M Kharis Suhud: Pak Harto Intuisinya Sangat Tajam (Bagian 1)

Intuisinya Sangat Tajam, (Bagian 1) [1]

M Kharis Suhud [2]

 

Perkenalan saya secara langsung dengan Pak Harto terjadi sekitar bulan November 1965 pada waktu saya menjabat Wakil Asisten I Menpangad dan berkantor di MBAD di Jalan Merdeka Utara. Waktu itu Pak Harto memegang pimpinan Angkatan Darat tapi masih merangkap sebagai Pangkostrad, sehingga beliau kadang-kadang berkantor di MBAD. Semula jabatan saya adalah Wakil Direktur Intelijen Staf Angkatan Bersenjata, kemudian pada bulan Oktober 1965 menerima keputusan pimpinan Angkatan Darat yang ditandatangani oleh Asisten III Pangad Mayjen. Pranoto untuk menjabat Kepala Staf Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Pemindahan ke Medan ini batal, karena pada waktu Kolonel (waktu itu) Tjokropranolo datang ke kantor saya di Tebet, untuk menganalisa peristiwa G-30-S/PKI, saya sekaligus berpamitan untuk melaksanakan perintah pemindahan ke Medan. Reaksi Pak Tjokropranolo adalah, beliau keheranan tentang pemindahan saya ke Medan itu. Pak Tjokropranolo yang menjabat sebagai As Intel Kostrad waktu itu melaporkan kasus saya tersebut kepada Pak Harto, yang kemudian mengeluarkan surat keputusan baru yaitu bahwa saya dipindahkan ke MBAD sebagai Wakil Asisten I Menpangad, dan sekaligus membatalkan keputusan untuk saya mengenai pemindahan ke Medan.

Kebetulan Asisten I Menpangad yang baru, yaitu Mayjen. (waktu itu) Sugih Arto, yang harus menggantikan almarhum Letjen. S Parman, yang gugur sebagai akibat G-30-S/PKI, belum menduduki jabatannya yang baru karena masih menjabat Duta Besar Indonesia di Rangoon, Birma. Dengan demikian saya sering ikut menghadiri rapat pimpinan Angkatan Darat yang kadang-kadang dipimpin langsung oleh Pak Harto. Saya menjabat Wakil Asisten I Angkatan Darat menggantikan Kolonel (waktu itu) Yunus Samosir yang mendapat tugas masuk pendidikan di Seskoad Bandung, dan saya memegang jabatan ini dari tahun 1965 sampai tahun 1967, karena mendapat jabatan baru sebagai atase militer pada Kedutaan Besar RI di Washington DC, Amerika Serikat.

Pada bulan September 1974, saya diangkat sebagai Ketua Misi Garuda ke Saigon, Vietnam Selatan. Indonesia bersama dengan Kanada (yang kemudian digantikan oleh Iran)., Hongaria, dan Polandia menjadi anggota ICCS singkatan International Commission for the Control of Cease Fire in South Vietnam. Pada pertengahan Maret 1975 Vietnam Utara melancarkan serangan umum terhadap Vietnam Selatan yang mengakibatkan seluruh Vietnam Selatan, kecuali ibukota Saigon dan sekitarnya, jatuh ke tangan Vietnam Utara. Dari Menhankam/Pangab saya menerima perintah untuk menarik mundur seluruh personil Garuda dan memulangkan mereka ke Jakarta. Mengingat bahwa semua anggota ICCS lainnya masih tetap di Saigon, penarikan mundur Garuda ke Jakarta menimbulkan protes dan reaksi keras dari ketua-ketua delegasi anggota ICCS lainnya; dan selain itu juga protes keras pemerintah Vietnam Selatan dan sikap kurang enak dari Duta Besar Amerika Serikat di Saigon. Saya laporkan seluruh kejadian tersebut kepada Menteri Luar Negeri Adam Malik dan mengusulkan agar saya bersama-sama dengan kontingen Hongaria, Iran, dan Polandia yang masih tetap berada di Saigon, menyaksikan pengambilalihan Vietnam Selatan oleh Vietnam Utara.

Usul saya tersebut timbul karena kebetulan sejak tanggal 25 April1975 serangan Vietnam Utara mendadak berhenti kurang-lebih 20 kilometer di depan Saigon, yang oleh para anggota ICCS lainnya dan para duta besar asing yang masih ada di Saigon diartikan sebagai pertanda bahwa Vietnam Utara ingin menyelesaikan perang dengan Vietnam Selatan dengan cara politik melalui perundingan dan tidak dengan cara militer. Ini sesuai dengan statement Vietnam Utara yang selalu mengatakan bahwa apa yang terjadi di Vietnam Selatan adalah pemberontakan rakyat Vietnam Selatan yang sangat membenci pemerintah Vietnam Selatan, sehingga menimbulkan kesan, bahwa pasukan tentara pembebasan Vietnam Selatan sendirilah (Vietcong) yang menyerang Saigon dan bukan tentara dari Vietnam Utara. Duta Besar Amerika Serikat dan anggota-anggota lCCS lainnya sangat optimis bahwa akhirnya jalan perundinganlah yang akan ditempuh oleh Vietnam Utara. Disamping itu optimisme tersebut diperkuat oleh perkembangan baru di bidang politik di Vietnam Selatan yaitu dengan mundurnya Presiden Vietnam Selatan Nguyen Van Thieu dan digantikan oleh Presiden Duong Van Minh yang dianggap bisa diterima (akseptabel) oleh Vietnam Utara untuk berunding. Dengan demikian harapan bahwa penyelesaian masalah Vietnam melalui jalan politik tumbuh lagi, sehingga kalau terjadi perundingan, kehadiran ICCS sangat diperlukan.

Atas usul saya tersebut Pak Adam Malik memberikan izin kepada saya untuk tetap tinggal di Saigon dengan catatan bahwa jumlah personil kontingen Indonesia dibatasi sampai sekecil mungkin, sedang selebihnya harus saya kirim pulang. Maksudnya ialah agar dalam keadaan darurat, jumlah kecil itu mudah mengungsikannya. Pada tanggal 27 April1975 kurang lebih jam 03.00 pagi saya mengadakan hubungari radio dengan Ketua Gabungan I/Intel Hankam yaitu Mayjen (waktu itu) Benny Moerdani. Dari Jenderal Benny saya mendapat berita bahwa saya bersama seluruh personil Garuda yang jumlahnya tinggal 10 orang itu harus segera meninggalkan Saigon dan untuk keperluan itu akan dikirim pesawat Hercules AU yang akan tiba di Saigon pukul 09.00. Saya beritahukan kepada Jenderal Benny bahwa dari Menteri Luar Negeri saya sudah mendapat izin untuk bersama-sama anggota ICCS lainnya (Hongaria, Iran, Polandia) menyaksikan pengambilalihan Saigon oleh Vietnam Utara/Vietcong. Oleh Jenderal Benny ditegaskan bahwa: “Ini perintah dari Pak Harto sendiri”.

Tanggal 27 April 1975 kurang-lebih jam 14.00, kontingen Garuda meninggalkan Saigon dengan pesawat Angkatan Udara yang dikirim dari Jakarta. Ketua Delegasi Hongaria, Iran dan Polandia, demikian pula pembesar-pembesar pemerintah Vietnam Selatan dan Duta Besar Amerika Serikat, menunjukkan sikap kurang enak waktu saya pamitan sebagai pertanda ketidaksetujuan mereka atas keberangkatan saya dari Saigon.

Ternyata keputusan Pak Harto memang tepat dan dari peristiwa inilah saya menarik kesimpulan bahwa beliau mempunyai intuisi yang tajam. Sebab, pada tanggal 27 April 1975 sejak jam 18.00 lapangan terbang Tan Son Nhut di Saigon dihujani tembakan meriam oleh pasukan Vietnam Utara, sehingga sejak saat itu sudah tidak dapat digunakan lagi; tidak ada lagi pesawat terbang yang bisa mendarat atau lepas landas di situ. Andaikata saya terlambat meninggalkan Saigon atau masih tetap tinggal di situ, saya tentu akan mengalami keadaan yang sangat buruk seperti yang dialami oleh para duta besar dan perwakilan negara asing yang tetap optimis akan terjadinya perundingan, seperti para duta besar Amerika Serikat, Iran, Jepang, dan lain-lain. Hal ini saya ketahui belakangan sesudah saya menjabat Duta Besar untuk Kerajaan Muangthai.

Selesai bertugas di Saigon, pada bulan Juli 1975 saya diangkat menjadi Duta Besar untuk Kerajaan Muangthai. Pada tahun 1977 saya bertemu dengan Duta Besar Jepang yang baru untuk Kerajaan Muangthai. Dia adalah mantan Duta besar Jepang untuk Vietnam Selatan ketika saya bertugas di Saigon, sehingga kami sudah saling mengenal. Dari Duta Besar Jepang itulah saya mengetahui bagaimana gawatnya situasi di Saigon setelah kontingen Garuda meninggalkan Saigon. Dengan tidak bisa digunakannya lapangan terbang Saigon dan dimulainya lagi serangan o1eh pasukan Vietnam Utara, maka semua pengungsian keluar dari Saigon terpaksa harus dilakukan secara tunggang langgang dengan helikopter yang kemudian diangkut ke-kapal perang Armada Ketujuh Amerika yang berada di Laut Cina Selatan untuk kemudian dibawa ke Filipina. Duta Besar Amerika dan Duta Besar Iran serta beberapa diplomat asing lainnya meninggalkan Saigon dengan susah payah dengan hanya membawa tas kecil dan diangkut dengan helikopter bersama-sama ribuan rakyat Vietnam Selatan yang berdesak-desak berebut tempat karena ingin mengungsi.

Sedangkan Duta Besar Jepang tidak bisa meninggalkan Saigon karena pesawat terbang JAL yang oleh pemerintahnya dijanjikan akan datang menjemput tanggal 29 April 1975, sudah tidak mungkin bisa mendarat di Saigon, sehingga ia terpaksa tinggal ditempat dan menunggu kurang lebih enam bulan tanpa bisa berbuat apa-apa, seperti dalam keadaan tahanan kota.

Dari pengalaman inilah saya menarik kesimpulan bahwa Pak Harto dengan tepat mengantisipasi keadaan sehingga tindakan yang cepat dan tepat dapat segera dilakukan. Andaikata beliau tidak cepat memutuskan agar kami meninggalkan Saigon, kemungkinan besar kami akan menghadapi nasib yang sama seperti yang dialami oleh Duta Besar Iran atau Duta Besar Jepang. Mungkin dalam menghadapi masalah komunis, Pak Harto sudah bersikap apriori, antara lain dalam menghadapi masalah di Vietnam Selatan beliau rupanya sejak semula sudah tidak begitu percaya bahwa ICCS akan berhasil melaksanakan tugasnya, mengingat pengalaman beliau menghadapi cara-cara yang sudah biasa digunakan oleh komunis.

***



[1]     M Kharis Suhud, “Instuisinya Sangat Tajam”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun”, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 732-741.

[2]     Ketua  MPR/DPR  masa  bakti  1988-1992.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.