DARI LAMTORO YANG BISA BIKIN LUPA MERTUA SAMPAI MENGEJAR BESI TUA
Presiden Menjamu Pengurus PWI Dan Pemred Di Tapos
“Daripada hanya membaca di surat kabar, sekarang bisa dilihat. Inilah lamtorogung”, kata Presiden Soeharto kepada puluhan tamunya di bawah sebuah pohon rindang. Dengan tongkatnya terbuat dari rotan, Presiden menunjuk pohon lamtorogung itu yang katanya ditanam tahun 1981.
Minggu pagi itu Kepala Negara menjamu sejumlah Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia dan para pemimpin redaksi berbagai penerbitan dari seluruh Indonesia di peternakan terpadu “Tri S” di Tapos, Ciawi Kabupaten Bogor Jawa Barat.
“Ada beberapa keterangan mengenai Tapos, barangkali dapat digunakan sebagai bahan-bahan nanti dengan mengetahui keadaan sebenarnya. Permintaan Menteri Penerangan untuk meluangkan waktu sudah saya penuhi walaupun kemungkinan tidak memuaskan. Demikianlah keadaan daripada Tapos, sudah banyak yang ditulis dan didengar, keadaannya tidak lebih dan tidak kurang daripada apa yang disaksikan oleh saudara-saudara”, katanya pada wartawan-wartawan itu.
Kepala Negara yang didampingi Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan Prof. Dr. JH Hutasoit, mengajak para tamunya itu meninjau usaha apa yang ada serta menjelaskan bagaimana penanganan pertanian dan peternakan milik PT. Rejo Sari Bumi Unit Tapos tsb.
Bisa Lupa Mertua
Di bawah sebuah pohon lamtorogung itu, Kepala Negara mengajak tamunya berhenti sejenak.
“Hanya 4 tahun keadaannya sudah demikian”, katanya. Bibitnya menurut Presiden didatangkan dari Filipina sebagai hasil penyilangan dari Brazilia. “Memang di Indonesia sudah dikenal lamtoro atau pete-cina, tetapi dalam 5 tahun paling sebesar lengan”, tuturnya.
Lamtorogung ini gunanya banyak, katanya lagi. Bisa untuk makanan ternak, penghijauan dan reboisasi. Lamtoro asli yang kita kenal kalau diberikan menjadi makanan ternak bisa menyebabkan rontok bulu sapi, tetapi lamtorogung tidak demikian. Pemberian nama lamtorogung artinya besar manfaatnya dan cepat pertumbuhannya.
Selain daunnya, kayunya juga bisa digunakan untuk arang. Di Amerika arang lamtoro sangat digemari untuk membakar steak sehingga nilai ekspornya juga ada.
Selain itu untuk membakar biji besi untuk membuat besicor. Kita saat ini katanya, masih mengimpor 150.000 (tanpa menyebutkan satuan beratnya) besicor.
Pabrik kertas Basuki Rachrnat juga memakai bahan lamtoro “untuk pabrik kertas juga lamtoro bermutu tinggi, sebagai pulp”, tambahnya.
Di NTT lamtoro sudah banyak digunakan makanan ternak di musim kemarau, karena rumput sulit diperoleh. “Selain untuk ternak sapi, untuk unggas dan ikan juga lamtoro baik karena proteinnya tinggi”.
Untuk makanan manusia, lamtoro sudah lama dikenal untuk lalap.
Presiden pun menuturkan bahwa di Jawa Tengah, buahnya yang agak tua dicampur dengan teri “bisa lupa mertua”. Guyon Presiden ini disambut gelak tawa oleh tetamunya.
Saat ini oleh PKK telah dijadikan sebagai bahan untuk kecap dan di Wonogiri untuk tempe.
Biogas
“Sekalipun agak bau, sabar dulu sebentar”, kata Presiden sambil tertawa mengajak berhenti di tepi sebuah “kolam”. Semua kotoran dari kandang disedot ke tempat itu. Yang sudah mengambang di ambil dan dilemparkan ke lapangan untuk pupuk rumput, dan diambil biogasnya.
Dijelaskan juga bagaimana caranya mengambil biogas itu. Kotoran dicampur 1 banding 1 dengan cara sederhana.
“Petani yang mempunyai sapi 3-4 ekor dapat menghasilkan kotoran 2 blek setiap hari. Dari padanya akan diperoleh gas 2 jam lamanya yang bisa dipergunakan untuk masak dan lampu di malam hari”, tambahnya.
Secara panjang lebar Presiden juga menerangkan proses biogas itu hingga bisa dimanfaatkan untuk memasak susu bubuk untuk anak sapi yang induknya diperah.
Katanya, sapi perah, anaknya sejak lahir telah dipisahkan dan makanannya diganti dengan susu bubuk, sekaligus dilatih untuk makanan rumput.
Induk sapi itu rata-rata dapat diperah 9 bulan. Setelah 2 bulan melahirkan telah dipisahkan dan 2 bulan sebelum melahirkan masih menghasilkan susu.
“Sehingga rata-rata seekor sapi menghasilkan 9,1 liter setiap hari. Walaupun bervariasi sewaktu melahirkan sampai dengan bisa menghasilkan 15 liter per hari, tetapi itu tergantung masa waktu laktasinya,” tambah Presiden Soeharto.
Madrali
Presiden juga menunjukkan sapi-sapi pejantan asal Jawa Timur katanya turunan banteng dari Blambangan. Besarnya tidak kalah dengan sapi impor dari Australia.
“Masyarakat Madura menamakannya Madrali sebagai gabungan Madura dan Australia, karena hasil penyilangan”, kata Presiden sambil tertawa.
Menurut Presiden, sapi lokal usia 6 tahun beratnya baru 350 kg, sedang sapi yang disilang dalam jangka waktu 20 bulan sudah mencapai 500 kg, jadi faktor waktu itu saja menguntungkan katanya.
Namun di Tapos yang dikembangkan hanya sampai penyilangan ke-3 sebab ke-4 sudah tidak menguntungkan lagi bagi petani.
“Saat ini kita tidak mengimpor yang kita impor hanya bibitnya dan itu kita kembangkan kita beli yang sudah bunting 3-4 bulan. Kita beli satu kita peroleh dua”, katanya tetap dengan senyum dan tawa.
Membeli sapi perah bisa US$ 25.000,- sampai US$ 100.000. Tapi itu bisa lebih mahal karena dengan teknologi yang diambil adalah spermanya. Setiap minggu 2 kali mengambil, jadi kalau 5 tahun bisa menghasilkan jutaan dollar. Kan kalau kawin langsung hanya menghasilkan satu dan monopoli.
Presiden juga menerangkan tentang proses pemerahan susu sapi, mulai dari pembersihan, pemerahan, pencegahan dari bakteri, pemanasan sampai masuk tangki.
“Kita tidak membuat keju, terlalu mewah, katanya menjawab pertanyaan seorang tamu” Susu ini sudah bisa langsung diminum”, katanya lagi sambil tertawa.
Dari makanan ternak yang bermutu akan diperoleh hasil ternak yang baik. Di Tapos ini dikembangkan penelitian makanan ternak yang bermutu tinggi.
Sapi mengeluarkan kotoran, dan kita lemparkan ke lapangan untuk rumput-rumput akan subur dengan pemupukan yang baik, yang akan diberikan lagi kepada sapi yang akan memberikan hasil sapi yang baik pula, ujar Kepala Negara memberikan “kuliah singkat” tentang daur ulang.
Presiden juga menunjukkan bagaimana proses pengadaan makanan ternak dari limbah jerami. “Ada seorang putera Indonesia yang menekuni sehingga jerami bisa diproses dengan amoniak atau urea sehingga memperoleh mutu yang tinggi dan tahan sampai 6 bulan,” katanya.
Penemuan baru itu dilakukan oleh Dr. Ir. Abdul Komar almarhum dan saat ini dilanjutkan oleh keluarganya. Isteri almarhum, Dr. Ir. Sri Banyati, yang juga hadir di Tapos, memperagakan proses itu pada para tetamu.
Di Tapos saat ini ada 5 silo (gudang penyimpangan makanan ternak) berdiri. Yang dua sudah lama, dan yang tiga baru 1 bulan yang lalu dan belum Siap.
“Barangkali masih saudara ingat bahwa waktu pembangunan Hotel Indonesia ada juga cita-cita untuk mensuplay sendiri susu dan daging sapi. Untuk itu di Sukabumi dibangun pusat peternakan. Akan tetapi tidak jadi. Alat-alat yang sudah ada dijual saja besi tua kepada orang yang tidak mengerti. Kita telusuri ke mana dijual dan setelah ditemukan kita beli. Dengan adanya pengertian mereka menjualnya dan kita beli dengan harga serap. Karena mereka membelinya memang sudah harga besi tua,” kata Presiden.
Presiden juga mengatakan, Krakatau Steel telah diminta untuk membuat alat pemotong rumput yang sederhana dan murah, yang contohnya dipertunjukkan kepada hadirin.
Kambing Saanen
Tidak hanya sapi yang dikembangkan di Tapos. Kepada tamunya dari berbagai tempat di Indonesia itu, Presiden menerangkan bagaimana caranya memperoleh jenis baru domba dan kambing yang sesuai dengan iklim Indonesia.
Domba lokal, katanya, sangat jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan asal impor. Seperti Suffalk, Donner, Dorser, Merino, South Down, Dorset Down. Sedang asal Indonesia domba Gibas dan basil penyilangan disebut Sufbas I, II dan III Dorbas I, II dan III. (RA).
…
Jakarta, Sinar Harapan
Sumber : SINAR HARAPAN (22/06/1985)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 305-308.