KALAU ADA HAL YANG KURANG BENAR, MASYARAKAT DIMINTA ANGKAT BICARA

KALAU ADA HAL YANG KURANG BENAR, MASYARAKAT DIMINTA ANGKAT BICARA

 

 

Belitang, Sumsel, Kompas

DIALOG antara Presiden Soeharto dengan para petani di Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan pada hari Sabtu yang lalu perlu menjadi kesadaran kita bersama.

APA yang dilakukan oleh Kepala Negara dalam dialog itu adalah melakukan pendidikan politik rakyat. Ia mengajak rakyat, dalam kesempatan itu adalah para petani, untuk berani mengajukan rasa keberatan dan saran-saran, jika mengetahui ada hal-hal yang kurang benar.

Mengajukan keberatan dan saran lebih baik dari pada mengungkapkannya kepada orang lain. Sikap diam saja dapat ditafsirkan sebagai sikap nrimo. Orang luar dapat memperoleh kesan salah, seolah-olah keberhasilan pembangunan karena rakyat takut dan menurut saja.

SECARA langsung ajakan Presiden ditujukan kepada para petani di Kecamatan Belitang, Sumatera Selatan. Tetapi ajakan itu disiarkan oleh televisi, radio dan surat kabar. Ajakan itu didengarkan oleh

masyarakat yang lebih luas. Ajakan itu kiranya memang ditujukan ke seluruh masyarakat Indonesia.

Apakah sebaliknya ajakan Kepala Negara kita pandang amat penting? Karena hal itu mengingatkan kepada pendidikan kesadaran politik rakyat yang diberikan oleh para pemimpin dalam zaman pergerakan nasional dulu.

Pada masa itu, rakyat juga dibelenggu oleh sikap nrimo dan atas dasar sikap nrimo itu menerima status quo yang tidak adil,yakni status quo kolonial.

Karena itu, yang pertama-tama dilakukan oleh semua pemimpin pergerakan nasional waktu itu ialah membangkitkan kesadaran politik rakyat. Rakyat diberi tahu mengenai kedudukannya, mengenai hak­ haknya dan mengenai ketidakadilan orde kolonial.

Banyak di antara kita masih ingat bagaimana terdapat perbedaan dalam membangkitkan kesadaran politik rakyat. Sekelompok pimpinan menghendaki cara pendidikan massa secara langsung lewat pidato­pidato, pers dan kursus-kursus.

Sebagian pemimpin lebih memilih sistem kaderisasi, tidak lewat gerakan massa melainkan kader-kader.

Sekalipun caranya berbeda, tujuan yang ingin dicapai sama, yakni bagaimana membuat rakyat Indonesia sadar akan nasibnya serta mempunyai kemauan untuk bersama-sama memperbaiki dan memperjuangkan nasibnya.

KARENA kesadaran politik rakyat itulah, perjuangan Indonesia Merdeka berhasil, ketika tiba momentumnya yang tepat. Revolusi kemerdekaan yang serentak dan meluas di mana-mana, hanya dapat dijelaskan oleh kehadiran kesadaran politik rakyat yang kritis.

Selanjutnya, di atas kesadaran politik rakyat itulah proses pembangunan bangsa dan pemupukan identitas bangsa dilanjutkan. Jelas melalui pasang surutnya gelombang kehidupan. Bahkan disertai berbagai krisis yang menelan korban.

Sampailah kita pada tahap baru, yakni bagaimana secara berencana dan bertahap, tetapi konsisten dan terus meningkat, mengusahakan pembangunan untuk meningkatkan perikehidupan rakyat. Bagaimana meletakkan dasar dan prasarana untuk perluasan dan pertumbuhan yang lebih besar. Bagaimana memperbesar penghasilan dan kekayaan agar semakin dapat dibagi untuk seluruh rakyat.

Pembangunan pertanian dan pembangunan masyarakat tani, yang setiap kali memperoleh perhatian khusus dari Kepala Negara merupakan bagian dari pembangunan nasional.

Sekarang kita berbicara tentang perlunya modal, perlunya keahlian, perlunya wirausaha, perlunya efisiensi dan produktivitas. Kita mempersiapkan diri menggunakan teknologi serta mengembangkan ilmu.

Semua itu diperlukan oleh usaha-usaha pembangunan kita di segala bidang. Akan tetapi tidak boleh dilupakan dan dialpakan bahwa landasan pokok dari semua upaya dan kesanggupan kesanggupan itu tetaplah kesadaran politik rakyat.

Bangsa dan negara bukanlah sebuah pabrik besar, di mana prestasi terutama disandarkan pada beroperasinya bagian-bagian pabrik itu secara keseluruhan. Bangsa dan negara terdiri dari masyarakat manusia, warga negara merdeka.

Itulah sebabnya, kita menilai sangatlah besar arti ajakan Presiden, agar para petani, agar masyarakat, jika mengetahui ada hal-hal yang kurang benar, berani mengajukan keberatan dan saran-saran.

Selanjutnya kita mengetahui, masyarakat hanya berani dan mau mengajukan keberatan dan saran, apabila pada mereka ada kesadaran politik.

Sering kita dengar suatu hipotesa karena pembangunan memerlukan kestabilan, maka demi kestabilan dengan sengaja kesadaran politik rakyat dikekang dan dikendalikan. Hal itu dipandang sebagai bagian dari ongkos pembangunan yang hams dibayar.

Kita sekurang-kurangnya dapat mengatakan, cara demikian adalah salah satu cara melihat permasalahan. Berarti masih ada cara lain. Misalnya justru dengan mengingatkan kepada perbedaan cara dalam zaman pergerakan nasional tempo hari.

Pendidikan politik rakyat dilakukan lewat gerakan massa atau lewat gerakan kaderisasi, lewat pendidikan politik. Apakah analogi itu misalnya tidak dapat ditarik dengan pembahan cara berpolitik sebelum dan sesudah orde Baru.

Ada argumen, bahwa analogi itu tidak dapat ditarik untuk situasi sekarang. Yang terjadi sekarang adalah rekayasa dan manipulasi. Rasanya dalam setiap proses politik, senantiasa hadir unsur rekayasa dan unsur manipulasi.

Masalahnya mungkin lebih terletak, bagaimana kita menghadapi keadaan itu dan bagaimana kita ingin berbuat dari keadaan itu. Artinya akan diarahkan dan dibawa ke manakah keadaan itu. Akan dibawa dan dikembangkan ke manakah sistem dan struktur politik sekarang ini?

Jawaban yang kita sepakati, kita bawa untuk tetap mengembangkan kesadaran politik rakyat dengan disertai pula kematangan dan kedewasaan sikap dan budaya politiknya.

ARAH itulah yang hams kita tuju. Pekerjaan itulah yang kita lakukan. Dan jika demikian halnya, seperti ajakan Kepala Negara, kita hams tetap menghidupkan serta mengembangkan kesadaran politik rakyat.

Masyarakat tidak boleh diam, apabila melihat ada hal-hal yang dirasakannya kurang benar dan tidak benar. Rakyat serta kelompok­kelompok masyarakat harus berani membuka suara, mengajukan keberatan, mengajukan usul-usul.

 

 

Sumber :KOMPAS(01/03/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 92-96.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.