KONFLIK TIMBUL KARENA TIDAK MAMPU RUMUSKAN NILAI KEBANGSAAN

KONFLIK TIMBUL KARENA TIDAK MAMPU RUMUSKAN NILAI KEBANGSAAN[1]

 

Jakarta, Antara

KONFLIK  antara  unsur-unsur bangsa di berbagai negara terjadi akibat ketidakmampuan merumuskan hubungan yang tepat antara nilai-nilai agama engan kebangsaan, kata Menteri Agama dr Tarmizi Taber saat membuka Pekan Ilmiah Mahasiswa lAIN se-Indonesia di Jakarta, Kamis.

“Misalnya, banyak pemikiran sekuleristis mempertentangkan antara kekuasaan negara dan agama, atau theokratis yang memanaskan dan membakar emosi keagamaan menghadapi kekuasaan negara,” katanya.

Menurut Tarmizi, Indonesia sendiri beruntung memilih ideologi Pancasila yang menggambarkan demokrasi asli bangsa dimana dominasi pemikiran sekuler, teokratis atau kapitalis saat ini tengah merambah dunia secara global.

Tercatat ada tiga peristiwa historis bagi bangsa Indonesia dalam menciptakan optimisme kehidupan beragama yang berazaskan ideolagi Pancasila itu yaitu ketepatan menetapkan ideologi, menetapkan sila pertama Pancasila 18 Agustus 1945 dan penetapan UU No 8/85 tentang azas ormas.

Kehadiran Pancasila sebagai landasan organisasi bukan menggantikan peranan agama sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada 16 Agustus dan 27 Juni 1983 bahwa Pancasila bukan agama dan Pancasila tidak akan mungkin menggantikan agama, kutip Tarmizi.

“Oleh karena itu tegakkan agama, tidak usah ragu-ragu namun yang terpenting adalah jangan sampai mempertentangkan antar kelompok dalam umat beragama di Indonesia,”kata Menag.

Posisi Penting

Dalam acara yang dihadiri oleh Dirjen Pembina Kelembagaan Agama Islam Depag Dra Andi Rasdiyanah, Rektor lAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Quraish Shihab dan pejabat lingkungan lAIN, Menag juga mengatakan institut agama memiliki posisi penting dalam mewujudkan optimisme memajukan bangsa dan agama.

Menag menilai dalam segi-segi tertentu lAIN berhasil menjalankan misinya. Ini terlihat dari banyaknya alumni lAIN mampu berinteraksi dengan lingkungan masyarakat lebih luas.

Namun semua perkembangan positif itu hendaknya tidak membuat lAIN berpuas diri. Kalangan lAIN hendaknya melakukan penilaian dan kajian ulang atas kekuatan dan kelemahan yang ada untuk mengantisipasi tantangan dan perkembangan dalam masyarakat yang semakin kompleks.

“Misalnya dengan mengembangkan pusat kajian ilmu keislaman yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup,” katanya.

Dua Faktor

Ada dua faktor utama yang menandai integritas kampus yaitu ketinggian ilmu yang dikembangkan warganya dan keluhuran budi yang menghiasi civitas akademika, kata Rektor lAIN Dr.Quraish Shihab dalam sambutannya.

Mahasiswa sebagai salah satu unsur civitas akademika harus terus mencari dan mengembangkan ilmu. Untuk itu, Quraish menyitir pendapat psikolog yang menekankan tiga tahapan sikap berlaku terhadap ide atau pandangan ilmiah sesuai dengan kematangannya mahasiswa.

“Tahap pertama menilai kebenaran berkaitan dengan keuntungan material, kedua mengaitkan satu ide dengan tokoh yang dikagumi dan terakhir tahap kematangan yang ditartdai dengan kemampuan menerima perbedaan pendapat, “katanya.

Ketiga tahapan ini akan menghindarkan mahasiswa dari perlakuan masyarakat seperti yang pemah diterima Galileo saat mengungkapkan teori tentang Tata Surya yang dianggap menentang dogma gereja.

Menurut Quraish, faktor psikologis dan sosial perlu diwujudkan dalam pengembangan ilmu, jangan sampai terjadi ada “Galileo”masa kini yang menjadi korban penemuannya sendiri karena banyak mencantumkan aneka teori ilmiah yang dianggap bertentangan dengan masyarakat.

“Ini agaknya yang menjadi sebab, mengapa Al-Quran tidak mengemukakan teori ilmiah atau menjadi kitab ilmiah namun ayat-ayatnya mampu menciptakan iklim pengetahuan yang dapat mengikis faktor psikologis penghambat pengembangan ilmu,” demikian  Quraish.(T.PU20/15:44/DN07/13/05/9316:11)

Sumber:ANTARA (13/05/1993)

____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 707-708.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.