Ali Alatas: Pak Harto Menekankan Kemantapan Dalam Keseimbangan (Bagian 3, Habis)

Kemantapan Dalam Keseimbangan (Bagian Ketiga)[1]

Ali Alatas[2]

Ada satu kejadian lain yang saya kira menarik untuk diungkapkan pula, karena khas mencirikan suatu segi kepribadian Pak Harto.

Pada bulan September tahun 1989, Pak Harto menghadiri KTT Gerakan Non-Blok ke-9 di Beograd, Yugoslavia. Ini merupakan yang pertama kalinya lagi beliau menghadiri suatu KTT Non-Blok sejak terakhir hadir pada KTT ke-3 di Lusaka, Zambia, pada tahun 1970. Dalam kurun waktu antara kedua KTT tersebut, Indonesia selalu diwakili oleh Wakil Presiden, bahkan sekali oleh almarhum Menteri Luar Negeri Adam Malik sebagai Utusan Khusus. Walaupun pada beberapa kesempatan diselenggarakannya KTT itu memang ada alasan yang kuat mengapa Presiden tidak bisa hadir misalnya, bertepatan waktu dengan diadakannya pemilihan umum atau sidang MPR), banyak pengamat di dalam maupun di luar negeri berprasangka bahwa ketidakhadiran beliau itu disebabkan karena kurang berminat akan forum Non-Blok tersebut. Baru pada waktu KTT Beograd saya mendapatkan penjelasan tentang alasan dan pertimbangan-pertimbangan beliau sebenarnya, langsung dari Pak Harto sendiri.

Diceritakan oleh beliau, bahwa pada tahun 1970 itu beliau dengan penuh gairah datang ke Lusaka untuk berpartisipasi secara aktif pada KTT tersebut, karena menaruh perhatian besar dan menilai penting Gerakan Non-Blok, serta prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan yang diperjuangkannya. Tetapi di Lusaka, beliau menyaksikan dan menyimak suasana persidangan yang masih sangat diwarnai oleh retorika yang muluk-muluk dan perselisihan diantara anggota-anggotanya sendiri. Dalam pada itu, banyak pula wakil-wakil negara sahabat, yang karena tidak begitu mengerti hakikat perkembangan yang baru saja terjadi di Indonesia, mengajukan berbagai pertanyaan kepada beliau, antara lain: Apakah Indonesia telah berubah haluan ataukah masih tetap Non-Blok? Kalau demikian, mengapa PKI dibubarkan dan apakah Indonesia sekarang tidak menjalin hubungan yang terlalu dekat dengan Barat?. Meskipun terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu diberi penjelasan-penjelasan yang sebenarnya, bahwa pembubaran PKI adalah soal dalam negeri RI yang tidak mempengaruhi politik luar negeri yang Non-Blok ke luar, bahwa dari Barat Indonesia memerlukan bantuan untuk membangun kembali ekonominya yang hancur, tetapi bantuan tersebut tetap di jaga tidak disertai ikatan-ikatan politik, dan lain-lain, namun masih terdapat salah-pengertian dan salah-tafsir diantara beberapa kalangan sahabat kita pada waktu itu.

Maka, seperti diceritakan oleh Pak Harto, beliau sampai kepada kesimpulan bahwa tidak banyak gunanya mencoba meyakinkan teman-teman kita itu dengan kata-kata belaka. Yang perlu kita lakukan dan tunjukkan dengan perbuatan nyata ialah bahwa pertama-­tama kita perlu membenahi rumah tangga kita sendiri dulu, memulihkan kestabilan politik dan memajukan kehidupan ekonomi, singkatnya meningkatkan ketahanan nasional. Kalau ini tercapai, kita, dan sesungguhnya semua negara Non-Blok pada umumnya, akan memiliki bobot yang nyata untuk dapat menyumbang secara kongkrit pada cita-cita Non-Blok, baru suara kita akan didengar oleh negara-negara maju. Maka itulah tekad yang beliau laksanakan. Dalam pada itu, Indonesia akan tetap aktif dan konsisten berupaya dalam kerangka Non-Blok menangani berbagai masalah yang menjadi kepentingan Dunia Ketiga, seperti perjuangan menghapuskan sisa-sisa kolonialisme, menegakkan keadilan dan persamaan dalam hubungan antar-negara, khususnya dalam hubungan Utara-Selatan, dalam masalah Palestina, Afrika Selatan, dan lain-lain. Karena, kita memang tidak pernah dan tidak akan berubah haluan sebagai negara yang “dilahirkan” Non-Blok, dengan politik luar negerinya yang bebas aktif.

Pada saat diselenggarakannya KTT Non-Blok di Yugaslavia tahun 1989, konstelasi politik dan ekonomi dunia tengah mengalami perubahan drastis. Begitu pula telah terjadi perubahan-perubahan nyata dalam alam pikiran kebanyakan negara Non Blok. Tapi yang lebih penting: Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan-kemajuan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun, baik dalam mengelola pembangunan sosial-ekonominya maupun dalam memantapkan kestabilan politik dan  ideologi nasionalnya. Lebih dari itu, kesemuanya dicapai tanpa sedikitpun mengorbankan prinsip-prinsip politik Non-Bloknya. Maka tercatatlah bahwa selama sidang KTT Non Blok di Beograd itu, sejumlah rekan kepala negara/kepala pemerintahan negara-negara sahabat yang datang berkunjung dan bertukar pikiran di ruang tamu Pak Harto tidak lagi menanyakan: “Where is Indonesia going to, what are you doing?“, tapi pertanyaan tersirat yang sekarang tertangkap lebih bernada: ”How did you do it?“.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada KTT Beograd tersebut pendirian dan pandangan Pak Harto serta stature Indonesia di kalangan Gerakan Non-Blok sesungguhnya telah memperoleh vindikasi sepenuhnya. Sekaligus hal ini mengungkapkan suatu ciri khas kepribadian Pak Harto, yang tanpa banyak bicara bertekad sesuatu, kemudian secara konsisten melaksanakan tekad tersebut dan dengan sabar dan berketetapan hati akhirnya menyaksikan pembenaran dari sikap beliau itu.

Setelah beberapa tahun lamanya seolah-olah “menyepi”, yaitu setelah memusatkan prioritas perhatian dan upaya pada penataan kembali seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara berdasarkan pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945 menyusul tragedi nasional G-30-S/PKI, Republik Indonesia, dibawah pimpinan Presiden Soeharto, kini telah tampil ke muka di pentas dunia dengan suatu kemantapan dan kepercayaan pada diri sendiri yang telah menarik perhatian dunia. Seperti yang ditulis oleh seorang pengamat luar negeri baru-baru ini: “Indonesia’s days of maintaining a low profile are over. The ‘sleeping giant’ is stirring, stretching and·stepping back into the limelight to take her rightful place on the world stage.”

Memang, Indonesia sekarang bukanlah Indonesia 25 atau 30 tahun yang lalu. Indonesia sekarang adalah suatu bangsa.yang telah bangkit kembali dari keporak-porandaan kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya masa lalu. Indonesia sekarang adalah bangsa yang telah berhasil mencapai suatu derajat kemajuan, dan kestabilan di semua bidang tersebut, sehingga kini siap memasuki tahap tinggal landas dalam pembangunan nasionalnya, siap memulai era Kebangkitan Nasional keduanya.

Kemantapan dalam keseimbangan, itulah jati diri Republik Indonesia yang kiranya hendak kita proyeksikan ke tengah-tengah pergaulan masyarakat dunia di ambang pintu abad ke-21 ini, seperti yang juga tercermin dalam sifat-sifat arsitek utamanya. (Habis)

***


[1] Ali Alatas, “Kemantapan Dalam Keseimbangan”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 48-58.

[2] Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Pembangunan V.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.