“KLIK, KLIK, KLIK” UNTUK 17 AGUSTUS 1989

“KLIK, KLIK, KLIK” UNTUK 17 AGUSTUS 1989

 

 

Jakarta, Kompas

KATA pribahasa klasik, satu gambar mampu melukiskan 1.000 kata. Jadi kalau 350 foto berwarna, bagus-bagus lagi, pasti mampu melukiskan macam-macam peristiwa. Rupanya ini mengganggu beberapa orang Indonesia, termasuk Joop Ave dan Rio Helmi. “Terus terang, dari berapa buku yang penuh foto tentang Indonesia, apakah ada yang ideal dan mampu melukiskan Indonesia itu sebenarnya kayak apa?” kata Rio.

Memang banyak buku esei fotografi Indonesia, bikinan pemotret dan penulis kenamaan dunia. Hasilnya menggembirakan, tapi tak lepas dari sudut pandang dan benak pembuatnya. “Apakah Indonesia harus selalu berupa gambar indah pulau atau gunung dengan matahari tenggelamnya. Apa rakyat Indonesia cuma hadir dalam busana tradisional yang unik? Apa Indonesia yang bagus cuma Bali, Toraja, Kalimantan, Batak atau Asmat saja?”

Sejauh ini belum ada buku bergambar yang utuh, melukiskan Republik Indonesia. “Justru tahun depan, hari Proklamasi kita mencapai usia 45 tahun, umur berangka magis buat rakyat kita. Di saat itulah kami mau mempersembahkan karya gemilang buat dunia internasional, suatu buku indah berbentuk coffee table book dengan judul sementara Indonesia, A Voyage Throught The Archipelago,” kata Jop Ave, Ditjen Pariwisata Deparpostel, konsultan proyek ini dan anggota tim penyunting foto.

ANGAN -angan ini menjadi kenyataan, setelah setahunan membentuk panitia gabungan proyek ini, Rio Helmi bersama Joop Ave dan rekan lainnya berhubungan dengan gabungan penerbit Millet Weldon Owen penerbit buku berpen galaman kelas dunia. Didier Millet asal Perancis yang sejak tahun 1971 menerbitkan buku, kemudian sejak tahun 1984 Millet lebih memusatkan buku bergambar Asia, antara lain Thailand, Seven Days in the Kingdom, Indonesia from the A irt Taj Mahal, Bali , the Ultimate Island dan the Crafts of Indonesia. Sedangkan Kevin Weldon asal Australia, juga penerbit pengalaman yang mengkhususkan pada terbitan profil negara dengan sajian semarak, padat dan indah, misalnya A Day in the Life of Australia dan Sqlute to Singapore.

Direncanakan buku Archipelago itu berukuran 35,5 cm x 25,4 cm, cetak berwarna di kertas mewah, sejumlah, 288 halaman, berisi teks sekitar 25.000 kata dengan 350 foto pilihan yang terbaik, akan dicetak 54.000 buku dan siap edar sebelum 17 Agustus 1990, dalam edisi bahasa lnggris, Perancis, Jerman, Italia, Jepang dan Indonesia.”Di sini justru tantangan pertamanya siapa dan dari mana saja juru foto itu?” kata Rio yang mengepalai juru foto dan redaktur foto peliputan. Dari kontak langsung dan bantuan informasi rekannya, panitia kecil ini menghubungi sekitar 55 juru foto kenamaan dunia.

Rupanya nama Indonesia, memang lain. Hanya sejumlah kecil juru foto itu menolak, itu pun karena sudah ada kontrak atau sedang menyelesaikan pekerjaannya. Bagi beberapa juru foto tertentu, Indonesia memang laban langganan sasaran kamera mereka. “Juru foto Indonesia juga kami pilih. Akhirnya kami membatasi 45 juru foto, termasuk dari Indonesia. Jadi sekarang ada 19 bangsa, sedang memotret di segala pelosok Indonesia, mulai Senin lalu sampai Minggu nanti,” kata Rio.

Ke-35 juru foto asing yang dilibatkan panitia, memang bobot karyanya berat­berat. Mereka selain berkarya membuat buku masing-masing, juga fotonya itu langganan pemuatan majalah kenamaan, misalnya National Geographic, Time, Life. Geo serta lainnya. Ke-45 juru foto pilihan panitia, dianggap memenuhi standar. “Tiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda, tergantung dari persepsi dan daya tangkap pemotret bersangkutan. Mereka itu seniman, bukan tukang potret,” kata Rio yang seniman foto juga.

TIAP juru foto mendapat tugas di daerah tertentu, berikut bekal informasi apa­siapa masyarakat di lokasi bersangkutan. Tiket, pemandu, biaya hidup, surat tugas sakti sampai jadwal operasional, juga disediakan rapi. “Pokoknya mereka harus merekam dan menangkap momen yang ada di lapangan,” kata Rio yang terus terang juga bingung, kalau dalam satu minggu harus menghabiskan sekitar 70 rol film. “Satu hari 10 rol dan gampang. Jadi nanti tersedia stok sekitar 110.000 frame, kami pilih sekitar 350 yang terbaik, itu dia bahan utama buku ini.”

Jadi, di beberapa tempat di Indonesia, kini berkeliaran 45 juru foto profesional. Mereka ditugaskan mencari foto sebagai kerangka utama pengisian buku populer Indonesia, isinya harus sanggup menerangkan sejarah negara Rl, kekayaan warisan kebudayaan, alam geografi Indonesia, tentunya gejolak dan kemajuan apa saja yang terjadi di Indonesia, selama 45 tahun di alam kemerdekaan ini.

Berbekal tas besar berisi segala peralatan pemotretan, seniman foto ini mencari sasaran. Hasil bidikannya akan menjadi bukti kebesaran nama mereka. Cetakan gambarnya, harus berbentuk rekaman tentang denyut hidup dan sarana kehidupan orang Indonesia. Di sini bahasa universal fotografi akan berbicara banyak. Sebagai senirnan profesional, mereka harus menyusun dan memanfaatkan segala gejala alam dan pertanda kehidupan, pada lembaran segi empat yang namanya gambar foto.

Dari istana kepresidenan sampai rumah tradisional ,jembatan bambu hingga jembatan layang, Presiden Soeharto maupun Pak Kromo yang jelata, pramuka cilik atau jenderal ABRI, masyarakat di Aceh sampai di pelosok Irian Jaya, si cantik dan di buruk rupa, orang kaya dan pemulung miskin, serta 1001 macam corak dan aneka rupa masyarakat Indonesia dan kehidupannya. Semua ini diusahakan dalam 350-an foto, lalu diperkuat ulasan singkat. “Kami optirnis,” ujar Rio.

HAMBATAN pasti ada. Di hari pertama saja, beberapa juru foto ini terbentur soal perizinan. Padahal Rio dibantu Arnna Kusutno yang menggerakkan motor pelaksanaan, sudah berancang-ancang kerja cukup lama. “Ini persoalan manusiawi, ini justru tantangan yang menarik bagi juru foto internasional itu,” kata Amna yang menganggap kerja proyek ini gila-gilaan. “Mengatur 45 orang ke lapangan, enaknya satu orang tiap hari, artinya 45 hari. Tapi yang karni kerjakan, dalam 4-5 hari harus mengurus sekaligus 45 orang. Soal biaya memang tak besar hambatannya, karena proyek ini didukung 20-an penyandang dana dari perusahaan besar-besar.”

Optirnis, ini terkilas dari pernyataan beberapa panitia inti lainnya. “Kami memang melibatkan orang-orang profesional untuk penyusunan buku ini,” kata Rio seraya menyebut nama-nama John Owen sebagai konsultan di samping Joop Ave. Juga Leonard Lueras sebagai creative director. “Kalau soal juru foto, saya yakin akan bagus-bagus, karena kami melibatkan orang temama di dunia fotografi dan foto jurnalistik, baik perorangan maupun dari kelompok seperti Magnum Photo Agency. Umumnya mereka ini pemenang berbagai penghargaan dunia, termasuk World Press Photo of the Year, 1982”.

Pekan iniadalah hari kerja keras. Juru foto ini lebih banyak klik, klik, klik dari pada wawancara berkepanjangan. Mereka mau membuktikan, satu gambar mampu melukiskan lebih dari 1000 kata, atau lebih?.

 

 

Sumber : KOMPAS (31/08/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 301-303.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.