KOMENTAR KALANGAN DPR: PERINGATAN PRESIDEN AGAR DIPERHATIKAN SERIUS[1]
Jakarta, Suara Pembaruan
Kalangan DPR menilai peringatan Presiden Soeharto kepada pejabat dan aparatur negara tentang takhta, harta dan wanita adalah sangat tepat, karena sebelumnya Kepala Negara telah mengadakan pengamatan yang cermat terhadap hal itu.
Peringatan demikian selayaknya mendapat perhatian serius dari elite politik di Tanah Air terutama memasuki Pelita VI dan pembangunan Jangka Panjang Tahap II menuju lepas landas. Sehingga tidak menimbulkan kebocoran-kebocoran dana pembangunan karena dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan akan takhta, harta maupun godaan wanita.
Mari dari peringatan adalah menegakkan aparat negara yang bersih dan berwibawa sehingga menjadi teladan bagi masyarakat. Kepala Negara menyampaikan hal itu ketika menerima Gubernur Irian Jaya, Jacob Pattipi belum lama ini.
Demikian komentar beberapa anggota DPR-Rl masing-masing; Abu Hartono (Ketua F-ABRl), H. Abdullah Zaini, SH (Wakil Ketua F-FK) dan Sabam Sirait (F-PDI), yang dihubungi Pembaruan, hari Jumat (23/4) di Gedung DPR Senayan Jakarta.
Menurut Abu Hartono peringatan Kepala Negara secara implisit merupakan penjabaran dari Krida Dua Kabinet Pembangunan VI yang menekankan kepada masalah disiplin terhadap aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Peringatan tersebut sejalan dengan yang disampaikan kepada Menpan TB Silalahi mengenai sosialisasi Keppres No.10 Tahun 1974 tentang petunjuk-petunjuk bagi pegawai negeri sipil, pejabat dan semua aparatur negara agar mengurangi pelaksanaan pesta pesta mewah.
Diakui bahwa hal tersebut agak berat untuk dikurangi secara drastis. Namun ia berkeyakinan pemerintah akan menerapkan secara bertahap.
Solidaritas Sosial
Mengenai masalah harta, kata Abu Hartono, tujuan Keppres maupun peringatan adalah, jangan pejabat maupun aparatur negara menunjukkan kemewahan yang berlebih-lebihan. Karena masih ada saudara-saudara kita hidup dibawah garis kemiskinan, sebanyak 27 juta. Jangan sampai melahirkan kecemburuan sosial yang memecah belah persatuan dan kesatuan yang menjadi modal dasar eksistensi bangsa Indonesia.
Petunjuk yang disampaikan Presiden kepada Menteri, katanya, bukan hanya ditujukan kepada aparatur negara tetapi konglomerat maupun pengusaha supaya ikut membantu menumbuhkan solidaritas sosial. Para konglomerat harus menyadari masih ada 27 juta berada di bawah garis kemiskinan.
“Jadi kita sangat mengharapkan kepada para konglomerat, pengusaha atau yang memang bukan aparatur negara ikut membantu menumbuhkan sikap solidaritas sosial. Asas kebersamaan dan kekeluargaan yang menjadi citra manusia Indonesia yang beijiwa Pancasila benar-benar dilaksanakan secara wajar,” ujarnya.
Ditandaskannya, Kepala Negara dengan lugas dan penuh bijak menyampaikan peringatan kepada para pejabat dan aparatur terhadap takhta, harta dan wanita (3 ta Red) karena sudah mengamati selama ini sering terjadi demikian.
Diingatkan agar para pejabat dan aparatur negara, kalau sudah memperoleh kedudukan, jangan menggunakannya untuk mengumpulkan harta. Maksudnya, aparatur negara harus mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara. Semakin banyak kita diberikan tanggung jawab, berarti dituntut semakin tinggi pengorbanan dan pengabdian kepada rakyat kecil sesuai amanat GBHN 1993.
“Pejabat dituntut mencurahkan segala perhatian bagi kepentingan bangsa dan negara. Untuk itu negara sudah menyiapkan fasilitas yang memadai sehingga tidak perlu bahkan jangan menerima tawaran maupun ganjaran dari siapapun,” ujarnya.
Ia mengingatkan pula, kalau memperoleh takhta dan harta tidak berarti hidup penuh kemewahan. Para pejabat harus menunjukkan solidaritas sosial terhadap lingkungan sekitar dan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan demi menyejahterakan masyarakat kecil. Negara telah memberikan perhatian terhadap masalah kebutuhan material dari setiap pejabat dan aparatur negara. Berarti aparatur pemerintah harus bekeija sepenuhnya dalam melayani masyarakat.
Memberikan Teladan
Menurut Abu Hartono, sesuai peringatan Kepala Negara seperti disampaikan kepada Gubernur Pattipi, selayaknya para pejabat harus berusaha menghindari diri terhadap nafsu untuk menguasai harta dan terlalu mudah terkena godaan wanita.
Istilah wanita mengandung terjemahan dalam arti luas, sebenarnya yang dimaksudkan Kepala Negara adalah moral. Misalnya, pejabat punya pacar, wanita simpanan yang bukan hanya mengganggu rumah tangga tetapi merusak nama pemerintah. Kepala Negara selama ini senantiasa menekankan moralitas dan integritas dari aparat pemerintah. Kalau kita bicara wanita dan harta serta takhta itu berarti integritas.
“Setiap pemimpin harus memberikan teladan. Jangan sampai teladan dirusak karena lemahnya moralitas, “tandasnya. Menyinggung Takhta, diharapkan jangan sampai terlalu berambisi untuk mengejar takhta atau jabatan karena kepentingan pribadi. Ingat jabatan itu ada karena keinginan pemerintah memberi tanggungjawab yang besar untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.
Abu Hartono minta agar aparatur negara dan para pejabat untuk menterjemahkan makna Krida Kedua, Kabinet Pembangunan VI yaitu peningkatan disiplin nasional yang dipelopori aparatur negara menuju terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
“Ini kalau diterjemahkan, citra aparatur negara sebagai abdi negara, bangsa dan masyarakat harus lebih ditingkatkan dan diwujudkan dalam perilaku melalui teladan dan pelayanan sehingga menimbulkan rasa hormat dari masyarakat, “ujarnya.
Disamping itu, katanya, aparatur negara harus menghayati makna sumpah jabatan yang pemah diucapkan ketika dilantik. DPR benar-benar mendukung, berharap dan akan ikut mengawa si aparatur negara sesuai Keppres No. 4 Tahun 1974 tentang petunjuk Pola Sederhana seperti diamanatkan Kepala Negara.
Ketua F-ABRl itu juga mengharapkan aparatur negara menyadari dan menghayati amanat Kepala Negara, yaitu kalau kita ingin maju dan mandiri seperti bangsa lainnya, habis meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan memiliki disiplin tinggi. Kita harapkan Kabinet Pembangunan VI dapat meningkatkan disiplin nasional dalam pelaksanaan pembangunan, karena hal tersebut merupakan prasyarat mutlak menuju lepas landas sesuai amanat GBHN-1991.
Untuk itu, tandasnya, SDM dan disiplin nasional menjadi amanat penting. Ini harus dipelopori aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Sikap Aparatur negara yang bersih dan berwibawa sudah tentu dimulai dari para pejabat. Sesuai sumpah Jabatan, diharapkan setiap pejabat menahan diri danjangan menerima imbalan dari siapapun sebagai balas jasa.
“Kiranya petunjuk-petunjuk yang disampaikan Kepala Negara kepada Menpan Silalahi dan Gubernur Pattipi kiranya dapat digunakan sebagai pedoman kerja. Jangan terpancing melalui takhta yang ada mengumpulkan kekayaan atau menerima tawaran wanita,” tandasnya.
Sangat Cermat
Wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan (FKP), H. Abdullah Zainie SH, yang dihubungi terpisah, mengatakan masalah takhta, harta dan wanita yang dikemukakan Kepala Negar ketika menerima Gubernur Pattipi, tentunya didasarkan kepada pengamatan beliau yang sangat cermat selama ini. Memang diakui ada satu, dua kasus, dimana pejabat-pejabat di daerah maupun pusat terpengaruh dengan tawaran atau pemberian baik berupa harta maupun wanita.
“Dari segimoral bangsa Indonesia yang didasarkan pada Pancasila, memang tidak wajar kalau pejabat menerima tawaran-tawaran tersebut,” ujar Zainie.
Diingatkan, bila menerima tawaran-tawaran tersebut pasti akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil. Keputusan akan memihak dan tidak objektif agi, bahkan kadang-kadang sudah bertentangan dengan ketentuan yang berlaku atau ada rekayasa seolah-olah keputusan sudah sesuai ketentuan yang berlaku.
Apabila ditinjau segi kepentingan bangsa, tandasnya, keputusan-keputusan yang tidak objektif pasti merugikan negara. Oleh karena itu, seorang pejabat pusat maupun daerah harus tegar untuk menghadapi tawaran-tawaran seperti itu, meskipun sangat menggiurkan.
“Pejabat jangan hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri. Tetapi ia berbuat untuk kepentingan masyarakat. Pejabat juga harus melaksanakan pola hidup sederhana. Sehingga ia menjadi teladan bagi masyarakat sebagai perwujudan solidaritas sosial,” kata Abdullah Zainie.
Sementara itu, Sabam Sirait (F-PDI) yang dihubungi per telepon Jumat (23/4) malam menyatakan, peringatan Kepala Negara tentang takhta, harta dan wanita bukan ditujukan kepada satu aparatur negara tetapi secara keseluruhan.
“Pernyataan ini tepat waktunya. Berarti pertanda, melalui pengamatan yang sangat cermat Kepala Negara melihat para elite politik menjurus ke arah tersebut. Untuk itu, kiranya harus dicegah sepenuhnya sehingga, tidak terjadi kebocoran-kebocoran terhadap keuangan negara. Setiap elite politik kiranya menghayati dan menghindarkan diri sesuai peringatan. “Mari kita bersama menciptakan aparat negara yang bersih dan berwibawa dalam rangka membangun negara Indonesia menuju lepas landas tahun 200 mendatang,” ujar Sabam Sirait.
Baik Abu Hartono, Abdullah Zainie, maupun Sabam Sirait mengharapkan para wartawan bergandengan tangan bersama DPR memberikan sosial kontrol terhadap aparatur negara.
“Wartawan jangan segan-segan memberikan kritikan. Kami minta rekan-rekan wartawan dari berbagai media massa, baik cetak, maupun elektronika supaya membantu melaksanakan sosial kontrol demi perbaikan. Sebab Menpan telah meminta kepada media massa supaya berani melaksanakan sosial kontrol sesuai fungsinya sebagai Pers Pancasila, “ujarnya. (W-8)
Sumber : SUARA PEMBARUAN (25/IV/1993)
________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 101-104.