KEDUDUKAN ULAMA MENGANDUNG TANGGUNG JAWAB MORAL DAN SOSIAL
Presiden Terima Peserta Raker MUI.
PRESIDEN SOEHARTO mengingatkan kepada para ulama pentingnya suatu tanggung jawab yang besar dalam memberikan khotbah-khotbah. Sebab, apan para ulama sangat diperhatikan masyarakat sehingga mampu memberikan petunjuk dan pedoman hidup yang menyejukkan hati. Tetapi, selain itu, dari ucapan ulama pula mampu menggelisahkan masyarakat.
"Di sinilah kaum ulama dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Mengetahui, terhadap agama, hati nurani dan umat serta terhadap bangsanya."
Demikian pesan Kepala Negara pada acara ramah-tamah dengan para peserta Rapat Kerja Majelis Ulama Indonesia kemarin di Istana Negara. Raker MUI itu telah berlangsung 4 hari di Jakarta, berakhir tanggal 8 Maret 1984.
Menurut Presiden Soeharto, sebagai pemuka masyarakat, para ulama mempunyai peranan dan pengaruh tidak kecil dalam membina umat dan bangsa. Berarti, kedudukan dan fungsi ulama bukan saja mengandung tanggung jawab moral tetapi juga tanggung jawab sosial secara luas. Posisi seperti itu menjadi lebih penting artinya mengingatkan masyarakat Indonesia sangat kuat rasa keagamaannya.
Dalam mewujudkan peranan itu, Presiden Soeharto minta supaya para ulama tidak mudah terjebak dalam isyu-isyu dan kasus-kasus ranting atau sampingan. Melainkan harus mendekati permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa secara mendasar.
Semuanya tentu tidak lepas dari kepribadian dan budaya bangsa dan dari itu pula sebabnya GBHN 1983 yang merupakan konsensus nasional menegaskan bahwa pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancasila.
Hendaknya didasari bahwa negara ini menganut prinsip kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Siapapun, tidak berhak memaksakan sesuatu faham. Apakah itu dalam keyakinan, bentuk pelaksanaan ibadah atau dalam pelembagaan. Bagi bangsa Indonesia, kebebasan agama adalah hak yang paling asasi dari manusia. la bukan hadiah atau pemberian negara juga bukan pemberian golongan.
Karena itu, dalam menangani perbedaan kehidupan beragama harus secara arif. Jika tidak pasti akan timbul banyak masalah. Kalau bukan ketenangan, paling tidak ada pihak yang merasa tertekan dan merasa dikurangi kemerdekaan beragama.
"Inilah yang saya minta supaya dijaga bersama. Bagaimanapun kita tidak ingin rakyat merasakan seperti itu, betapapun kecilnya bagian masyarakat itu" tegas kepala negara.
Bersyukur
Presiden Soeharto juga menyatakan rasa syukur bahwa negara ini bukan negara agama, maksudnya bukan negara yang diatur menurut ajaran agama atau aliran agama tertentu. Hal ini harus dipelihara dan diperhatikan tetapi tidak berarti mengabaikan kehidupan beragama.
Negara, bahkan, bukan hanya menghormati tetapi juga berusaha menyemarakkan kehidupan beragama tanpa mencampuri kemandirian masing-masing. Semuanya tentu ingin agama berkembang dengan baik, tanpa ada pihak yang merasakan dianak emaskan dan dianak tirikan.
Dalam kaitan itu pula yang perlu disadari adalah kedalaman dalam kehidupan beragama. Sebab kesemarakan saja sering hanya menyentuh kulitnya. Sedang kedalaman menyangkut pematangan isi, dan justru itulah yang diperlukan dalam menghadapi tantangan perubahan jaman.
"Saya minta perhatian kepada para ulama untuk makin memperhatikan segi kedalaman keberagamaan masyarakat kita" ujar Kepala Negara sambil menambahkan bahwa hal itu memang tidak mudah, tapi demi ketahanan batin bangsa, mental dan spiritual, segi itu harus ditangani.
Pada awal sambutannya Presiden Soeharto menjelaskan berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi di masa mendatang, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
Seperti misalnya, perkembangan politik internasional yang tetap rumit, masalah kesempatan kerja, pendidikan dan kependudukan. Menghadapi tantangan tersebut perlu diarahkan sebaik-baiknya sehingga menjadi kekuatan positif bagi pembangunan masyarakat.
Khusus yang menyangkut kehidupan moral dituntut semua pihak mawas diri dan perlu pendekatan manusiawi. Dalam hal ini peranan agama sangat penting dalam mewujudkan masyarakat bermoral kuat dan berakhlak tinggi, dan disini pula dituntut perwujudan peranan para ulama serta pemuka agama (RA)
…
Jakarta, Suara Karya
Sumber : SUARA KARYA (09/03/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 819-820.