INDUK KARANGAN: KOMITMEN DALAM PEMBANGUNAN

INDUK KARANGAN: KOMITMEN DALAM PEMBANGUNAN

 

 

Jakarta, Pelita

Setelah menerima Penghargaan Kependudukan PBB tahun 1989 Presiden Soeharto bersama rombongan kembali ke tanah air. Dalam perjalanan pulang (dalam pesawat) sebagaimana biasa Presiden selalu memberikan keterangan kepada para wartawan yang menyertainya.

Beberapa hal telah disinggung a.l. soal kependudukan, soal hutang-hutang luar negeri dah tentang stabilitas nasional bangsa Indonesia.

Dari keterangan tersebut ada kesan kuat bahwa apa yang dikemukak:an oleh Presiden Soeharto semuanya dalam kontek pembangunan bangsanya. Baik soal kependudukan, hutang maupun stabilitas nasional adalah komitmennya terhadap pembangunan.

Membangun sebuah negara besar seperti Indonesia ini tidaklah ringan, apalagi dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di mana-mana. Sudah barang tentu yang paling dipikirkan adalah bagaimana pembangunan tersebut merata sehingga dapat dinikmati oleh setiap warga bangsa Indonesia.

Membangun, di samping merupakan “kemauan politik” juga harus ditunjang dengan dana. Dan dana yang kita peroleh a.l. dari uang pinjaman. Karena uang pinjaman maka pemakaiannya pun harus benar-benar untuk pembangunan. Dan semua itu telah dibuktikan oleh bangsa Indonesia.

Proses pinjaman ini kemudian disusul dengan pengembalian hutang-hutang dan tampaknya telah memberikan kepercayaan kepada bangsa Indonesia. Karena hasilnya nyata banyak negara-negara yang terus memberikan bantuan pinjaman tersebut.

Tetapi itu tidak berarti semulus yang kita bayangkan, karena ada beberapa kendala yang juga ikut mempengaruhi pinjaman itu misalnya terjadinya apresiasi nilai tukar beberapa mata uang asing sehingga hutang-hutang membengkak dalam tingkat Rp 3,2 triliun atau 1,9 miliar dolar.

Yang jadi masalah bagi kita adalah memberikan keyakinan kepada lembaga­lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter lnternasional (IMF) bahwa Indonesia tak akan pemah “mengingkari” pinjaman­pinjamannya. Selama ini Indonesia tak pernah tercela dalam soal pinjaman.

Menurut Presiden Soeharto bagi Amerika Serikat sendiri tidak: ada masalah, Cuma disayangkan ada sementara warga AS yang duduk sebagai pejabat dalam berbagai lembaga keuangan internasional itu yang belum memaharni Indonesia.

Karena komitmen kita dengan pembangunan itu sudah demikian kuat maka mestinya ada upaya-upaya lobi yang kuat pula terhadap lembaga-lembaga keuangan itu khususnya dengan para pejabat yang kebetulan warga AS.

Siapa saja yang melakukan lobi tersebut, mungkin dari Kedutaan Besar kita atau lembaga lain yang kebetulan ada hubungannya dengan lembaga keuangan internasional. Kini sudah saatnya bangsa Indonesia memperkuat lobi yang dapat meyakinkan semua pihak bahwa pembangunan di Indonesia akan terus berjalan, dan pinjaman-pinjaman Indonesia tak perlu dikuatirkan.

Pembangunan memang memerlukan satu bahasa, mulai dari bangsa Indonesia sendiri. Bersatu dalam kebersamaan mau tidak mau memerlukan stabilitas nasional.

Dalam hal ini Presiden menjelaskan, stabilitas nasional yang dikembangkan di Indonesia bukan berarti ingin mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang maupun golongan, tetapi semata-mata untuk memungkinkan dapat dilaksanakannya pembangunan demi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan guna memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Memang benar kita memerlukan dinamika nasional tetapi itu tidak berarti tanpa stabilitas nasional. Dinamika dalam stabilitas harus diciptakan sedemikian rupa dan hal itu bisa terwujud hanya dalam suatu masyarakat yang telah matang. Agaknya bangsa Indonesia telah memasuki kematangan bermasyarakat, perlu dinamika tetapi sangat perlu stabilitas. Kedua-duanya harus terpadu.

Komitmen lain dari ungkapan Presiden Soeharto adalah menyangkut kependudukan. Presiden dan bangsa Indonesia tidak mengharapkan Penghargaan, tetapi kalau ada kita menghormatinya untuk diterima. Hanya masalahnya upaya bangsa Indonesia menekan jumlah perkembangan penduduk semata-mata demi pembangunan sehingga hasilnya dapat dirasakan sebagai kesejahteraan bangsa sendiri.

 

 

Sumber : PELITA (14/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 238-239.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.