KEJAHATAN DAN KEKERASAN PERLU PENANGANAN SUNGGUH-SUNGGUH

KEJAHATAN DAN KEKERASAN PERLU PENANGANAN SUNGGUH-SUNGGUH[1]

 

Jakarta, Kompas

PRESIDEN Soeharto menyatakan, kejahatan dengan kekerasan akhir akhir ini memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh dari alat-alat keamanan negara dan penegak hukum. Seruan Kepala Negara ini merupakan rangkaian dari pernyataannya mengenai semakin berkembangnya pelanggaran dan kejahatan ekonomi dengan cara­ cara makin canggih akhir-akhir ini.

Kepala Negara menyatakan hal ini ketika membuka Rapat Kerja Kejaksaan 1994 di Istana Negara, Jakarta, hari Sabtu (16/ 4). Presiden didampingi Jaksa Agung Singgih. Hadir sekitar 300 orang peserta. Raker berlangsung di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta 16-18 April 1994.

Menurut Presiden, pelanggaran dan kejahatan ekonomi yang sebagian besar berlangsung dalam bidang keuangan, perbankan dan perpajakan telah menimbulkan kerugian tidak kecil terhadap sumber dana pembangunan yang dihimpun dengan susah payah. Pelanggaran dan kejahatan ekonomi, kata Presiden, tidak saja menghambat pembangunan, tapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pembangunan itu sendiri. Maka itu, lanjut Presiden, pelanggaran dan kejahatan ekonomi harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari aparat kejaksaan.

Untuk itu, tegas Kepala Negara jajaran kejaksaan yangmempunyai tanggung jawab penuntunan terhadap pelanggaran dan kejahatan, perlu terus menerus meningkatkan kemampuan profesionalnya. “Kesiapan dan ketepatan pembuktian telah terjadinya tindak pidana, merupakan unsur penentu bagi hakim dalam mengambil kuputusan,” kata Presiden.

Ketahanan moral

Bersamaan dengan itu, seru Presiden pula jajaran kejaksaan juga perlu secara terus menerus meningkatkan ketahanan moral. Penegakan hukum, lanjutnya, tidak terlepas dari segi penegakan kode etik serta kemampuan profesional para penegak hukum. Kode etik memberikan pegangan rohaniah untuk menentukan pilihan antara yang benar dan yang salah.

Kemampuan profesional, tutur Presiden lebih lanjut, memberikan kemahiran menganalisis dan mengambil keputusan dan pelaksanaan tugas. “Pada saat peraturan perundangan kita masih belurn sempuma dan terdapat demikian banyak celah-celah yang dapat disalahgunakan, standar moral dan kemampuan profesional yang tinggi dari aparatur penegak hukum akan menentukan tegaknya hukum dalam masyarakat,” kata Kepala Negara. Kode etik dalam profesi manapun tidaklah berdiri sendiri. Kode etik merupakan bagian dari sistem norma sosial yang dianut suatu masyarakat, yang dijabarkan secara khusus untuk suatu bidang pengabdian. “Kode etik merupakan jembatan antara normal moral suatu masyarakat secara umum dengan penerapannya dalam lingkungan tertentu, “kata Presiden.

Maka itu, kata Kepala Negara, penegak hukum perlu dilakukan bersamaan dengan pembinaan norma moral dalam masyarakat. Pembinaan norma moral dalam masyarakat terutama berasal dari ajaran agama serta kepercayaan terhadap Tuban Yang Maha Esa, dari adat istiadat dan dari kebudayaan rakyat. “Dalam hubungan inilah, GBHN 1993 menegaskan bahwa kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memberikan landasan etik moral dan spiritual bagi pembangunan nasional kita,” kata Preiden.

Dalam pembangunan, kata Presiuen, pelanggaran dan kejahatan ekonomi tidak boleh dipandang sekedar sebagai tindak pidana.Pelanggaran dan kejahatan ekonomi yang menyangkut dana rakyat banyak adalah juga merupakan pelanggaran dan kejahatan terhadap moral. “Karena itu kesadaran dan rasa tanggungjawab etis terhadap amanat seluruh rakyat Indonesia, harus meresapi seluruh pelaku pembangunan dalam bidang ekonomi,” tegas Presiden.

Sementara Jaksa Agung Singgih dalam laporannya kepada Presiden, menyebutkan Raker ini dihadiri para Kepala Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia, pejabat kejaksaan yang dipekerjakan dan diperbantukan pada departemen dan instansi, pejabat perwakilan kejaksaan di luar negeri serta pejabat teras eselon I, II dan III Kejaksaan Agung.

Raker ini membahas masalah pembinaan aparatur dan manajemen, pelaksanaan operasi intelijen yustisial, penanganan perkara tindak pidana umum, masalah pelaksanaan operasi yustisi tindak pidana khusus, penanganan perkara perdata dan tata usaha negara serta masalah pengawasan dan tugas penegakan hukum dan tugas­ tugas khusus lainnya yang tersebar di berbagai undang-undang.

Soal GKG

Jaksa Agung Singgih SH juga menegaskan, soal apakah setelah Sudomo, Prof Sumarlin (mantan Menkeu, kini Ketua Badan Pemeriksa Keuangan) dan Nasrudin Sumintapura (mantan Menteri Muda Keuangan) akan diminta kehadirannya di Kejaksaan Agung untuk memberikan keterangan, tergantung dari kesaksian yang diberikan. Ia menambahkan, kalau perlu mereka akan diminta hadir untuk memberikan keterangan. “Pokoknya sampai cukuplah, “kata Singgih menjawab pertanyaan pers pada acara rehat rapat kerja Kejaksaan Agung di Kejakgung hari Sabtu (15/4) siang. Didesak dengan pertanyaan apakah Sumarlin juga akan ke Kejaksaan Agung untuk beri keterangan, Singgih mengatakan, “Pokoknya kalau diperlukan, kejaksaan akan minta kehadirannya untuk menjelaskan kesaksiannya,” katanya dan menambahkan, “Ini saksi, jangan lalu saksi itu diberitakan macam-macam”.

“Pak Sudomo ada kemungkinan jadi tersangka nggaak?” tanya wartawan. Dijawab Singgih,”Kalian ini bagaimana sih? Pokoknya sampai hari ini beliau-beliau itu masih sebagai saksi. Yang penting sekarang mereka memberi keterangan, dan keterangan itu dipergunakan sebagai keterangan saksi”.

Mengenai mengapa Sudomo mesti memberi kesaksian lagi padahal sebelumnya Sudomo sudah sempat memberi keterangan , Singgih mengatakan, masalahnya sudah jelas . Yang dilakukan Sudomo, ialah memberikan keterangan sebagai saksi. Keterangan itu bisa saja satu dua kali atau bahkan tiga kali. “Pokoknya kalau masih diperlukanya memberikan keterangan,” jelasnya. Singgih mengatakan, beberapa waktu lalu ia memang mengemukakan kepada pers bahwa keterangan Sudomo sudah cukup, sebab waktu itu memang cukup. Tetapi, sekarang kejaksaan memerlukan keterangan lagi dari Sudomo.

Ia menegaskan, baik Sudomo maupun Sumarlin sejak awal mengatakan bersedia memberikan keterangan, begitu pula dengan saksi lain. “Mereka kan ingin memberi kejelasan masalah ini,”kata Jaksa Agung.

Kesaksian Tertulis

Di ternpat lain Wakil Ketua Komisi III DPR Djufrie SH dan seorang ahli hukum perbankan yang tak mau diungkap jati dirinya, menjelaskan kesaksian tertulis yang diberikan oleh Sudomo sebagai saksi di dalam kasus Golden Key Group (GKG) tetap bisa dijadikan sebagai salah satu barang bukti. Secara hukum kedudukan kesaksian tertulis dari Sudomo, tetap kuat. Apalagi jika diberikan di bawah sumpah.

“Kesaksian memang baru sempurna jika diberikan langsung di muka pengadilan setelah disumpah dulu. Tapi meski sudah membuat kesaksian tertulis, bukan berarti Sudomo tak akan hadir langsung di pengadilan. Itu tergantung pada pengacara terdakwa, jaksa penuntut umum, maupun hakim yang bersangkutan. Jika mereka menilai membutuhkan kesaksian langsung, maka dengan persetujuan hakimnya, Sudomo tiap saat dengan seizin Presiden bisa dipanggil tampil langsung sebagai saksi,” jelas Djufrie SH.

Kedudukan kesaksian tertulis dari Sudomo, menurut Djufrie dan praktisi hukum perbankan itu, cukup kuat. Karena seandainya Sudomo baru diambil sumpahnya oleh Tim Kejaksaan pada Kamis malam (14/4), sementarajawaban kesaksian tertulisnya tentang 70 item pertanyaan pihak penyidik sudah diberikan jauh beberapa hari sebelumnya, tidak ada masalah. “Sepanjang sumpah menyusul itu dibuat di daiam berita acara yang merujuk pada isi pernyataan kesaksian yang sudah dibuat sebelumya, “ujar praktisi hukum perbankan itu. Kuat atau tidaknya kesaksian tertulis itu sebagai bahan bukti, menurut kedua ahli hukum ini, tergantung pada jenis perkara maupun pertimbangan hakim yang bersangkutan. Dalam perkara perdata, putusan yang diambil memang harus didasari bukti-bukti formil atau materiel. Sedang dalam perkara pidana,bukan hanya harus didasari bukti itu saja, tapi juga keyakinan hakim yang bersangkutan. “Dari situ jelas, hakim bisa saja tiap saat minta saksi hadir langsung,” kata Djufrie. Berbeda dengan kesaksian affidavit, yang diminta karena saksi yang dimaksud diperkirakan tidak bisa hadir dalam persidangan, maka kesaksian tertulis yang dibuat Sudomo bukanlah kesaksian affidav it. (osd/rie/as/dpy)

Sumber: KOMPAS ( 15/4/1994)

____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 571-575.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.