Jakarta, 22 Juni 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto
Presiden RI ke-II
di Jakarta
KEHILANGAN FIGUR [1]
Assalamu’ alaikum wr. wb.
Dengan hormat,
Bapak Soeharto yang baik, pertama-tama saya mau menanyakan kabar Bapak, karena selama ini saya tidak pernah lagi mendengar kabar tentang Bapak. Saya berharap dan selalu berdo’a semoga Bapak dalam keadaan sehat wal’afiat dan selalu dalam lindungan Allah Swt. Amin
Bapak ….
Begitu banyak peristiwa yang telah terjadi tahun ini di negeri tercinta kita. Peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya membawa Bapak ke sebuah keputusan yaitu berhenti sebagai Presiden. Pada saat itu hampir semua rakyat negeri ini menarik napas lega. Mungkin Bapak telah mendengar atau membaca tentang hal ini dan mungkin dipikirkan Bapak semua rakyat Indonesia berbahagia, Bapak salah kalau mempunyai pikiran seperti itu.
Tidak semua rakyat Indonesia seperti yang Bapak bayangkan. Pada saat itu saya pun menarik napas lega. Tapi, kelegaan saya, karena saya pikir sudah saatnya Bapak beristirahat dan menikmati hari-hari tanpa memikirkan rutinitas Bapak sebagai Presiden.
Tetapi sejujurnya, saya takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada negeri ini di masa yang akan datang selepas kepemimpinan Bapak. Apalagi saat ini akhirnya jelas terlihat orang-orang yang mempunyai ambisi pribadi untuk menduduki jabatan sebagai Presiden.
Saat ini saya benar-benar merasa kehilangan figur. Terus terang Bapak adalah figur bagi saya dan saya yakin juga figur dari sebagian rakyat Indonesia. Saya pikir orang-orang di sekitar Bapaklah yang telah menjatuhkan Bapak.
Hari-hari kami saat ini seperti dikejar-kejar oleh rasa ketakutan yang amat sangat terutama mereka yang keturunan Tionghoa. Saya merasakan apa yang mereka rasakan (kebetulan di tempat kos saya ada teman keturunan Tionghoa). Setiap langkah di saat dia berjalan keluar dari tempat kos, kami seakan-akan ia diikuti oleh orang-orang yang memukul dan membakar mereka. Sampai beberapa waktu yang lalu sebelum Bapak meletakkan jabatan sebagai Presiden, saya masih mempunyai tekad dan niat untuk bekerja dan tinggal di Jakara, karena memang dari kecil saya tidak bisa tinggal selain di kota ini.
Tapi saat ini niat itu hilang entah ke mana. Saat ini ada niat untuk kembali ke kampung halaman. Saya tidak tahu apa yang akan saya kerjakan di sana, ingin rasanya saya membangun Sekolah Taman Kanak-Kanak, sebuah toko buku dan mempunyai Stasiun Radio sendiri. Tapi saya sadar, tidak mampu untuk membangun semua itu, namun pada akhirnya saya tetap akan pulang untuk berkumpul dengan saudara-saudara saya dan menjaga mama saya.
Bapak Soeharto, Saya berasal dari sebuah kota kecil di sebelah tenggara Sulawesi, tepatnya Pulau Buton. Pulau Buton merupakan tempat yang sangat indah, kaya akan hasil lautnya, dan agung akan sejarah kesultanannya dahulu. Sebelum meninggalkan kota Jakarta, saya ingin bertemu Bapak walaupun hanya sesaat, karena saya tidak yakin akan kembali ke sini lagi. Dan satu lagi impian saya, saya ingin bisa Bapak mengunjungi Pulau tempat kelahiran saya tersebut. Mungkin saat ini Bapak sedang tersenyum membaca surat ini karena keinginan-keinginan saya ada-ada saja, maafkan saya Bapak. Semoga Allah Swt selalu bersama Bapak dan kita semua, amin.
Hormat saya,
Woode Hessy Tamim, SH
Jakarta Pusat
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 673-674. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.