memberi reaksi keras atas pemberitaan itu.
Wartawan Suara Karya, Agustianto dari New York Kamis malam melaporkan, sikap Indonesia tetap pada keputusan yang diambil 25 Maret lalu yakni menolak semua bentuk bantuan dari Belanda. Penegasan ini dikemukakan Mensesneg Moerdiono sebagai reaksi dari berita yang bersumber dari JP Pronk.
Tidak jelas apakah pihak Belanda salah dalam memaharni hasil kunjungan Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Belanda JMM Ritzen kepada Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, Jum’at ( 18/9) lalu, atau ada kekel iruan kutipan dari keterangan Pronk yang juga sedang berada di New York.
Namun ketika Menteri Pendidikan Belanda bertemu dengan Presiden Soeharto, pembicaraan mengenai kerja sama pendidikan kedua negara sama sekali tidak menyinggung pencairan sikap Indonesia. Presiden dan Ritzen ketika itu membahas peningkatan kerja sama pendidikan namun tetap berpegang pada batasan tidak menerima bantuan Belanda. Ketika itu Presiden didampingi Mendikbud Fuad Hassan.
Presiden ketika itu mengharapkan BeIanda juga hendaknya suka melakukan kerja sama dengan negara dari dunia ketiga lainnya. Imbauan itu disampaikan Presiden dalam kapasita snya sebagai Ketua Gerakan Non Blok. Kepada pihak Belanda, Indonesia malah menyarankan agar alokasi bantuan yang semula disiapkan untuk Indonesia hendaknya tetap dikeluarkan, tetapi untuk membantu negara-negara berkembang lainnya, kecuali Indonesia. Terakhir, bantuan pendidikan Belanda kepada Indonesia melalui IGGI mencapai sekitar 100 juta dolar.
Diperkirakan usulan itulah yang disalah-pahami oleh Belanda, seolah-olah Indonesia berubah sikap dan bersedia kembali menerima bantuan. Kesalahan menafsirkan perubahan sikap Indonesia dari Kerajaan Belanda itu muncul hanya dalam waktu kurang dari 24 jam setelah Ritzen diterima Presiden Soeharto. Menteri Keija Sama Pembangunan Belanda, JP Pronk, dalam lawatannya di New York hari Minggu lalu langsung mengeluarkan reaksi, seolah-olah Indonesia bersedia kembali menerima bantuan dari BeIanda.
Pernyataan Pronk yang menilai Indonesia berubah sikap, menurut Moerdiono perlu diluruskan. “Indonesia tetap konsisten pada pendi riannya menolak bantuan berupa apapun dari Belanda. Indonesia hanya menawarkan kerja sama SelatanSelatan, bukan berarti bersedia menerima bantuan Belanda,” tegas Moerdiono. Pernyataan Kerajaan Belanda tersebut menurut Moerdiono, jika tidak diluruskan bisa membingungkan kalangan masyarakat, baik di Indonesia maupun di Belanda sendiri. Pernyataan Belanda itu, dinilai Mensesneg sebagai kekeliruan dalam menanggapi kebijakan pemerintah RI.
Moerdiono mengakui, memang benar pemerintah RI minta BeIanda agar menjadi pelopor dalam membantu negara Selatan-Selatan berkembang. Di antaranya, Belanda bisa membiayai negara ketiga yang ingin mengikuti cara-cara bertani yangbenar. Ahliahli yang belajar pertanian di Indonesia bisa saja dibiayai Belanda atas dasar pola kerjasama Selatan-Selatan.
Korsel
Siang dan petang Rabu kemarin, setelah menghadiri jamuan santap siang yang diselenggarakan Sekjen PBB Boutros-Boutros Ghali, Presiden Soeharto di Hotel Waldorf Astoria berturut-turut menerima kunjungan Presiden Korsel Roh Tae Woo, Presiden Bosnia-Herzegovina Alija Izetbegovia dan Kelompok GNB dalam Dewan PBB (NAM Caucus) terdiri dari para Menlu India, Maroko,Venezuela, Cape Verde, Ekuador dan Zimbabwe.
Dalam pertemuan itu, Kelompok GNB tersebut menyampaikan penghargaan atas suksesnya KTT ke-10 GNB di Jakarta. Presiden menjelaskan bahwa KTT ke-10 GNB telah menghilangkan keraguan atas masa depan GNB setelah berakhimya Perang Dingin, terbukti sambutan atas GNB sangat besarbaik di dalam maupun di luar GNB, sehingga anggotanya bertambah, ditambah peninjau dan tamu lainnya. KTT juga telah memberi harapan baru pada peningkatan kerjasama Selatan-Selatan tanpa melupakan masalah politik. KTT juga menekankan pentingnya kerjasama Selatan Selatan akan lebih memberi bobot bagi peningkatan dialog Utara-Selatan.
Caucus GNB dalam PBB diminta oleh Kepala Negara agar berjuang bagi penataan kernbali PBB ke arah demokratisasi bagi badan dunia itu. Ketika melakukan pertemuan dengan Presiden Korsel, Roh Tae Woo menyatakan keinginannya untuk ikut menggalakkan kerjasama Selatan-Selatan dalam rangka pelaksanaan keputusan KTT ke-10 GNB, disamping ingin meningkatkan hubungan dengan Indonesia, termasuk akan mempelajari kemungkinan pembelian pesawat CN-235 produksi IPTN, Bandung.
Presiden Korsel, menurut Moerdiono, segera akan memerintahkan para pejabatnya untuk melakukan pembahasan tindak lanjut dengan para pejabat dari Indonesia untuk memungkinkan Korsel melakukan ketjasama Selatan- Selatan secara konkret.
Sebelumnya, Presiden Soeharto menjelaskan hasil-hasil KTT ke-10 GNB di Jakarta 1-6 September lalu serta menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas partisipasi aktifKorsel dalam CGI (Consultative Group for Indonesia) dengan memberikan bantuan 15 juta dolar AS.
Roh Tae Woo menjelaskan peranan negaranya menciptakan stabilitas di Semenanjung Korea dan posisi negaranya dalam perkembangan internasional yang mengalami perubahan cepat dan mendasar belakangan ini. Pemimpin negara itu juga menyampaikan pujian atas keberhasilan pembangunan di Indonesia dan mengucapkan selamat atas suksesnya KTT ke-10 GNB.
Presiden Soeharto menekankan pentingnya ketjasama Selatan-Selatan sebagai salah satu semangat KTT ke-10 GNB. Karenanya diharapkan agar Korsel agar ikut aktif dalam menyukseskan kerjasama antar negara sedang membangun. Hal tersebut dinilai penting, karena ada negara yang berpengalaman dalam membangun, tapi tidak cukup dana untuk membantu dalam rangka Selatan-Selatan, padahal banyak di antara negara Selatan miskin yang perlu bantuan untuk membangun.
Dalam pertemuan itu, Presiden sangat mendukung upaya stabilitas di Semenanjung Korea. Indonesia juga menyambut baik hubungan yang lebih terbuka Korsel dengan RRC.
Bosnia
Ketika bertemu Presiden Bosnia-Herzegovina, Kepala Negara memperoleh penjelasan dari Ali Izotbogovia ten tang keadaan di negara baru di bekas wilayah Yugoslavia tersebut.
Sebagai Ketua GNB yang baru, Presiden Soeharto diminta memainkan peranan aktif untuk memberikan perhatian terhadap masalah kemelut yang terjadi di negara itu dan mengupayakan sejumlah bantuan kemanusiaan untuk dikirim ke Bosnia.
Sumber : SUARA KARYA (25/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 262-265.