KITA TIDAK BOLEH BIARKAN TERJADINYA KERUSAKAN ALAM[1]
Jakarta, Suara Pembaruan
Presiden Soeharto mengemukakan, kita semua menyadari bahwa manusia adalah sama dan kemanusiaan adalah satu. Sebagai satu kesatuan, kita harus berbagi minat dan kepentingan dalam menghuni bumi kita yang satu ini. Merupakan kewajiban kita untuk berusaha memelihara keseimbangan dan keserasian alam sebagai lingkungan yang menghidupi kita. Terganggunya keseimbangan dan keserasian alam haruslah menjadi keprihatinan kita bersama.
Hal itu dikemukakan Kepala Negara pada peresmian pembukaan Simposium Antar Bangsa tentang Pembangunan, Kebudayaan dan Lingkungan di Istana Bogor Kamis pagi.
Menurut Presiden, kita juga tidak boleh membiarkan terjadinya kerusakan alam, karena kita mempunyai tanggung jawab untuk mewariskan lingkungan hidup yang sebaik-baiknya bagi anak cucu, generasi umat manusia yang akan datang. Presiden mengungkapkan, sesungguhnya usaha untuk melestarikan alam sebagai lingkungan hidup telah sejak dulu dilakukan umat manusia sebagaimana kita temukan melalui rekaman sejarah bangsa-bangsa. “Keakraban manusia dengan alam sekitarnya sering kali ditampilkan melalui berbagai pengejawantahan budaya. Banyak legenda, peribahasa dan berbagai ungkapan kearifan tradisional yang mengungkapkan hal itu, ” kata Presiden.
Menyinggung pentingnya makna kebudayaan dalam kehidupan manusia dan masyarakat, Kepala Negara mengatakan, kiranya tidak ada yang menyangsikannya. Kebudayaan adalah sumber nilai-nilai yang mengukuhkan penghayatan jati diri suatu masyarakat atau bangsa. Tanpa mengacu pada sumber budayanya suatu masyarakat atau bangsa niscaya mudah tergoncang oleh perubahan nilai yang tetjadi dari waktu kewaktu.
“Kita memang perlu memajukan mutu kehidupan serta taraf kesejahteraan manusia dan masyarakat. Namun, kemajuan tadi hanya mungkin diraih melalui berbagai usaha pembangunan dan PEMBARUAN . Sekalipun demikian, kita harus tetap berpijak pada bumi dan budaya sendiri. Janganlah kemajuan itu ibarat layang-layang yang putus talinya dan melayang tinggi tanpa arah tujuan,” ujar Kepala Negara.
Ciri Khas
Menurut Presiden, Indonesia menyambut baik kesempatan Sidang Umum PBB untuk menyatakan berlakunya Dasawarsa Kebudayaan meliputi periode 1988-1997.
Sejalan dengan itu, pada tanggal 28 Oktober 1988 yang lalu saya telah mencanangkan berlakunya Dasawarsa Kebudayaan di Indonesia. Saya tunjuk Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua Panitia Nasional Dasawarsa Kebudayaan, demikian Kepala Negara.
Pada bagian lain sambutannya, Presiden mengakui, tidak ada yang bisa mengingkari kenyataan bahwa ciri khas kehidupan masyarakat manusia adalah penjelmaannya yang berbudaya. Setiap masyarakat sebagai kebersamaan turun temurun niscaya memiliki ciri khasnya yang tampil melalui budayanya masing-masing.
Karena itu, demikian Kepala Negara, meskipun kemanusiaan adalah satu namun dalam kenyataannya manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa- bangsa, masing-masing dengan budaya yang khas. “Kebhinekaan budaya sedemikian itu hendaknya mendorong kita untuk saling mengenali dan saling memahami tata nilai menjadi acuan perilaku, bahkan perikehidupan kita masing- masing.”
Kesalahan
Presiden mengatakan, dengan saling perkenalan dan saling pemahaman maka terhindarlah kita dari kesalahan untuk menilai perilaku orang lain dari cara pandang kita sendiri. Kebhinnekaan budaya tidak menyanggah satunya kemanusiaan. Sebaliknya, satunya kemanusiaan tidak berarti sirnanya kebhinnekaan. ”Di Indonesia kami junjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika Kami tidak mengingkari keanekaan budaya yang hidup di nusantara Indonesia dan sekaligus kami menegaskan eksistensi kita sebagai bangsa yang satu dan bersatu,” kata Presiden.
Pada awal sambutannya, Kepala Negara mengakui, dewasa ini kita hidup dalam zaman yang ditandai perubahan yang sangat dinamis. Perubahan-perubahan tadi sering kali sangat mendasar, sehingga mengakibatkan pergeseran nilai-nilai budaya yang membawa pengaruh pada nilai-nilai kehidupan. Karena itu, bersamaan dengan terjadinya berbagai kemajuan dalam memperbaiki mutu kehidupan serta taraf kesejahteraan manusia dan masyarakat, kita menyaksikan pula segala penderitaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan.
“Dewasa ini ketegangan dan pertentangan antara negara-negara adi daya memang telah berakhir. Namun jutaan manusia juga masih hidup dalam cengkeraman kecemasan bahkan keputusasaan, karena kehilangan masa depan,” kata Presiden Soeharto. (A-7)
Sumber: SUARA PEMBARUAN (21/05/1992)
____________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 372-375.