KELUARGA BERENCANA, PEJALANAN YANG SUKSES

KELUARGA BERENCANA, PEJALANAN YANG SUKSES

 

 

 

Jakarta, Kompas

DI DALAM era pembangunan Indonesia sejak Pelita I, salah satu program yang banyak mendapat pujian luar negeri adalah program keluarga berencana. Di dalam karangan Donald .P.Warwick, The Indonesian Family Planning Program: Government Influence and Client Choice (1986), dia membuka karangannya dengan memuji program keluarga berencana Indonesia yang menurut dia merupakan contoh program yang berhasil untuk sebuah negara yang sedang berkembang.

Pujian tersebut beralasan karena apabila dibandingkan dengan berbagai negara di Asia dan Afrika kemajuan yang dicapai oleh program keluarga berencana di Indonesia memang sangat menggembirakan. Sekarang pujian itu terjelma dalam bentuk penghargaan PBB kepada Presiden Soeharto.

Walaupun program KB sudah relative lama dicanangkan di Pakistan dan Banglades, dan sterilisasi ju ga dimasukkan ke dalam program di sana, namun cakupannya ja uh di baw ah Indonesia. Di Afrika masih ada negara, seperti Nigeria, di mana istilah keluarga berencana masih sensitif pemerintah cuma berani mencanangkan program kesehatan tetapi tidak berani menyebut program KB. Program keluarga berenca na memang bisa sensitif sekali dan, seperti diketahui, pemerintah Indira Gandhi dahulu jatuh karena kecerobohan dalam program keluarga berencana.

Salah satu yang mengagumkan para ahli kependudukan ialah bagaimana cepatnya program tersebut memasyarakat di Indonesia. Saya ingat dalam salah satu pertemuan di Kairo, dua orang ahli, Dr. Henry Mosley dan Dr. Belgin Tekce mengajukan pertanyaan, “Faktor-faktor apakah yang membuat program keluarga berencana di Indonesia begitu cepat sampai ke desa-desa?” Saya balik bertanya, “Apakah di Mesir tidak seperti itu?” “Tidak”,jawab mereka. Program pemerintah pusat tidak mudah masuk desa kepala desa belum tentu melakukannya.

Mereka berpendapat bahwa, dalam hal cepatnya suatu program masyarakat , Indonesia merupakan kekecualian untuk negara-negara sedang berkembang, di luar negara-negara sosialis. Dan itu tidak terbatas pada program keluarga berencana saja tetapi juga program pembangunan lainnya, seperti intensiflkasi pertanian, PKK, Posyandu, dll.

Kemudian pembicaraan melantur kepada organisasi sosial desa di Indonesia yang, untunglah, tidak rusak oleh penjajahan. Di Indonesia struktur sosial yang tradisional masih tetap bertahan dan itu dimanfaatkan oleh birokrasi modem untuk upaya-upaya pembangunan. Tidak mustahil, kecuali berterima kasih kepada teknokrat-teknokrat Widjojo Nitisastro dan lain-lain, kita juga perlu berterimakasih kepada pendekar-pendekar hukum adat, seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, Soepomo, Djojodigoeno dll, yang mempunyai andil dalam melestarikan hukum adat dan lembaga-lembaga sosial tersebut.

BKKBN memanfaatkan infrastruktur sosial tersebut dengan baik dalam upaya mensukseskan program keluarga berencana. Salah satu pendekatan yang penting untuk memasyarakatkan keluarga berencana adalah pembentukan Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPBKD) dan Sub-PPKBD.

Kalau pada tahun 1974/1975 tercatat 11.937 PPKBD dan 2.200 paguyuban KB maka pada tahun 1983/1984 telah berkembang menjadi 54.100 PPBKD dan kurang lebih 123.000 paguyuban KB. Pada akhir Pelita III sebanyak kira-kira 70 persen dari seluruh alat kontrasepsi pil dan kondom disalurkan melalui PPKBD dan Sub-PPKBD tersebut John Ross dan kawan-kawan (Family Planning and Child Survival : 100 Developing Countries, New York, 1988) sangat memuji Indonesia dalam hal ini.

Menurut mereka Indonesia adalah sebuah negara yang paling maju dalam pendekatan rnemasyarakatkan kontrasepsi, lebih maju daripada Sri Lanka, Thailand, Korea Selatan dan Taiwan. Melalui pendekatan tersebut cakupan kontrasepsi terus meningkat. Di mana perlu diadakanlah tekanan-tekanan social  dan  administratif untuk meningkatkan cakupan hal ini disinggung oleh Donald Warwick dalam karangannya yang disebutkan di atas.

Stabilitas politik, kemajuan sosial ekonomi yang mantap sejak Pelita I, prioritas KB yang tinggi dalam program pembangunan, kemajuan pendidikan, naiknya usia kawin, bertambahnya proporsi wanita yang bekerja, naiknya ongkos mengasuh anak, meningkatnya aspirasi, komunikasi dan transportasi yang maju dengan pesat, semuanya itu menunjang praktek keluarga berencana dan mempengaruhi motivasi berkeluarga kecil. Prioritas yang tinggi dari program keluarga berencana  dalam kenyataan bahwa keluarga berencana termasuk ke dalam salah satu kunci sukses dalam pembangunan,y ang sekarang berjumlah delapan.

Cakupan kontrasepsi yang tinggi di Bali dan penerimaan IUD yang tinggi pula menjadi bukti yang penting bahwa masyarakat yang teguh memegang adat istiadat, agama dan kebiasaannya dapat pula menjadi pelopor dalam penerimaan teknologi kontrasepsi modem. Bukan metropolitan Jakarta yang memberikan contoh dalam perkembangan keluarga berencana.

 

Teladan

Demikianlah Bali, Yogyakarta dan Sulawesi Utara menjadi teladan eli samping cakupan yang tinggi, proporsi akseptor kontrasepsi yang efektif seperti IUD juga tinggi. Dalam perkembangannya propinsi yang tadinya lamban seperti Jawa Barat menjadi lebih gesit dan propinsi yang tergolong sukar ditembus seperti Aceh lalu mempunyai cakupan kontrasepsi yang cukup tinggi (lonjakan-lonjakan akseptor lihat Tabell). Daerah-daerah yang tadinya dikenal sukar atau alot menjadi kendor, berkat upaya­upaya program.

Angka kelahiran menurun .Kalau angka fertilitas total Gumlah anak lahir hidup bagi seorang wanita selama masa reproduksinya) sebesar 5,6 menjelang tahun 1970maka pada tahun 1985 angka tersebut sudah menurun menjadi 3,7, yakni penurunan sebesar kira-kira 34 persen. Ini adalah penurunan yang membesarkan hati dan jelas bahwa program keluarga berencana mempunyai jasa yang besar dalam penurunan ini. Jelas pula bahwa pada gilirannya penurunan angka kelahiran ini turut menunjang usaha­usaha pembangunan yang sedang berjalan.

Dapat diharapkan bahwa angka kelahiran tersebut terus menurun dan ini je las tersirat dalam hasil-hasil SPI yang dilakukan pada akhir tahun 1987. Sebanyak 43 persen dari ibu-ibu yang telah mempunyai dua anak tidak menginginkan tambahan anak lagi. Ide caturwarga atau “cukup dua anak, laki-laki dan perempuan sama saja”, pelan­ pelan mengakar. Jelas bahwa persoalan internalisasi norma-norma keluarga kecil perlu terus mendapat perhatian dan ini erat pula berkaitan dengan kemajuan-kemajuan sosial ekonomi pada umumnya.

Namun demikian, perlu ditekankan bahwa adopsi teknologi kontrasepsi bukanlah sesuatu yang sederhana dan ini berlaku juga bagi negara-negara yang sudah maju. Salah satu problem di Indonesia adalah bahwa penerimaan kontrasepsi yang efektif (IUD, implant dan sterilisasi) tidaklah tinggi di kebanyakan propinsi. Di 15 propinsi akseptor pil adalah dominan; lebih separuh dari seluruh akseptor adalah akseptor pil. Ini merupakan tantangan yang berat bagi program.

Tiap program, walaupun sukses, niscayamempunyai berbagai persoalan. Sebagai penutup karangan ini, ingin kami menekankan persoalan mutu layanan, termasuk mutu informasi. Mutu layanan perlu ditingkatkan. Kontrasepsi tidak ada yang sempuma dan masing-masing mempunyai  kelemahan. Walaupun misalnya orang sudah mantap mempunyai dua anak tetapi sering tidak mudah menyetopnya karena masalah pilihan atau kegagalan kontrasepsi.

Juga terjadi bahwa ibu-ibu sudah cocok dengan jenis kontrasepsi tertentu tetapi kontrasepsi tersebut tidak tersedia lagi di Puskesmas sehingga menimbulkan masalah bagi banyak akseptor. Untuk kontrasepsi suntikan umpamanya, Depo-provera harus diganti dengan Noristerat, yang bisa menimbulkan gangguan hormonal.

Kecuali jangkauan perlu diperluas, drop out merupakan masalah yang pelik. Menurut laporan BKKBN, jumlah drop out selama setahun, dari April 1986 s/d Maret 1987 lebih dari tiga juta akseptor, atau tepatnya 3.284.499 (lihat BKKBN, Trend Drop-out Peserta Keluarga Berencana Selama Tahun 1986/87). Peningkatan mutu layanan dalam arti yang luas amat diperlukan untuk perluasan jangkauan, untuk pengurangan jumlah drop-out dan untuk menyajikan pilihan baru bagi yang drop-out.

Dapat ditambahkan bahwa apabila ada unsur tekanan dari program maka jumlah yang drop out juga relatif besar.

Dengan perbaikan mutu informasi dan mutu layanan dan meningkatnya kemandirian, praktek keluarga berencana akan mengantarkan kita kepada masyarakat yang mempunyai keluarga kecil dan sejahtera.**

-Masri Singarimbun, peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan, UGM.

Tabel 1: Persentase Jumlah Peserta KB Aktif di Seluruh Indonesia, Desember 1981 dan Februari 1989.

 

Des. 1981

 

Feb.1989

 

Jawa dan Bali

 

 

27,9

 

 

66,6

01.     DKIJakarta
02.     JawaBarat 33,0 75,4
03.     JawaTengah 56,2 70,0
04.     D.I. Yogyakarta 63,1 74,7
05.     JawaTimur 64,3 68.9
06.     Bali 57,8 78,6
 

Luar Jawa Bali I

07.     D.I Aceh 15,4 68,5
08.     Sumatera Utara 21,4 65,9
09.     Sumatera Barat 22,8 55,7
10.     Sumatera Selatan 15,0 69,2

 

 

11.     Lampung 24,2 63,9

65,5

68,7

69,1

58,7

60,8

 

 

 

 

76,0

72,8

72,0

63,7

62,1

53,1

45,0

43,1

55,6

25,7

17.1

 

 

12.     Kalimantan Barat 18,0
13.     Kalimantan Selatan 27,9
14.     Sulawesi Utara 28,6
15.     Sulawesi Selatan 30,9
16.     NTB 29,6
 

Luar Jawa Bali II

17.     Riau 8,0
18.     Jambi 14,0
19.     Bengkulu 28,0
20.      Kalimantan Tengah 7,6
21.      Kalimantan Tnnur 13,5
22.      Sulawesi Tengah 8,2
23.      Sulawesi Tenggara 5,4
24.     NTT 5,4
25.     Maluku 4,6
26.     IrianJaya 4,6
27.     TnnorTnnur 1,8
Total nasional 39,3 68,2

 

 

Sumber : BKKBN, Rekapitulasi Kegiatan Klinik KB secara Nasional. Keterangan: Program KB dimulai tahun 1969 di Jawa dan Bali, 1974 di Luar Jawa Bali 1, 1979 di Luar Jawa Bali II. (SA)

 

 

Sumber: KOMPAS (05/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 833-837.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.