KEBANJAKAN ANGGOTA DPRGR TANGGAPI RUU ANTI KORUPSI DENGAN STATEMENT UMUM

KEBANJAKAN ANGGOTA DPRGR TANGGAPI RUU ANTI KORUPSI DENGAN STATEMENT UMUM [1]

 

Djakarta, Kompas

Sidang Pleno DPR-GR Djum’at petang dan Sabtu pagi melandjutkan pemandangan umum para anggautanja terhadap RUU Anti Korupsi jang kini telah sampai pada pembitjaraan tingkat III.

Dalam sidang2 tersebut para anggauta pada umumnja mengemukakan statement2 umum mengenai korupsi. Misalnja: semakin meluasnja korupsi, teori2 tentang sebab2 korupsi, ketidakmampuan fihak penegak hukum untuk mengambil langkah2 jang tegas dan effektip dsb. Bahkan ada jang menjinggung soal Nj. Dewi Soekarno.

Mengenai materi dari RUU itu sendiri ada beberapa hal jang mendapat perhatian chusus dari para anggauta. Semua pembitjara tidak bisa membenarkan adanja pembedaan peradilan militer dan sipil dalam tindak pidana korupsi ini. Para pembitjara djuga kurang bisa menjetujui pasal peralihan dalam RUU tsb. Pasal Peralihan ini menjatakan bahwa bagi tindak pidana korupsi jang telah dilakukan sebelum UU ini berlaku, diperiksa dan diadili atas dasar UU jang ada terlebih dahulu (UU No. 24 Prp. 1960, Red). Para pembitjara pada umumnja minta agar perumusan peraturan itu dirubah sehingga kepentingan masjarakat dan negara tidak dirugikan karenanja.

Djuga Segi Politis Djangan Diabaikan

Zain Badjeber dari Fraksi NU menjatakan bahwa dalam pemberantasan korupsi ini kita dihadapkan pada dua persoalan prioritas. Terlebih dahulu memberantas koruptornja atau korupsinja. Menurut pembitjara, koruptor hanja merupakan produk keadaan. Karena itu ia berpendapat bahwa memberantas korupsi adalah lebih luas dari pada memberantas koruptor. Namun ia menandaskan bahwa kita harus memberantas ke-dua2nja, baik koruptor maupun korupsi.

Pembitjara selandjutnja mengatakan tidak melihat korupsi dari segi juridis sadja. Segi politisnja pun tak luput, jang dianggapnja paling berbahaja kalau bermotifkan subversi.

Oleh pembitjara kemudian ditanjakan apakah dengan perluasan pengertian dari tindak pidana korupsi ini telah diperhitungkan pula oleh Pemerintah mengenai kesiapan, kemampuan aparat2nja dan organisasinja serta kekuatannja. Apakah Pemerintah djuga akan menjusulnja dengan tindakan2 penertiban, penjempurnaan aparat2 jang bertugas untuk melaksanakan UU Anti Korupsi ini?

Achirnja ia djuga meminta agar Pemerintah memperintji perbedaan2 RUU ini dengan UU No. 21 Prp. 1960.

Penegak Hukum Harus Beritikad Baik

J. Suparmo dari Fraksi Katolik lebih menitik beratkan pembitjaraannja pada pelaksanaan dari UU Anti Korupsi ini nanti. Mengingat bahajanja korupsi bagi keselamatan negara, maka menjetudjui disusunnja UU ini.

Pembitjara mengatakan bahwa penanggulangan korupsi tidak perlu melulu pada peraturan hukumnja. Penegak hukum sendiri harus mempunjai itikad baik.

Djuga keberanian mental para petugasnja memegang peranan pula. Ditandaskan selandjutnja: …djanganlah mengatakan bahwa peraturan jang telah ada selama ini seperti KUHP, UU No. 24 Prp 1960, ICW dll., sudah tidak lagi memadai dalam menghadapi masalah korupsi ini”.

Pembitjara selandjutnja menjangkal bahwa ketidak sempurnaan UU jang ada sekarang ini telah membuat lumpuh para penegak hukum untuk memberantas korupsi. Ia djuga tidak bisa membenarkan pemberantasan korupsi digantungkan pada fihak pembuat UU sadja, sehingga memberi kesan bahwa adanja korupsi itu disebabkan karena Pemerintah dan DPRGR tidak mampu membuat UU-nja jang baik.

Unsur “Melawan Hukum” Bisa Ditafsirkan Lain

Djuga E. Saefullah SH dari Fraksi PSII sependapat bahwa peraturan2 jang sudah ada sekarang ini telah tjukup untuk menindak koruptor, bila para penegak hukum benar2 mempunjai dedikasi, kedjudjuran dan kewibawaan untuk menegakkan hukum. Dikutipnja pendapat beberapa Sardjana Hukum terkenal jang menjatakan bahwa “tjiri chas” dari aturan hukum adalah dilaksanakannja oleh kekuatan dari luar. Peraturan2 hukum itu mengikat setjara hukum, djika mempunjai sanksi2 materill jang dilaksanakan oleh kewibawaan jang berdaulat.

Ia lebih tjondong untuk memakai nama UU Anti Korupsi atau UU tentang Tindak Pidana Korupsi, karena istilah itu harus lebih luas dan tidak se-mata2 bersifat reaktip terhadap sesuatu situasi.

Pembitjara setudju dihilangkannja unsur “kedjahatan” dan “pelanggaran” dalam RUU ini, karena memang lebih mempermudah. Namun iapun berpendapat bahwa adanja unsur “melawan hukum” masih djuga dapat ditafsirkan lain, sehingga masih bisa menimbulkan kesulitan2 dalam hal pembuktian nanti. Sehubungan dengan itu maka ia tjondong untuk menghilangkan unsur tsb. atau dibalas lebih landjut untuk menutup kemungkinan terdjadinja penafsiran2 lain.

Masalah Bank Adalah Soal Kepertjajaan

Cosmas batubara, jang berbitjara atas nama Fraksi Karya Pembangunan, sependapat dengan saran Komisi 4 agar gadji pegawai dinaikkan tiga kali lipat untuk menghilangkan salah satu sebab tindak pidana korupsi. Menjinggung materi RUU itu sendiri, Cosmas menjatakan bahwa perumusan pasal 9 RUU tsb. bisa menimbulkan krisis kepertjajaan masjarakat terhadap bank. Padahal “soal dunia bank adalah soal kepertjajaan”, kata Cosmas. Dalam hubungan antara rahasia bank dan kriminalitas perbankan, Cosmas berpendapat bahwa pasal 37 dari UU No.14 tahun 1967 sudah tjukup untuk dipakai.

Menurut Cosmas, Menteri Keuangan belum pernah menolak permintaan Djaksa Agung untuk membuka rahasia bank djika terdjadi kriminalitas perbankan.

Maruto Nitimihardjo dari Fraksi Murba setjara pandjang lebar menguraikan dan membandingkan masalah pemberantasan korupsi jang dilakukan Pemerintah dalam tahun 1958 dengan tahun 1970 ini. Dan setelah mengemukakan pandangannja mengenai materi RUU tsb. jang pada umumnja tidak berbeda dengan pendirian Pemerintah dan Fraksi2 lainnja. Maruto achirnja menjarankan agar para koruptor paling sedikit menjerahkan 90 pct dari hasil usahanja itu kepada Pemerintah.

Usman Helmi dari fraksi PSII sedikit sekali menjoroti materi RUU tsb. Jang mendapat sorotan tadjam dari pembitjara adalah masalah BULOG; PN Pertamina, Nj. Dewi dan masalah COOPA. (DTS)

Sumber: KOMPAS (07/09/1970)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 608-610.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.