Lidah Bercabang, Kepala Bertanduk

Jakarta, 1 Juni 1998

Kepada

Yth. Bapak H.M. Soeharto

di Tempat

 

LIDAH BERCABANG, KEPALA

BERTANDUK [1]

 

Salam Sejahtera,

Apa kabar Bapak? Semoga sehat-sehat dan selalu berada di bawah ridho Yang Maha Kuasa. Terutama di saat seperti ini, di mana setiap orang merasa tidak punya dosa dan hanya Bapak saja yang berdosa.

Saya bukan mau sok-sokan namun kalau menurut saya sepertinya apa yang terjadi sekarang ini lucu. Setiap orang menjadi latah, tak mau kenal Bapak. Semua orang sepertinya ngak pernah kolusi, korupsi atau nepotisme dan koncoisme. Coba waktu Bapak masih menjabat, semua orang nunduk, manggut-manggut, senyum-senyum, kalau mungkin menjilat kaki Bapak. Tapi ngak apa-apa Pak. Ibarat kata, “Ada uang abang disayang, tidak ada uang abang melayang”.

Tentang jumlah kekayaan Bapak, saya rasa itu rezeki Bapak. Mau jujur atau curang tapi itu adanya. Mereka kayaknya lupa kalau masalah rezeki itu Tuhan yang atur. (kalau dikasih juga pada rebutan, Bapak bisa lihat orang-orang yang pada matokin tanah di Cengkareng. Semuanya kepengin punya, dan caranya juga tidak jujur). Saya hanya bisa berharap Bapak tetap tegar menghadapi hal-hal tersebut seperti waktu Bapak muda dulu, berjuang demi bangsa dan negara (suatu hal yang sudah tidak diingat oleh kebanyakan orang).

Sebetulnya banyak yang mau saya tulis seperti masalah petualang-­petualang politik yang mau memancing di air keruh, yang memanfaatkan mahasiswa yang berjuang dengan kemurnian. Sebelum Mahasiswa berdemo, mereka pada ke mana.

Pokoknya banyak deh di Indonesia ini yang lidahnya bercabang, kepalanya bertanduk punya buntut yang ujungnya tajam, tapi semua itu berhasil disembunyikan dengan amat baik dan rapi. Akhir kata, mohon maaf apabila bahasa saya semrawut dan tidak sopan. Semoga Bapak tetap tegar menghadapi semua omong kosong yang beredar sekarang ini.

Mohon maaf juga kalau saya tidak mencanturnkan nama dan alamat saya, maklum banyak yang lagi jagoan. (DTS)

Semoga Tuhan Memberkati, Amien

ttd

Salah satu rakyat Indonesia

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 1040-1041. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.