Presiden Soeharto : JANGAN KENDURKAN, TETAPI JUGA JANGAN MELEBIH-LEBIHKAN KEWASPADAAN KEAMANAN
Presiden Soeharto hari Kamis menegaskan, adalah keliru menganggap kewaspadaan keamanan boleh dikendurkan demi kemakmuran. Namun sebaliknya, juga sama kelirunya jika kewaspadaan keamanan itu berlebih-lebihan, sehingga membatasi ruang gerak.
Presiden mengemukakan hal itu ketika menerima peserta kursus Reguler angkatan ke-19 Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) di Istana Merdeka.
Presiden selanjutnya menguraikan, sebagai bangsa yang lahir dari kancah perang kemerdekaan dan revolusi, bangsa Indonesia memiliki kesadaran yang dalam mengenai keamanan nasional.
Kesadaran itu bertambah besar, karena sesudah perang kemerdekaan dan revolusi, bangsa Indonesia mengalami berbagai gejolak berkepanjangan, yang hampir-hampir menghancurkan bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila.
Ancaman dan bahaya itu datang dari kekuatan ekstrem kanan maupun kiri. Bahaya itu juga bisa datang karena diterapkannya alam pikiran liberalisme yang tidak berakar pada kepribadian sendiri.
Bahaya itu juga jelas datang dari ideologi komunis, seperti yang telah dua kali dialami pada tahun 1948 dan 1965. Selain itu juga bisa datang apabila Pancasila tidak dilaksanakan dengan penuh kejujuran dan secara nyata.
“Kita memang harus selalu memelihara kewaspadaan dan kepekaan terhadap masalah yang menyangkut keamanan bangsa dan negara, karena keamanan bangsa dan negara adalah kepentingan utama yang sama sekali tidak boleh diabaikan,” tegas Presiden.
Menyeluruh dan Dinamis
Menurut Kepala Negara, ketahanan nasional yang dikembangkan adalah konsep yang menyeluruh dan dinamis. Sebab itu ketahanan nasional tidak dipandang semata-mata dari sudut pertahanan keamanan saja, melainkan dari pandangan menyeluruh dan dinamis tadi. Sehingga ketahanan nasional meliputi ketahanan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
“Pokoknya konsep ketahanan nasional yang kita kembangkan adalah kemantapan dan keserasian dalam mengembangkan semua segi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dalam arti yang seluas-luasnya berdasarkan Pancasila.”
Itulah sebabnya, menurut Kepala Negara, dalam P4 pun ditekankan pentingnya arti keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Dengan jalan ini segala tuntutan yang kelihatannya saling bertentangan, segala perbedaan dalam masyarakat yang serba majemuk, tidak dibiarkan berkembang menjadi sumber perbenturan dan konflik. Tetapi dijadikan sebagai kekuatan yang berkembang serasi dan saling isi mengisi dan menjadi pendorong kemajuan.
Koreksi
Presiden menegaskan, dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, maka dapatlah dihindarkan kegagalan dalam pembangunan menuju tinggal landas seperti yang pernah dialami oleh banyak negara pada tahap awal pembangunannya.
“Melalui pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas, kita sekaligus hendak membangun suatu masyarakat maju yang sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa kita dan bukan masyarakat maju yang bertolak belakang dengan citacita perjuangan bangsa.” ujar Presiden.
“Oleh sebab itu,” kata Presiden, “kita harus berusaha untuk terus menerus makin melengkapi dan makin memperkaya, dan di mana perlu juga mengoreksi pemikiran kita mengenai pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas.”
Kursus reguler ini diikuti 61 orang, terdiri dari pejabat senior terpilih dari lingkungan ABRI, non-ABRI, dan swasta.
Dari ABRI 27 orang, terdiri dari TNI-AD 13 orang, TNI-AL lima orang, TNI-AU lima orang dan dari Polri empat orang. Pejabat non-ABRI sebanyak 34 orang, berasal dari departemen dan lembaga negara non-departemen 32 orang. PWI satu orang dan dari Kadin satu orang.
Kursus dimulai 5 April 1988 dan hari Sabtu tanggal 6 Desember akan di wisuda sebagai alumni Lemhannas, dan sekaligus menjadi warga Ikatan Alumni Lemhannas dengan segala tugas, kewajiban, serta tanggung jawab di manapun mereka ditugaskan.
Dikembangkan Terus
Pada awal amanatnya, Presiden mengatakan pikiran mengenai ketahanan nasional dan pembangunan nasional, masih harus dikembangkan terus-menerus.
Sebab, kedua-duanya adalah khas Indonesia. Karena itu pemikiran dasar dan pengembangannya haruslah bertolak dari pandangan hidup Pancasila, dari kepribadian bangsa sendiri, dan dari pengalaman sejarah sendiri yang tidak ternilai harganya.
Dengan mengembangkan konsep dasar sendiri mengenai berbagai segi kehidupan bangsa dan negara, tidaklah berarti lalu menutup diri terhadap gagasan dan pengalaman dari luar.
“Sikap menutup diri sama sekali tidak realistis, malahan berbahaya, karena kita akan dihadapkan pada kemacetan dalam pemikiran,” katanya.
Tetapi agar pemikiran dan pengembangan Pancasila tidak berjalan ke segala arab tanpa pedoman, maka menurut Presiden penting sekali memahami dan menjaga nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sendiri.
“Dengan demikian kita memandang Pancasila sebagai wawasan yang menyeluruh dan dinamis. Karena itu pula kita memandang pembangunan nasional sebagai konsep yang menyeluruh dan dinamis. Demikian pula ketahanan nasional pun kita pandang sebagai konsep yang menyeluruh dan dinamis pula,” Demikian Presiden.
Ekonomi Pancasila
Gubernur Lemhannas Mayjen Soebijakto dalam acara itu menyerahkan hasil seminar peserta kursus, bertema “Kondisi ketahanan nasional yang dipersyaratkan sebagai pra-kondisi dalam rangka mengamankan dan mensukseskan tahap tinggal landas”.
Meskipun hasil seminar masih memerlukan penyempurnaan lebih lanjut. Soebijakto mengharapkan kiranya konsepsi tersebut dapat merupakan sumbangan pemikiran bagi pemerintah demi pemantapan kelangsungan pembangunan nasional.
Untuk kursus reguler tahun depan, Lemhannas merencanakan seminar dengan tema bahasan tentang konsepsi ekonomi Pancasila. Menurut Soebijakto tema tersebut dirasakan sudah perlu untuk dimulai pembahasannya agar dapat difahami didalami dan dihayati.
Sebagai upaya menyiapkan kondisi nasional setelah penciptaan kondisi tinggal landas pembangunan nasional berhasil dimantapkan. Dengan demikian secara berlanjut diharapkan akan mampu mendukung strategi pembangunan jangka panjang tahap kedua dalam bentuk kesiapan konsepsional secara mantap dan berkesinambungan. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (03/12/1986)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 555-558.