Kudeta PKI, Dari 48 ke 65: Keterkaitan Misi dan Pimpinan Gerakan
Oleh: Abdul Rohman
Pencermatan aspek-aspek mikro kesejarahan peristiwa G 30 S harus mampu mengungkap jati diri dan agenda-agenda PKI serta konstalasi politik nasional menjelang (prolog), pada saat maupun pasca terjadinya peristiwa (epilog). Peristiwa itu juga tidak boleh dilepaskan dari pencermatan terhadap iklim demokrasi liberal (tahun 1950-1959) dan demokrasi terpimpin (1959-1965) sebagai atmosphere menguntungkan bagi PKI yang membawanya sebagai salah satu pemain penting perpolitikan nasional. Hari-hari menjelang dan pada saat terjadinya peristiwa G 30 S juga sangat kaya bukti keterlibatan PKI sebagai intelektual aktor gerakan. Puncak peristiwa itu sendiri ditandai dengan pembantaian terhadap 6 perwira tinggi pucuk pimpinan Angkatan Darat dan pendemisioneran Kabinet Dwikora untuk digantikan Dewan Revolusi.
Telaah terhadap eksistensi PKI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tabiat asli Komunisme sebagai sistem politik otoritarian internasional. Komunisme merupakan idiologi politik bersifat internasional dengan agenda —berdasarkan angan-angan atau utopianya— hendak mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Menurut Mark —penggagasnya, seorang Yahudi berkebangsaan Jerman dan akhirnya memeluk agama Protestan— agenda itu diwujudkan melalui cara perjuangan kelas sebagai pemicu revolusi. Revolusi sosial diyakini sebagai cara memenangkan kelas pekerja (proletar) atas kaum kapitalis (borjuis) untuk kemudian dibentuk periode transisi yang dinamakan diktaktor proletar. Merupakan sistem politik keditaktoran yang akan dijalankan oleh pelopor-pelopor kaum buruh dan tani untuk mengikis habis unsur-unsur kapitalisme. Menurutnya, apabila masyarakat tanpa kelas telah terbentuk, negara dan kepemimpinan diktaktor dengan sendirinya akan hilang.
Gagasan itu sekilas memang tampak menggiurkan. Namun apabila kita lihat dari fakta kesejarahan hari ini —setelah satu setengah abad, idiologi dan sistem politik itu berusaha diaplikasikan— bukan saja terbukti sebagai gagasan utopis, akan tetapi telah menjelma sebagai sistem politik otoritarian dan mesin pembunuh kemanusiaan. Pembasmian terhadap kelas tertentu atau kelompok/ orang yang berbeda pendapat, dapat dibenarkan dalam proses pembentukan masyarakat tanpa kelas. Secara jelas sejarah mencatat lebih dari 100 juta jiwa terbunuh dalam sistem Komunis, sebelum akhirnya mengalami kebangkrutan yang ditandai dengan runtuhnya imperium Komunis Uni Soviet.
Taufiq Ismail dalam bukunya Katastropi Mendunia merekonstruksi kekejaman Partai Komunis sedunia —selama 74 tahun (1917-1991) di 76 negara— telah menghilangkan nyawa manusia sebanyak 1.350.000 orang pertahun, 3.702 sehari, 154 orang perjam, 2,5 orang permenit atau ekuivalen dengan 24 detik per orang (Lihat Taufik Isma’il, “Katastropi Mendunia: Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme-Narkoba”, terbitan Yayasan Titik Infinitum Jakarta tahun 2004, hal 6).
PKI sendiri merupakan bagian dari Komunisme internasional (Comintern) yang keterkaitannya dapat dilacak sejak bulan Desember 1920, dimana Perserikatan Komunis di Hindia Belanda secara mutlak menerima 21 syarat keanggotaan sebagai bagian dari Comintern. Sebagian isi syarat keanggotaan tersebut adalah: (a) pengakuan secara konsisten terhadap diktaktor proletariat dengan perjuangan untuk mengamankan dan mempertahankannya, (b) pemutusan kerjasama menyeluruh dengan kaum reformis dan centris serta penyingkiran mereka dari partai, (c) melaksanakan perjuangan dengan metode kombinasi legal dan illegal, (d) bekerja secara sistematis di dalam negara, militer, organisasi buruh reformis dan parlemen borjuis, (e) setiap partai anggota Comintern adalah partai Komunis dan dibentuk atas prinsip-prinsip sentralisme demokrasi, (f) semua keputusan dari konggres Comintern dan Executive Committee of Commmunist International (ECCI) akan mengikat terhadap semua partai yang berafilisasi dengan Comintern, dan (g) Comintern dan ECCI juga terikat untuk mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi dari setiap partai yang berbeda tempat bekerja dan perjuangannya dan secara umum resolusi yang diajukan mengenai suatu masalah hanya akan diterima apabila resolusi itu dimungkinkan (Lihat Sekretariat Negara, “Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia-Latar Belakang Aksi dan Penumpasanya”, Jakarta, 1994, hlm 11-12).
Pencermatan terhadap sajian data korban dan pola relasi antara PKI dengan Comintern akan segera membimbing akal sehat kita untuk tidak serta merta menyesali tumbangnya PKI dengan segala sanksi moral, politik dan hukum bagi para simpatisan maupun eks anggotanya. Sejarah memiliki logikanya sendiri sebagaimana terlihat dalam kasus kegagalan perebutan kekuasaan oleh PKI di Indonesia. Merupakan sebuah anugerah manakala Indonesia tidak masuk daftar korban kekejaman Komunis dalam jumlah besar sebagaimana dialami rakyat Soviet, RRC maupun negara-negara lainnya.
Instabilitas Bangsa: Momentum Kembalinya PKI
Aidit, Lukman, Sudisman dan Njoto —dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda—; merupakan pelaku pemberontakan PKI Madiun yang selamat dan kelak dikemudian hari menjadi pelaku G 30 S/PKI. Struktur kepengurusan PKI pimpinan Muso menempatkan Aidit dalam seksi Buruh, Lukman seksi Agitasi dan Propaganda, Sudisman seksi Organisasi dan Njoto seksi Urusan Perwakilan. Sedangkan Letnan Kolonel Untung —pimpinan gerakan militer G 30 S/PKI— merupakan partisipan dalam gerakan militer pemberontakan Madiun
Muso dan Alimin (tokoh pemberontakan PKI Madiun) merupakan bagian dari tokoh-tokoh pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Pemberontakan PKI tahun 1965 digerakkan oleh kader-kader PKI pelaku pemberontakan PKI Madiun (Aidit, Lukman, Sudisman, Njoto dan Letnan Kolonel Untung). Keterkaitan antar generasi pelaku utama tiga kali pemberontakan PKI (1926/1927, 1948 dan 1965), membuktikan adanya satu cita-cita tunggal yang berhasil diwariskan dari generasi ke generasi yaitu mewujudkan sistem Komunis di Indonesia sebagai bagian komunis internasional. Adanya keterkaitan itu menunjukkan kebohongan kader-kader PKI yang menyatakan pemberontakan PKI Madiun merupakan provokasi kabinet Hatta dan menempatkan PKI sebagai pemain pinggiran dalam peristiwa G.30.S
Setelah kudeta Madiun, PKI memanfaatkan tiga situasi kebangsaan —Agresi Militer Belanda II, sistem politik Demokrasi Liberal (1950-1959) dan sistem politik Demokrasi Terpimpin (1959-1965)— sebagai momentum konsolidasi kekuatannya. Agresi Militer Belanda dimanfaatkan kader-kader PKI untuk meloloskan diri dari tindakan hukum (kejaran aparat dan penjara pemerintah) dan tindakan politik (likuidasi dari percaturan politik bangsa). Sistem politik Demokrasi Liberal (1950-1959) dimanfaatkan PKI untuk penguatan basis keanggotaan dan bargaining posisinya dalam percaturan elit perpolitikan bangsa. Sedangkan era Demokrasi Terpimpin —dengan berlindung dibalik superioritas dan kharisma Presiden Soekarno— dipergunakan PKI untuk memperkuat hegemoninya dalam pentas politik nasional, indoktrinasi gagasan revolusioner dan persiapan perebutan kekuasaan.
PKI Sebelum Era Demokrasi Liberal
Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) hanya terpaut tiga bulan dengan dimulainya pemberontakan PKI Madiun (18 September 1948) atau selang dua minggu sejak pertempuran terakhir antara pasukan RI dengan pasukan pendukung PKI (29 November 1948) di Gua Macan Desa Penganten Kecamatan Klambu Purwodadi atau bersamaan dengan pelaksanaan hukuman mati terhadap tokoh-tokoh pemberontak (Amir Sjarifudin beserta 11 pemimpin PKI) di desa Ngalihan, Karanganyar Solo oleh Gubernur Militer Gatot Soebroto (Himawan Soetanto, Madiun dari Republik ke Republik, Jakarta: Penerbit Kata, 2006, hlm 184). Setelah aksi penumpasan pemberontakan Madiun, satuan-satuan ketentaraan RI belum benar-benar terkonsolidasi ketika harus menghadapi Agresi Militer Belanda II melalui strategi terobosan yang kuat dan cepat serta didukung peralatan militer yang baik. Soekarno-Hatta dan sejumlah pimpinan pemerintahan —yang menolak gerilya— berada dalam tahanan Militer Belanda. Pimpinan TNI harus segera berangkat ke medan gerilnya dan baru dapat mengonsolidasi seluruh kekuatannya setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 — yang dimotori Letnan Kolonel Soeharto— menuai hasil.
Agresi telah mengalihkan konsentrasi satuan-satuan TNI untuk fokus melakukan perlawanan terhadap Belanda dan hal ini dimanfaatkan sejumlah kader PKI untuk meloloskan diri. Tan Ling Djie —anggota Sekretariat Jenderal PKI bentukan Muso— berhasil meloloskan diri dari penjara Wirogunan Yogyakarta. Aidit berhasil melarikan diri ke Jakarta, menuju Vietnam dan tinggal bersama pasukan Ho Chi Minh serta tinggal beberapa saat di Cina sebelum akhirnya datang lagi ke Indonesia (Lihat Peter Edman, Komunis Ala Aidit Kisah Partai Komunis Indonesia di bawah Kepemimpinan DN. Aidit, 1950-1965, Center for Information Analysis, 2005, hlm 69; dalam Saleh A. Djamhari, et all; Komunisme di Indonesia Jilid III, Jakarta: Pusjarah TNI dan Yayasan Kajian Cinta Bangsa, 2009, hlm 5). Sejumlah tulisan mengungkapkan cerita kemunculan kembali Aidit di Tanjung Priok (setelah peristiwa Madiun) merupakan skenario Sjam (ketua organisasi buruh sayap kiri Pelabuhan Tanjung Priok) untuk mengesankan agar Aidit memiliki pengalaman luar negeri sehingga kehadirannya memperoleh penerimaan luas dari kader-kader PKI). Sejumlah tokoh pemberontak lainnya juga berhasil meloloskan diri seperti Alimin, Ngadiman Hardjosubroto, Sudisman dan Lukman. Setelah berhasil meloloskan diri, para kader PKI melakukan gerakan bawah tanah dari tempat persembunyiannya masing-masing untuk melakukan konsolidasi kekuatan dan menyusun rencana selanjutnya. Seperti halnya Tan Ling Djie, pada masa pendudukan Belanda (antara Agresi II dan Serangan Umum 1 Maret 1949), bersama Ngadiman Hardjosubroto membentuk Central Comite (CC) darurat di Yogyakarta untuk menghimpun anggota-anggota PKI yang sebelumnya tercecer dalam kelompok-kelompok kecil.
Upaya kader-kader PKI menghidupkan kembali partainya memperoleh momentum tatkala sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) memutuskan untuk tidak melikuidasi PKI dan memberikan hak hidup dalam perpolitikan bangsa. Keputusan KNIP didasarkan pada pendapat yang menyatakan: “partai Komunis diperlukan sebagai Sekutu untuk menetralisasi modal-modal asing Belanda yang ada di Indonesia”. Berdasarkan hasil sidang KNIP itu, tanggal 7 September 1949 Menteri Kehakiman RI memberikan pernyataan: “Pemberontakan Madiun tidak akan dituntut, asalkan mereka tidak tersangkut dalam kejahatan-kejahatan kriminal. Kerjasama orang-orang Komunis diperlukan dalam menghadapi bahaya-bahaya yang datang dari luar. Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dianut, pemerintah dapat membenarkan adanya oposisi dalam kehidupan parlementer” (Saleh A. Djamhari, et all; Komunisme di Indonesia Jilid III, Jakarta: Pusjarah TNI dan Yayasan Kajian Cinta Bangsa, 2009, hlm 6).
Keputusan KNIP dan kebijakan pemerintah masa itu dapat dipahami sebagai upaya penyatuan elemen-elemen bangsa (baik sipil maupun militer) dalam menghadapi agresi Belanda. Pada saat keputusan itu diambil, pemerintah RI sedang gencar-gencarnya melakukan perjuangan melawan Belanda dalam empat front sekaligus: front militer, front diplomasi bilateral (Indonesia-Belanda), front internasional dan masalah integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Satuan-satuan militer Belanda belum mundur dari wilayah Indonesia dan kekuatan-kekuatan ketentaraan RI harus dimobilisasi untuk mengantisipasi tipu muslihat Belanda.
Pemerintah Indonesia juga masih disibukkan untuk memenangkan perjuangan diplomasi melalui Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan pada tanggal 23 Agustus s/d 2 November 1949. Mobilisasi dukungan internasional juga terus dilakukan agar turut memberi tekanan kepada Belanda sehingga mengakui kedaulatan Pemerintah Republik Indonesia. Sementara itu semua potensi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil Proklamasi tahun 1945 belum benar-benar terintegrasi, akibat penyempitan wilayah kekuasaan melalui agresi maupun perundingan-perundingan dengan Belanda sebelumnya. Keputusan KNIP menekankan realitas logis jangka pendek dan tentunya tidak ada yang menduga, etikad baik itu dikhianati PKI dengan melakukan kudeta 17 tahun sesudahnya.
Keputusan KNIP segera disambut para kader PKI yanhg segera muncul dari persembunyiannya dan melakukan konsolidasi serta menyusun pleidoi (pembelaan) politik untuk mengembalikan citra partainya. Alimin, tokoh senior PKI —dalam sebuah wawancara dengan wartawan Sin Po tanggal 10 November 1949— menyangkal keterlibatan partainya dalam pemberontakan Madiun dan menegaskan akan menjalankan garis kebijakan “secara hati-hati”. Alimin juga mendorong kader-kader muda PKI untuk belajar di Tiongkok yang salah satunya melalui pengiriman delegasi SOBSI (diketuai Njono) menghadiri Konferensi Serikat-Serikat Buruh Asia dan Australia di Peking tanggal 16 November 1949 (Dalam konferensi itu, Liau Saoqi (orang kedua Mao Zedong) menyatakan bahwa perjuangan bersenjata merupakan bentuk pokok untuk merebut kemerdekaan nasional dan demokrasi rakyat (ditaktor proletariat), lihat Imam Soedjono, Yang Berlawan, Yogyakarta: Resist Book, 2006, hlm 258).
Pada tanggal 4 April 1950, Alimin mengaktifkan kembali PKI. Sementara itu pada akhir bulan Juni 1950 sidang pleno CC-Tan Ling Djie di Godean Yokyakarta memutuskan rumusan metode reinkarnasi PKI pasca pemberontakan Madiun, baik dalam hal cara kerja (menitikberatkan kerja tertutup dan kerja terbuka jika kesempatan memungkinkan), bentuk perjuangan (tidak meninggalkan perjuangan bersenjata dan oleh karena itu senjata yang masih ada di tangan tidak akan diserahkan) maupun organisasi (melangsungkan Konggres Partai Sosialis untuk dilebur kedalam PKI). Tan Ling Djie juga menyempurnakan personalia organisasi dengan menempatkan dirinya dalam urusan umum dan agitprop, Abdul Madjid Djoyodiningrat (urusan perburuhan), Djokosudjono dan Yusuf Muda Dalam (urusan perjuangan bersenjata). Djokosudjono dan Yusuf Muda Dalam langsung menggerakkan teror satuan bersenjata Merbabu-Merapi Complex. Kelak dalam kaitan dengan peristiwa G.30.S/PKI, Yusuf Muda Dalam ditempatkan sebagai Menteri Bank Central oleh Presiden Soekarno, sebagai bentuk terima kasih atas hibah Bank Of Cina Cabang Jakarta dari pemerintah RRC ke Pemerintah RI. Melalui Bank tersebut, Pemerintah RRC memberikan dukungan financial kepada PKI. Lihat Julius Pour, “Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang”, Jakarta: PT. Gramedia, 2010, hlm 39). Pada bulan Juli 1950, —atas prakarsa Sjam melalui peristiwa Tanjung Priok— Aidit muncul kembali di Indonesia dan melakukan konsolidasi semua potensi kepartaian yang berserak setelah kegagalan Kudeta Madiun.
PKI Era Demokrasi Liberal
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia memasuki sistem Demokrasi Liberal —yang berlangsung hingga 6 Juli 1959— dengan menggunakan sistem kabinet parlementer dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950). Periode ini diwarnai instabilitas pemerintahan yang ditandai dengan pergantian tujuh kabinet usia pendek (Kabinet Natsir memerintah tahun (1950-1951), Kabinet Sukiman-Suwiryo (1951-1952), Kabinet Wilopo (1952-1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) dan Kabinet Djuanda (1957-1959)). Instabilitas politik ini dimanfaatkan secara baik oleh PKI untuk propaganda rehabilitasi citra kepartaian, konsolidasi organisasi dan mobilisasi keanggotaan.
Petualangan PKI pada masa demokrasi liberal dimulai pada saat konsolidasi organisasi dimana Aidit dan kader-kader mudanya merebut Central Commite (CC) dan politbiro baru pada bulan Januari 1951. Aidit menempatkan dirinya sebagai ketua Politbiro, Lukman ketua II dan Nyoto sebagai ketua III. Sedangkan dalam Central Commite Aidit menempatkan dirinya sebagai Sekretaris Jenderal dengan anggota terdiri dari Lukman, Njoto dan Sudisman. Propaganda rehabilitasi citra partai merupakan agenda pertama dengan menyusun buku putih pemberontakan Madiun (Alimin juga menuntut penggalian dan penguburan kembali tokoh-tokoh PKI yang dijatuhi hukuman mati dalam peristiwa Madiun. Tuntutan ini tidak dipenuhi pemerintah.). Seterusnya, Aidit mengajukan konsep “Jalan Baru” dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa PKI berjuang melalui garis kelembagaan negara, menggunakan jalan damai dan demokratis dalam tindak-tanduk politiknya, serta menyusun konstitusi PKI yang baru (Sikap akomodasionais PKI dengan membuka ruang kerjasama dengan non komunis tidak lepas dari perubahan garis comintern dari garis kiri (Zdhanov) ke garis Kanan (Stalin). Garis Stalin menghalalkan kerjasama dengan gerakan nasional atau non komunis lainnya. Dalam kebijakan Stalin, PKI dapat menggunakan jalur parlementer (konstitusional) dan jalur revolusi dalam merebut kekuasaan politik, (Lihat Saleh A. Djamhari, et all, hlm 37). Aidit juga melakukan propaganda untuk mengesankan bahwa PKI merupakan partai nasionalis, anti kolonialis, bersimpati terhadap agama, bertangung jawab, menentang jalan kekerasan dan pembela demokrasi (Saleh A. Djamhari, et all, hlm 11).
Langkah berikutnya melakukan mobilisiasi keanggotaan secara ofensip dengan sasaran kalangan buruh, buruh tani, organisasi veteran, wanita, pemuda, mahasiswa, seniman dan wartawan. Untuk mencuri dukungan dari massa buruh dan tani, Aidit mencuatkan isu “kenaikan upah” dan “perubahan tata guna tanah”. PKI juga melakukan show of force dalam bentuk aksi-aksi kekerasan massa dan pemogokan masal. Aksi kekerasan berupa penyerangan markas Kepolisian di Tanjung Priok, pelemparan Granat di sebuah pasar malam di Bogor, gerakan pendirian pemerintahan Soviet di Banyuwangi dan Besuki Jawa Timur serta aksi-aksi kekerasan massa di Sumatera Timur. Sedangkan pemogokan masal terjadi di Sumatera (buruh perkebunan), perusahaan-perusahaan strategis (perusahaan minyak, angkutan kereta dan perhubungan udara) dan Jawa Barat (menuntut kenaikan upah).
Aksi-aksi kekerasan dan pemogokan yang digerakkan oleh PKI memaksa Kabinet Sukiman melakukan penangkapan sebagian besar tokoh-tokohnya untuk dijadikan tahanan politik. Kebijakan itu memperoleh protes keras dari PKI, namun dibela Presiden Soekarno dengan pernyataanya pada Pidato 17 Agustus 1951 yang menyatakan “pemerintah telah berketetapan hati untuk mengancurkan gerombolan bersenjata, baik yang digerakkan oleh idiologi tertentu maupun liar, baik yang bersifak kiri maupun kanan, baik yang merah Komunis maupun yang Hijau/ DI-TII)”. Perdana Menteri Sukiman dalam pertanggungjawabannya kepada parlemen mengungkapkan bahwa kebijakan itu diambil setelah cukup bukti meyakinkan adanya gerakan kekerasan yang didalangi PKI untuk membunuh Soekarno-Hatta dan para menterinya. Kebijakan Kabinet Sukiman memaksa PKI untuk kembali menjalankan aktifitas kepartaian secara klandestain (bawah tanah) setelah berusaha bangkit dari keterpurukan pemberontakan Madiun.
Situasi politik segera berubah dengan cepat manakala Kabinet Sukiman mengalami kejatuhan pada tanggal 23 Pebruari 1952. Situasi ini dimanfaatkan PKI dengan menawarkan bargaining politik kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi —kompetitor terbesar PNI pada masa itu— dengan kompensasi dukungan rehabilitasi dan reposisi PKI dalam perpolitikan bangsa. Pada awal tahun 1950-an terdapat dua partai besar yang saling berkompetisi: PNI dan Masyumi. Menurut jalan pikiran PKI, PNI lebih memiliki potensi dan kemungkinan untuk didekati (diajak bargaining) jika dibandingkan dengan Masyumi. Ketika Kabinet Sukirman jatuh pada tanggal 23 Pebruari 1952, PKI menawarkan bargaining kepada PNI dalam bentuk “dukungan terhadap PNI untuk membentuk Kabinet tanpa Masyumi” dan sebagai kompensasinya PNI melakukan netralisasi partai-partai agar tidak mencurigai dan antipati terhadap PKI beserta ormas-ormas yang ada dibawahnya. Sambutan positif PNI mendorong Aidit muncul dari pelariannya dan bahkan memperkenalkan gagasan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi Indonesia”, yaitu pembenaran cara-cara parlementer selain cara-cara revolusioner. PKI juga merumuskan garis perjuangan pengkomunisan masyarakat Nusantara melalui program: (a) membina Front Persatuan Nasional yang berdasarkan persatuan kaum buruh dan kaum tani, (b) membangun PKI yang meluas di seluruh negara dan mempunyai karakter massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi di lapangan idiologi, politik dan organisasi (Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia-Latar Belakang Aksi dan Penumpasanya, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1994, hal 24).
Selanjutnya PKI berusaha merubah imbangan kekuatan dengan mendefiniskan siapa “kawan”, “kawan sementara” dan siapa “lawan”. Mereka menyebut “empat bukit setan” sebagai lawan yaitu imperialisme-kapitalisme, komprador, kapitalis birokrat dan feodalisme. Dalam menghadapi lawan, mereka menggunakan strategi mengandeng “kawan sementara” yaitu —yang diistilahkan sebagai— kalangan borjuasi nasional yang memiliki kesamaan obsesi ‘kehancuran imperialisme’. Terlepas berlindung dibalik istilah-istilah itu, PKI secara terang-terangan hendak mewujudkan agendanya sendiri yaitu terbentuknya negara Komunis di Indonesia.
Berdasarkan program partai yang dicetuskan melalui Konggres V 1954, PKI menuding sistem pemerintahan RI sampai tahun 1954 merupakan pemerintahan anti Komunis. Demokrasi yang berlaku di Indonesia merupakan demokrasi barat yang dikuasi borjuasi nasional dan oleh karenanya harus diganti dengan sentralisme demokrasi (demokrasi memusat) ala Komunis. PKI juga menganggap ABRI masih menjadi alat untuk “menindas PKI”. Untuk mewujudkan sistem Komunis di Indonesia, PKI menetapkan strategi politik MKTB (Metode Kombinasi Tiga Bentuk). Ketiga metode perjuangan itu adalah: (1) perjuangan gerilya di desa yang para pelakunya kaum buruh tani dan tani miskin, (2) perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh dibidang transportasi, (3) bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama kalangan Angkatan Bersenjata (Sutoyo NK, Fellow Traveller: Peranan Palu Arit Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, Jakarta: Yayasan Citra Bangsa, 2009, hlm 78).
Melalui agitasi dan propaganda secara gencar serta janji-janji manis terhadap kalangan buruh (kenaikan upah) dan petani (perubahan tata guna lahan menurut versinya), PKI menempatkan dirinya sebagai partai terbesar keempat —setelah PNI, Masyumi dan NU— pada tahun 1955 dengan mendulang enam juta pemilih. Kemenangan PKI juga ditopang kemampuan propagandanya mengesankan diri seolah-olah sebagai pembela Pancasila, menempatkan sosok kharismatik Soekarno sebagai satu-satunya calon Presiden dan menampilkan dirinya sebagai sosok pembela rakyat kecil.
Kedok PKI sebagai pembela Pancasila menjadi terbuka tatkala atmosphere kemenangan pemilu 1955 berusaha dimanfaatkan sebagai momentum dekonstruksi idiologi negara untuk ditarik kedalam peta Komunis dunia. Sidang Pleno CC PKI tahun 1957 mengesahkan konsep “Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia” (MIRI) sebagai road map membawa Indonesia kedalam sistem Komunis. Pada tahun 1958, dibalik kedok dukunganya terhadap Pancasila, PKI mulai melancarkan propaganda perubahan substansi Pancasila melalui sidang konstituante. Mereka berusaha mengganti sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan rumusan “kemerdekaan beragama”. Menurut mereka, tidak semua masyarakat Indonesia beragama monotheis, karena tidak sedikit pula merupakan penganut politheis dan bahkan ada yang atheis (Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia-Latar Belakang Aksi dan Penumpasanya, Jakarta, 1994, hal 28).
PKI Era Demokrasi Terpimpin
Sidang konstituante untuk menyusun UUD pengganti UUDS tidak pernah mencapai kata sepakat, sehingga mendorong Presiden Soekarno mempraktekkan Demokrasi Terpimpin. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (yang juga didukung ABRI) pada awalnya diharapkan menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk kembali kepada kemurnian UUD 1945. Momentum itu dibajak dan dibelokkan PKI —dengan berlindung dibalik pengaruh Presiden Soekarno— kearah sentralisme demokrasi sebagaimana dianut negara-negara Komunis. Konsepsi revolusi ala Komunis digelorakan sebagai panglima dan mulai menenggelamkan falsafah Pancasila yang pada semangat awalnya akan dijadikan acuan kembali dalam proses penataan bangsa.
Pembelokan arah demokrasi terpimpin diawali dengan masuknya Aidit menjadi panitia kerja perumusan GBHN yang substansi materinya diambil dari Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1945 dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Kesempatan itu dimanfaatkan Aidit memasukkan konsepsi dan strategi mewujudkan masyarakat Komunis Indonesia —yang dikenal dengan konsep “Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia” (MIRI)— kedalam GBHN. Elaborasi MIRI kedalam GBHN —kemudian dikenal dengan “Manifesto Politik Indonesia” (Manipol)— merupakan rute paling pendek bagi PKI pada masa itu untuk mewujudkan sistem Komunis yang disebutnya sebagai “Tahap Nasional Demokrasi dan Tahap Sosial Demokrat”. Maka tidak heran apabila dalam hari-hari berikutnya, PKI memperjuangkan realisasi Manipol dan menuding para penentangnya sebagai penentang revolusi Indonesia.
Pemanfaatan Presiden Soekarno oleh PKI pada awalnya didasarkan pada kebutuhan aliansi taktis atas dasar prinsip saling membutuhkan diantara keduanya. Soekarno ingin menuntaskan cita-cita proklamasi 1945 untuk menjadi Indonesia sebagai negara kuat, mandiri dan menjadi pemain penting dalam percaturan dunia. Keinginan itu terbentur lemahnya dukungan negara-negara barat sebagaimana tercermin dalam kasus Irian Barat yang penyelesaianya dalam diplomasi internasional terkatung-katung lebih dari 10 tahun. Negara-negara barat juga kurang memberikan dukungan pengadaan persenjataan dalam rangka mobilisasi umum pembebasan Irian Barat.
Sejumlah analisa menyatakan bahwa Presiden Soekarno juga dihadapkan pada realitas kebutuhan dalam negeri berupa dukungan semangat juang rakyat yang menggelora untuk melakukan perlawanan terhadap kepentingan barat yang tidak mendukung kepentingan Indonesia (misalnya untuk memboikot perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia). Fakta tersebut memaksa Soekarno “merawat” PKI —sebagai anak emas Blok Timur (Komunis)— agar dapat menarik dukungan negara-negara Blok Timur membela kepentingan Indonesia menghadapi kekuatan Barat. Soekarno juga memerlukan massa PKI yang reaksioner untuk sewaktu-waktu dimobilisasi memberikan dukungan agenda-agendanya (misalnya dalam masalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia).
Uluran tangan Presiden segera disambut PKI dengan memanfaatkan balik kharisma dan superioritasnya untuk melindungi agenda dan kepentingannya. Pimpinan PKI tentu sudah menghitung jika mereka akan lebih didengar suaranya oleh negara-negara Blok Komunis (terutama RRC dan Soviet) ketimbang Presiden Soekarno yang sedang mengais dukungan dari negara-negara itu untuk dipergunakan melawan barat. Presiden sewaktu-waktu dapat “disandera” PKI melalui tekanan internasional (Soviet atau RRC) maupun dengan desakan massa partainya apabila kurang memberikan dukungan terhadap agenda maupun kepentingannya. Atas dasar pertimbangan itu dapat dipahami jika PKI menganggap aliansi dengan Presiden Soekarno merupakan “koalisi sementara” dengan kalangan “borjuasi nasional” yang akan memberi banyak keuntungan strategis. Kerjasama dengan kalangan nasional dan non Komunis dibenarkan dalam doktrin Stalin sebagaimana diputuskan dalam konggres Bolshevik ke 19 (5-14 Oktober 1952). Sementara itu Presiden Soekarno —sebagaimana karakter yang melekat pada dirinya— sangat percaya diri dan meyakini akan mampu mengatasi “kenakalan PKI” (Dalam beberapa kesempatan, Presiden Soekarno mengungkapkan akan membina PKI agar idiologi Komunisnya bisa di Pancasilakan).
Kemesraan mencolok antara Presiden dengan PKI terjadi sejak tahun 1960, dimana Aidit dilibatkan sebagai anggota delegasi resmi tatkala Presiden Soekarno tampil dalam Sidang majelis Umum PBB (1960). Aidit juga dijadikan anggota delegasi konferensi Non Blok di Beograd serta mendampingi Presiden Seokarno menemui John F. Kennedy untuk menyampaikan pesan perdamaian (1961). Tidak hanya Aidit, tokoh-tokoh utama PKI (Lukman dan Njoto) juga sering diberi tugas untuk mengemban misi internasional oleh Presiden Soekarno. Pemberian kepercayaan ini merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan sebelum tahun 1960.
Melalui strategi “koalisi sementara”, PKI semakin leluasa menyalurkan gagasan revolusuionernya melalui pidato-pidato Presiden yang disusun oleh Nyoto, seorang kadernya rangking ketiga, yang berhasil disusupkan sebagai ghost writer’s naskah pidato Presiden. Walaupun belakangan oleh Aidit dianggap lebih Soekarnois dari pada Komunis, fakta keberadaan Nyoto sebagai pengurus CC PKI (dibawah pimpinan Muso dan Aidit) tidak bisa menyembunyikan jati dirinya sebagai idiolog ajaran Komunisme.
Pidato-pidato itu sebagaimana dikemukakan dalam buku Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia-Latar Belakang Aksi dan Penumpasanya terbitan Sekretariat Negara,1994: 38-39 adalah
- Th 1960, Jalannya Revolusi Kita (Jarek), Memasukkan Kebijakan PKI yang terkandung dalam MIRI (Masyarakat Indonesia Revolusi Indonesia) kedalam Manipol-USDEK (Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia sebagai GBHN
- Th 1961 Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional (Resopim), Mendorong atmosphere politik Indonesia semakin kearah kiri (Komunis)
- Th 1962 Tahun Kemenangan (Takem), Mendorong Indonesia semakin mendekat ke Blok Timur (Komunis)
- Th 1963 Genta Suara Revolusi (Gesuri), Mendorong konfrontasi dengan Negara-negara barat
- Th 1964, Tahun Vivere Pericoloso (Tavip), Mendorong Indonesia semakin revolosioner
- Th, 1965 Tahun Berdiri di kaki Sendiri (Takari), Mempertajam pertentangan dengan Blok Barat dan mendekatkan diri ke Blok Timur khususnya poros Jakarta-Phnom Penh-Peking-Pyongyang
Pada tahun 1963 PKI merubah garis perjuangannya dari poros Moskow (transisi damai menuju Komunisme) ke arah poros Peking (penggunaan kekerasan revolusioner berskala besar untuk mendirikan diktator proletar), (Lihat Victor, M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, Jakarta: Yayasan Obor, 2005, hlm 54-57). Barangkali hal inilah yang membedakan antara Aidit dengan Muso dalam hal dukungan finansial organisasi PKI. Implikasi pergeseran poros itu Aidit memperoleh fasilitas-fasilitas yang luas dan penuh dari penduduk Cina perantauan yang ada di Indonesia. Biaya operasi organisasi dan propaganda PKI sebagian besar atau bahkan hampir seluruhnya diterima dari Hoakiau, selain droping pendanaan dari Peking. Pada saat pra G 30 S, setiap warung (toko) Cina —yang dimiliki penduduk Cina berkewarganegaraan RRT— yang ada di Indonesia, mempunyai kewajiban menyumbang dana pengembangan Komunis di Indonesia. PKI paling sedikit mendapat Rp. 100,- dari warung-warung kecil di kampung-kampung (Rosamona, Matinja Aidit: Marsekal Lubang Buaja, Djakarta: Inkopak-Hazera, 1967, hlm 15). Sedangkan dukungan finansial dari RRC disalurkan melalui Kedutaan Besar RRC di Jakarta lewat Bank of Cina Cabang Jakarta. Pada pertengahan tahun 1964, bank tersebut dihibahkan kepada pemerintah Indonesia dan sebagai kompensasinya Presiden Soekarno menempatkan Jusuf Muda Dalam (pelaku kerusuhan bersenjata Merbabu-Merapi Complex pasca pemberontakan Madiun) sebagai Menteri Bank Central (Julius Pour: hlm 39).
Pada tahun 1964, selain meningkatkan tuduhan “kontra revolusi” terhadap lawan-lawan politiknya, Aidit juga berusaha mengubur Pancasila untuk diganti dengan Nasakom. Pada bulan Oktober 1965, melalui pidato di depan para peserta Pendidikan Kader Revolusi (Pekarev), Aidit menyatakan: “…dan disinilah betulnya Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah ‘satu’ semua… Pancasila ndak perlu lagi, sebab Pancasila alat pemersatu”. Dalam ceramah yang lain Aidit menyatakan: “Landasan idiil Pancasila yang lahir tahun 1945 adalah Nasakom, dan Pancasila merupakan falsafah persatuan dari Nasion Indonesia”. Lihat Sekretariat Negara, hlm 33..
Pada tahun ini pula, PKI membentuk biro khusus sebagai penyempurnaan strategi MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan) dalam melakukan infiltrasi ke tubuh ABRI. MKTBP meliputi: (a) perjuangan gerilya di Desa yang terdiri dari kaum buruh tanu dan tani miskin, (b) perjuangan revolusiuoner kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh angkutan, (c) bekerja secara intensif di kalangan musuh, terutama di kalangan Angkatan Bersenjata. Biro khusus merupakan alat ketua partai, dibentuk pada tingkat pusat dan daerah. Pada tingkat pusat diketuai oleh Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah alias Sjam dan bertanggung jawab secara langsung kepada Aidit. Dalam menjalankan tugasnya, Sjam dibantu Pono alias Supono Marsudidjojo sebagai Wakil Kepala I dan Bono alias Walujo alias Muljono sebagai Wakil Kepala II. Dalam perkembanganya Biro Chusus Daerah dibentuk di Jakarta Raya (Endro Sulistyo), Jawa Barat (Harjana alias Lie Tung Tjong), Jawa Timur (Rustomo), D.I Yogyakarta (Wirjomartono), Jawa Tengah (Salim alias Darmo alias Tikno), Sumatera Barat (Baharudin Hanafi/Rivai) dan Sumatera Utara (Muhammad Nazir alias Amir alias Nazir), Bali (Wihaji), Nusa Tenggara Timur (TH.P Rissi) dan Kalimantan selatan (Amir Hanafiah).
Tugas Biro Khusus adalah: a. Mengembangkan pengaruh dan idiologi PKI kedalam tubuh ABRI. b. Mendorong anggota ABRI yang sudah direkrut dapat melakukan rekrutmen dan pembinaan terhadap ABRI lainnya, c. Menyusun database anggota ABRI yang sudah di bina untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan untuk kepentingan PKI. Sedangkan strategi yang digunakan adalah sistem sel, memperbanyak simpatisan, mempertajam perbedaan antara bawahan dan atasan, memanfaatkan hasil-hasil untuk kepentingan Partai (Sumber: Sekretariat Negara,1994: 40-41)
Setelah posisinya dalam pentas perpolitikan nasional berada di atas angin, PKI terus mengintensifkan apa yang disebutnya “peningkatan situasi ofensif revolusioner sampai ke puncaknya” melalui berbagai sabotase, aksi sepihak dan teror serta agitasi dan propaganda. Aksi-aksi ini disebutnya sebagai senam revolusi (gymnastic revolution) hingga mencapai kondisi yang diperlukan (necessary conditions). Aksi sepihak berupa teror, agitasi dan propaganda diarahkan terhadap apa yang disebutnya “tujuh setan desa” (kapitalisme birokrat: Kepala Desa dan Bintara Pembina Desa (Babinsa), lintah darat, tengkulak, tukang ijon, pengumpul zakat (pemuka agama), bangsawan (tokoh masyarakat) jahat dan tiga setan kota (pejabat pemerintah, pejabat ABRI dan pengusaha/pemilik modal).
Sabotase dilakukan oleh sayap buruh PKI (Serikat Buruh Kereta Api) untuk mengganggu kelancaran transportasi perkeretaapian seperti yang terjadi di Purwokerto (11 januari 1964), Kaliyasa Solo (6 Februari 1964), Kroya (30 April 1964), Cirebon dan Semarang (14 Mei 1964), Cipapar (6 Juli 1964), Tanah Abang (18 Agustus 1964), Bandung (31 Agustus 1964) dan Tasikmalaya (11 & 18 Oktober 1964). Aksi-aksi sepihak dilakukan oleh massa BTI Jawa Tengah (Desa Kingkang Wonosari Klaten, Desa Kraguman Jogonalan Klaten dan Trucuk Prambanan Klaten pada awal Juli 1964), massa BTI Jawa Barat (hutan Karticala & Tugu Indramayu dan hutan Telaga Dua dan Pejengkolan), aksi massa BTI Jawa Timur (desa Gayam Kediri dan okupasi tanah wakaf Pondok Pesantren Modern Gontor) dan massa BTI Sumatera Utara (Bandar Betsy Simalungun) (Sekretariat Negara, hlm 49-52.).
Serangkaian teror juga dilakukan seperti: perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (1965), peristiwa Jengkol (1961), tuduhan terhadap ulama/ cendekiawan Hamka sebagai plagiator atas karyanya yang berjudul “Tenggelamnya Kapal van der Wijk” (1963), pembubaran HMI Cabang Jember (1963), pelarangan Manikebu dan Badan Pendukung Sukarnoisme (1963), pelecehan Islam dalam peristiwa Kanigoro-Kras Kediri (1965), provokasi Aidit: “bila CGMI tidak dapat membubarkan HMI supaya sarungan” (29 September 1965) yang dijawab Pemuda Pelajar Islam “langkahi dahulu mayat PII sebelum membubarkan HMI” (Aminuddin Kasdi & G. Ambar Wulan, G.30.S/1965: Bedah Caesar Dewan Revolusi Indonesia Siapa Dalangnya, PKI?, (Surabaya: PT. Pustaka Java Media Utama, 2007), hlm 15). Aksi-aksi tersebut dipertajam oleh agitasi dan propaganda dengan isu-isu yang memojokkan lawan-lawan politiknya seperti “Ganyang Kabir”, “Ganyang Nekolim” dan “sekarang juga bentuk angkatan V”. Tindakan-tindakan PKI itu telah menimbulkan suasana intimidatif bagi orang-orang non PKI khususnya yang menjadi sasaran agitasi.
Aksi agitasi dan propaganda PKI disertai dengan show of force massa besar-besaran melalui rapat-rapat raksasa. Rosamona dalam bukunya berjudul “Matinja Aidit: Marsekal Lubang Buaja” menuturkan seputar keganjilan pada hari-hari menjelang peristiwa G 30 S/PKI, dimana ukuran kebesaran partai politik ditentukan oleh kemampuanya mengerahkan massa memenuhi Stadion Utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno). Menurutnya massa yang dihadirkan belum tentu massa riil partai karena tidak jarang rapat-rapat raksasa itu mendatangkan massa bayaran. Pada saat itu harga-harga massa bayaran menjadi meningkat mencapai Rp. 100,- per kepala atau equivalen dengan 6 s/d 7 liter beras. (Rosamona, hlm 21). PKI dengan kekuatan finansialnya mampu mengerahkan massa besar dalam setiap rapat raksasa yang diselenggarakannya. Melalui rapat-rapat raksasa itu PKI menggelorakan agitasi, propaganda dan mendeskreditkan lawan-lawan politiknya sehingga menimbulkan suasana intimidatif bagi orang-orang yang tidak sejalan dengan paham Komunisme.
Suasana intimidatif semakin bertambah ketika PKI mengusulkan pembentukan angkatan ke V dengan mempersenjatai buruh dan tani. Usulan PKI itu memanfaatkan tawaran bantuan 100.000 puncuk senjata ringan RRC kepada Presiden Soekarno pada bulan November 1964. Sebelumnya, pada bulan November 1964 itu pula, ketua BTI Asmu mengajukan tuntutan agar anggota-anggotanya yang berjumlah 8,5 juta orang dipersenjatai (Aminuddin Kasdi & G. Ambar Wulan, Bedah Cesar, hlm 23). Bagi orang-orang non Komunis, manuver-manuver PKI itu telah membuat miris dan mengingatkan kembali peristiwa Madiun, untuk apa senjata-senjata itu akan dipergunakan. Usulan itu menemui kegagalan karena para pimpinan ABRI, khususnya Angkatan Darat menolak memberi persetujuan.
Menyiapkan Kudeta 30 September 1965
Setelah atmosphere revolusioner dianggap hampir mencapai puncak kematangannya, PKI menoleh kepada TNI-AD dan kalangan nasionalis-religius sebagai penghambat agendanya mewujudkan negara Komunis di Indonesia. Pimpinan puncak TNI-AD merupakan batu sandungan utama, karena penguasaannya atas kekuatan militer dan persenjataan serta kesetiaannya kepada Pancasila dan UUD 1945 (Karena kesetiaannya kepada Sapta Marga, Pimpinan Puncak TNI-AD sulit di infiltrasi dan digiring menjadi Komunis. Hanya sejumlah kecil perwira TNI AD yang berhasil direkrut sebagai komunis seperti Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latif dan Brigadir Jenderal Soepardjo. Letnan Kolonel Untung sendiri merupakan kader PKI sejak lama). Pucuk pimpinan TNI-AD merupakan figur-figur yang sulit digiring untuk mendukung agenda PKI dan bahkan dalam suatu seminar di Gedung Seskoad Bandung pada tanggal 1-5 April 1965 menyimpulkan adanya bahaya dari utara (Cina-Komunis). Mengomentari hasil seminar itu A. Yani menyatakan perlunya kendali keamanan Asia Tenggara oleh Indonesia menggantikan Armada ke-VII Amerika Serikat dan Armada Timur Jauh Inggris di Asia Tenggara. Kekosongan kendali keamanan strategis di negara-negara yang mengelilingi Indonesia harus diisi oleh Indonesia sendiri dan bukan oleh kebijakan ekspansionis Cina beserta Sekutu-Sekutunya (Victor, M. Fic, hlm 104-105). Untuk menyingkirkan penghalang utamanya itu, PKI kemudian menggelar aksi fitnah dengan menghembuskan isu “Dewan Jenderal”, penyebarluasan isu “Dokumen Gilchrist” dan skenario politik medis atas kesehatan Presiden.
Isu Dewan Jenderal diciptakan Biro Khusus PKI untuk memojokkan kredibilitas pimpinan puncak TNI-AD di hadapan Presiden maupun masyarakat luas. Dewan Jenderal diopinikan sebagai kelompok perwira TNI-AD yang tidak loyal dan akan menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno. Untuk menambah citra buruk itu dihembuskan pula isu dokumen Gilchrist yang belakangan diketahui merupakan dokumen palsu buatan dinas intelijen Czekoslowakia dan Soviet yang bermarkas di Praha (dokumen palsu ini dimaksudkan untuk menjatuhkan kepentingan-kepentingan Amerika yang ada di Indonesia). Oleh PKI, dokumen ini dikesankan sebagai sesuatu yang nyata, sekaligus sumber petunjuk otentik adanya kaki tangan Amerika dan Inggris dalam tubuh TNI-AD yang hendak menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno. Kedua isu itu diciptakan PKI untuk membentuk opini bahwa pimpinan puncak TNI AD merupakan pejabat korup dan musuh negara yang harus dilenyapkan.
Pengkonfrontasian pimpinan puncak TNI AD dengan Presiden Soekarno juga dimaksudkan untuk menggalang dukungan dari Presiden maupun masyarakat luas (dari anggota dan simpatisan PKI maupun kelompok-kelompok diluarnya) agar secara bersama-sama segera membersihkan pimpinan puncak TNI AD. Pembersihan pimpinan puncak TNI AD — yang selama ini menunjukkan sikap anti Komunis— untuk kemudian menggantinya dengan sejumlah perwira pro PKI, merupakan karpet merah bagi PKI dalam merebut kekuasaan di Indonesia.
Upaya PKI —melalui kedua isu itu— memperoleh momentum jatuh sakitnya Presiden pada tanggal 4 Agustus 1965. Pada tanggal tersebut, Presiden Soekarno kembali menderita sakit, mengalami muntah-muntah sebelas kali dan hilang kesadaran sebanyak empat kali. Dalam hal ini perlu ditelaah secara lebih mendalam perawatan macam apa yang diberikan delapan dokter Cina sejak tanggal 22 Juli 1965. Apakah pengobatannya dilakukan secara sungguh-sungguh untuk kesembuhan Presiden ataukah ada skenario lain. Peristiwa itu dijadikan pintu masuk PKI dengan menciptakan skenario politik medis, —menghembuskan hasil analisa medis tim dokter Cina— bahwa dalam waktu dekat Presiden tidak akan mampu melanjutkan tugasnya lagi. Sejak kembali dari perlawatannya ke luar negeri pada awal tahun 1965, kesehatan Presiden Soekarno mengalami penurunan.Untuk menangani kesehatan Presiden ditugaskan dokter-dokter Indonesia dan 8 dokter dokter Cina (dokter-dokter Cina merawat Presiden sejak 22 Juli 1965 sampai tanggal 1 September 1965). Ketika pada tanggal 4 Agustus 1965 memperoleh kabar semakin parahnya kondisi Presiden, Aidit yang sedang berkunjung ke Peking Cina kembali ke Jakarta dengan membawa 2 dokter Cina untuk bergabung dengan 8 dokter Cina yang sebelumnya telah merawat Presiden (lihat Skretariat Negara, 1994: 68-69). Tim dokter Cina menyimpulkan atas penyakit yang dideritanya, Presiden dapat meninggal dalam waktu dekat atau menderita kelumpuhan permanen (lihat Victor M. Fic, 2005: 296).
Aidit dan Biro Khusus menggunakan analisis dokter-dokter Cina sebagai argumentasi untuk mendorong kekuatan-kekuatan revolusioner melakukan “tindakan mendahului” Dewan Jenderal dengan membersihkannya terlebih dahulu (menculik dan membunuh pucuk pimpinan TNI-AD). Aidit mengesampingkan analisis dr. Mahar Mardjono —sebagai dokter kePresidenan dan Professor Neurologi Universitas Indonesia— yang menyatakan analisisnya atas kemungkinan kesembuhan Presiden.
Setelah semua argumentasi pembersihan pucuk pimpinan TNI-AD disiapkan (isu Dewan Jenderal, Dokumen Gilchrist dan kesehatan Presiden), Aidit dan Biro Khusus menyiapkan rencana operasi (renops) dalam bentuk gerakan militer dan politik. Gerakan militer dilakukan dengan menggerakkan perwira-perwira menengah militer untuk melakukan pembersihan pimpinan puncak TNI-AD. Sedangkan gerakan politik dilakukan dengan pembentukan Dewan Revolusi sebagai pengganti pemerintahan yang sah setelah gerakan militer dilaksanakan. Persiapan dilakukan dengan rapat-rapat dan konsolidasi secara intensif baik pada tingkat Politbiro CC PKI, Biro Chusus Central (BCC) dan BCC dengan Biro Chusus Daerah (BCD).
Mencermati rangkaian peristiwa, secara teknis PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan dengan melancarkan lima skenario sekaligus, yaitu persiapan rencana operasi (renops) gerakan militer dan politik secara tertutup, propaganda publik, penciptaan politik kesan bahwa gerakannya merupakan agenda Presiden, test case kesiagapan pimpinan TNI AD dan netralisasi potensi penghambat gerakan. Kelima skenario itu dilakukan secara serentak sehingga memecah konsentrasi pihak lawan (ABRI dan kalangan nasionalis religius) untuk segera menyadari adanya perebutan kekuasaan oleh PKI.
Pertama, persiapan rencana operasi (renops) dan konsolidasi gerakan militer pembersihan pimpinan TNI-AD maupun gerakan politik untuk mengganti Kabinet Dwikora. Gerakan ini dilaksanakan melalui: (a) 3 kali rapat Politbiro, (b) lima kali rapat interen Biro Chusus Central (BCC), (c) satu kali rapat gabungan pendahuluan dan sepuluh kali “rapat komando pembersihan” (rapat gabungan antara BCC dengan pimpinan gerakan militer), (d) koordinasi intensif antara Aidit dan Sjam (laporan-laporan dan pembahasan hasil rapat internal BCC maupun rapat komando pembersihan), (e) pengiriman anggota CC (Comite Central) untuk mengarahkan operasi perebutan kekuasaan lokal, (f) koordinasi dan instruksi Sjam kepada pengurus Biro Chusus Daerah (BCD), dan (g) misi netralisasi satuan-satuan militer yang dianggap tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan rencana PKI.
Sebagai pelaksana gerakan militer, PKI memanfaatkan perwira atau anggota satuan-satuan militer yang telah dibina BCC sejak tahun 1964, diantaranya Letkol Inf. Untung (Dan Yon Tjakrabirawa/pasukan pengawal Presiden), Kol. Inf. A. Latif (Dan Brigif I Kodam V/Jaya) dan Mayor Udara Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan/P3AU Halim). PKI tidak mengalami kesulitan dalam mobilisasi unsur pelaksana gerakan dari kalangan militer, selain telah dibina secara intensif sejak tahun 1964, mereka, seperti halnya Letnan Kolonel Untung merupakan pelaku pemberontakan PKI Madiun. Mencermati komposisi diatas, PKI bermaksud memanfaatkan ketiga elemen kunci pengendali strategis Ibu Kota untuk memperlancar perebutan kekuasaan, yaitu Tjakrabirawa (pasukan pengawal Presiden), Brigif I Kodam V/Jaya (inti pasukan pengamanan Ibu Kota) dan P3AU (pemegang kendali pangkalan udara). Selain masalah komitmen terhadap PKI, ketiganya dianggap memiliki pengetahuan mendalam tentang kelebihan dan kelemahan ketiga kesatuan tersebut. Selain untuk kepentingan teknis operasi, ketiga elemen strategis ini juga diperlukan sebagai campaign, untuk menarik satuan-satuan lain agar bergabung dan memberikan dukungan gerakan militer yang akan dilakukan. Oleh karena itu dapat dipahami kenapa Letkol Inf. Untung (Danyon Tjakrabirawa) dan bukan Brigjen Soepardjo yang dipilih sebagai pimpinan gerakan militer, karena yang bersangkutan dapat direpresentasikan sebagai suara resmi institusi pengamanan Presiden.
Rencana gerakan militer disusun secara rapi dan berlindung dibalik agenda-agenda resmi seperti pelatihan sukwan di Lubang Buaya dengan dalih persiapan mobilisasi Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia), pemanfaatan momentum Hari ABRI tanggal 5 Oktober untuk mendatangkan pasukan-pasukan dari daerah dan koordinasi kedinasan seperti antara Brigjen Soepardjo dengan Omar Dhani yang sama-sama berdinas dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga). Walaupun beda kesatuan, dengan alasan kedinasan pelaksanaan Kolaga, Brigjen Soepardjo dengan Omar Dhani dapat leluasa melakukan koordinasi memberi dukungan G 30 S/PKI. Tercermin dari kesediaan Omar Dhani memenuhi permintaan Brigjen Soepardjo (via Mayor Udara Sudjono) memberikan bantuan persenjataan pasukan penculik pada malam penculikan Jenderal TNI-AD, (Lihat, Victor M. Fic., hlm 155).
Paska gerakan militer, akan disusul gerakan politik dengan pembentukan Dewan Revolusi sebagai sumber kekuasaan tertinggi di Indonesia. Pada fase ini dekonstruksi seluruh tatanan politik akan dilakukan dan menggantinya dengan sistem Komunis, termasuk mengganti para pejabat oleh kader-kader PKI.
Kedua, propaganda publik —yang dilakukan Aidit dan anggota CC Politbiro melalui ceramah dan media massa— untuk mengesankan bahwa momentum revolusioner telah sampai puncak dan oleh karena itu kepada pelaksana inti gerakan, anggota PKI maupun simpatisannya tidak ragu-ragu bertindak. Perlu diingat, bahwa rencana perebutan kekuasaan yang akan dilakukan PKI dibangun di atas “fatamorgana situasi revolusioner” berupa argumentasi dan justifikasi moral yang rapuh. Justifikasi moral itu berupa isu rencana kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden pada tanggal 5 Oktober 1965 yang harus didahului, adanya dokumen Gilchrist yang dihembuskan sebagai bukti dukungan CIA terhadap Dewan Jenderal dan masa depan Presiden yang tidak akan berumur panjang. Ketiga justifikasi moral itu tidak cukup didukung bukti-bukti dan dihembuskan sebagai wacana yang bersifat spekulatif. Untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan kritis atas kebenaran isu yang dibuatnya, elit PKI melancarkan propaganda dengan mengesankan bahwa gelombang besar revolusioner sedang bergerak dan kepada kader maupun simpatisan yang diberi tugas agar bekerja secara baik tanpa banyak bertanya. Maka dapat dipahami ketika kelak dihadapan Mahmilub, para pelaku gerakan penculikan Jenderal TNI AD tidak bisa menyodorkan bukti otentik kebenaran isu Dewan Jenderal.
Ketiga, penciptaan “politik kesan” bahwa gerakan mendahului Dewan Jenderal merupakan perintah Presiden. PKI (melalui ketua Biro Chusus Central, Sjam) menanamkan pemahaman/ mengesankan bahwa pembersihan (penculikan) para Jenderal TNI AD merupakan bagian dari usaha melindungi Presiden dari coup Dewan Jenderal. Penciptaan politik kesan dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari satuan-satuan ketentaraan yang dijadikan target untuk menjalankan misi “pembersihan” terhadap pimpinan TNI AD. Argumentasi ini bukan ditujukan sebagai konsumsi Letkol Untung, Mayor Udara Sujono maupun Kol. A. Latief yang sejak awal, dalam rapat-rapat “komando pembersihan” telah mengetahui adanya skenario pembentukan Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora (perebutan kekuasaan). Pemilihan Letkol Inf. Untung dan penggunaan sebagian pasukan Tjakrabirawa sebagai unsur pasukan pengawal Presiden merupakan bagian dari upaya mengelabui berbagai pihak —seperti kesatuan 530 & 454— untuk secara fanatik termobilisasi dan mendukung gerakan pembersihan pimpinan TNI AD dalam rangka menyelamatkan Presiden.
Keempat, test case kesigapan pimpinan TNI-AD melalui hembusan isu penculikan. Sebagaimana kasus tanggal 18 September, kesiagaan para Jenderal TNI AD terhadap isu akan adanya penculikan —yang dilaporkan Jenderal S. Parman kepada Jenderal A. Yani— ternyata tidak menemukan bukti. Hal itu menyebabkan informasi rencana penculikan berikutnya (sebagaimana diterima Mayjen MT. Haryono) antara tanggal 29 s/d 30 September, tidak ditanggapi dan diantisipasi secara memadai. Terlepas adanya analisis bahwa masalah kesiapan teknis merupakan faktor penyebab penundaan hari H dan jam J penculikan para Jenderal, penundaan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian informasi seputar kapan pelaksanaan penculikan para Jenderal akan dilakukan.
Pada awalnya gerakan pembersihan pimpinan TNI AD akan dilaksanakan tanggal 19 September 1965 untuk secara simbolis “membayar kegagalan” kudeta Madiun. Karena ada kesulitan teknis (rapat-rapat persiapan masih berlangsung) maka ditetapkan hari H gerakan militer pada HUT ABRI 5 Oktober 1965. Rencana ini juga mengalami kegagalan karena usulan Letkol. Inf. Untung —sebagai salah satu panitia HUT TNI— menyangkut formasi pasukan defile mengundang kecurigaan. Ia mengusulkan susunan defile pasukan dengan formasi Cakrabirawa pada posisi paling depan, disusul Jon 530, RPKAD, Jon 454, Pasukan Kudjang, Sukwan/Angkatan V dan terakhir “massa”. Namun usulannya agar “semua pasukan tidak diberi peluru tajam” telah mengundang kecurigaan berbagai pihak akan adanya pihak-pihak lain sedang “merencanakan sesuatu”. Munculnya kecurigaan dari berbagai pihak itu menjadi bahan evaluasi bagi PKI untuk mempercepat gerakan dan ditetapkan ulang pelaksanaannya pada tanggal 29-30 September 1965 (Rosamona, hlm 24-26..
Kelima, netralisasi potensi penghambat gerakan. Langkah ini dilakukan dengan mengirimkan 600 pejabat negara untuk menghadiri undangan pemerintah RRC dalam peringatan HUT Kemerdekaan RRC 1 Oktober 1965. Pengosongan pejabat tinggi negara itu dalam rangka:
- Untuk mengurangi potensi kritis terhadap langkah-langkah PKI sehingga perebutan kekuasaan berjalan dengan mulus. Eksodusnya para pejabat tinggi, menjadikan arena pertarungan hanya menyisakan barisan PKI dan sedikit lawan yang tidak mampu menggerakkan kekuatan birokrasi pemerintahan untuk menghadang langkah-langkah PKI.
- Untuk mempermudah pergantian pejabat tinggi dengan calon-calon PKI. Ketika gerakan perebutan kekuasaan di Indonesia berhasil, para delegasi Indonesia yang sedang berada di RRC dapat dengan mudah dihabisi oleh kader-kader Komunis RRC dan posisinya di Indonesia diganti oleh calon-calon PKI.
Mencermati skenario tersebut, keputusan PKI melakukan perebutan kekuasaan pada tahun 1965 dilatarbelakangi oleh dua hal:
- Jatuh sakitnya “kawan sementara” sosok Presiden Soekarno yang powerful dan kharismatis, dijadikan momentum bagi PKI untuk mengevaluasi koalisi taktisnya dengan kalangan borjuasi nasional dan segera memutuskan skema baru perebutan kekuasaan di Indonesia. Pada awalnya, Presiden Soekarno merupakan garansi bagi skenario “kudeta merangkak” PKI untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Komunis. Perlindungan istimewa yang diberikan Presiden terhadap PKI diyakini akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Komunis pada tahun 1970 melalui proses alamiah (menguasai parlemen dan birokrasi). Tidak efektifnya kepemimpinan Presiden Soekarno —berdasarkan analisis dokter-dokter Cina, Presiden dapat meninggal dalam waktu cepat atau menderita kelumpuhan permanen— akan menghadapkan PKI secara vis a vis dengan TNI-AD yang kekuatannya memili potensi untuk membalik keadaan dengan menggulung superioritas PKI dalam waktu singkat.
- PKI merasa cukup percaya diri dengan situasi revolusioner yang diciptakannya atau mungkin juga karena dukungan/dorongan “partai sekawan” dalam payung Comintern (Communist International) maupun negara–negara Komunis tetangga —khususnya RRC— untuk segera mengambil alih kekuasaan di Indonesia. PKI kemudian menciptakan politik medis dengan memanfaatkan dokter-dokter Cina untuk mempengaruhi (mengerjai) kesehatan Presiden. Perlu diingat, sebelum sakit keras pada tanggal 4 Agustus 1965 (muntah-muntah dan hilang kesadaran), dokter-dokter Cina telah merawat Presiden sejak Bulan Juni. Pada saat kesehatan Presiden berada dalam kondisi kritis, PKI akan menjalankan agenda pemusnahan lawan-lawannya (pimpinan puncak TNI AD) dengan mengatasnamakan kebijakan Presiden. Tahap selanjutnya —dengan cara halus maupun dengan cara paksa— Presiden sendiri akan dilenyapkan dan semua tatanan di Indonesia sepenuhnya dikendalikan PKI. Perlu diingat, pada tanggal 24 September 1965 —6 hari sebelum G 30 S/PKI meletus— di depan anggota Sarbupri Aidit memberi sinyal untuk tidak tergantung pada “distribusi kewibawaan” Presiden Soekarno.
Melalui dua hal itu —Presiden Soekarno benar-benar sakit atau sakitnya diskenariokan dokter-dokter Cina atas pesanan Aidit dan pemerintah RRC— PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan di Indonesia melalui skema sederhana. Tahap pertama, akuisisi kekuatan militer (TNI AD) dengan mengganti masinisnya untuk digantikan orang-orang yang bisa dikendalikan PKI. Keberhasilan akuisisi TNI-AD akan segera menjadikan PKI memiliki superiotas politik dan militer sekaligus. Mereka terlalu menyederhanakan persoalan dengan mengasumsikan ratusan ribu prajurit TNI —yang telah memperoleh tempaan nasionalisme dan pengalaman tempur pada masa revolusi fisik— layaknya robot dan dianggap secara otomatis akan mengikuti pimpinan baru pilihan PKI.
Kedua, pemaksaan perubahan tatanan politik dan kepemimpinan nasional. Setelah TNI-AD berhasil ditaklukkan, PKI mengasumsikan perubahan tatanan politik dan kepemimpinan nasional dapat dilakukan dengan mudah ibarat membalik telapak tangan. Ketokohan Presiden Soekarno (yang sudah merosot kesehatannya) juga akan mudah dieliminasi manakala TNI-AD sebagai kekuatan penyangga utamanya sudah ditaklukkan dan dijadikan sebagai barisan pendukung. Terlepas secara policy Presiden Soekarno selama beberapa tahun terakhir sangat berpihak kepada PKI, namun tidak bisa dipungkiri jika eksistensinya ditopang dengan memainkan dua bandul kekuatan yang berhadapan secara diametral (PKI dan TNI). Skenario penumbangan Presiden Soekarno secara halus terbaca dari statemen Menlu RRC Chen Yi kepada Subandrio bahwa dirinya (Chen Yi) telah menyiapkan Danau Angsa (RRC) sebagai tempat peristirahatan (pengasingan) Presiden Soekarno. Skenario ini identik dengan pengasingan Norodom Sihanouk ke RRC setelah digulingkan Polpot (Lihat, Aristides Katoppo, Menyingkap Kabut Halim, Jakarta: Sinar Harapan, 2000, hal 46-48).