Martono: Pak Harto Tegas Dalam Pendirian, Tetapi Luwes dan Bijak

Tegas Dalam Pendirian, Tetapi Luwes dan Bijak

Martono (Menteri Muda Transmigrasi periode 1978-1983; dan Menteri Transmigrasi periode 1983-1988)

Sejak tahun 1946 saya sudah mendengar nama Pak Harto di Yogya. Pada waktu itu beliau menjadi komandan salah satu pasukan TRI (Tentara Rakyat Indonesia). Saya bersekolah di sana setelah saya pindah dari Jakarta ke Yogya. Pada tahun 1948 saya tamat dari SGA (Sekolah Guru Atas) kemudian masuk jurusan pedagogi Universitas Gadjah Mada; tetapi studi saya terhenti pada bulan Desember 1948.

Sewaktu di SGA, saya membentuk tentara pelajar dan diresinikan oleh Pak Mustopo (yang kemudian dikenal sebagai Prof. Dr. Mustopo) pada tanggal17 Juli 1946. Pada waktu itu Pak Mustopo bekerja pada Kementerian Pertahanan dan saya adalah salah seorang stafnya.

Saya sering dibawa berkeliling ke front-front Jawa Tengah, Barat dan Timur. Beliau juga memimpin beberapa pertempuran. Ketika itu yang menjadi Menteri Pertahanan ialah Mr. Amir Sjarifuddin dan Kepala Stafnya adalah Pak Urip Soemohardjo.

Pada masa perjuangan kita mempunyai berbagai badan atau organisasi perjuangan. Para pelajar juga mempunyai organisasi perjuangan yang tergabung dalam beberapa batalyon seperti Batalyon 100 yang meliputi daerah sekitar Solo yang dipimpin oleh Mas Prakoso (kemudian pernah menjadi Rektor Universitas 11 Maret); Batalyon 200 yang meliputi daerah sekitar Salatiga dipimpin oleh Mas Marwoto; Batalyon 300, dibawah pimpinan saya sendiri, meliputi daerah Utara-Selatan, Yogya dan Banyumas; Batalyon 400 pusatnya di Cirebon dibawah Pak Salamun, mantan Direktur Jenderal Pajak; sedangkan Batalyon 500, kalau tidak salah, dipimpin oleh Mas Moh. Rauf dan Mas Pung Poerwoko. Semua batalyon ini berada di Jawa Tengah.

Di Jawa Timur juga ada, yaitu yang kita kenal dengan sebutan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang dipimpin oleh Mas Isman. Begitu pula di Jawa Barat.

Sekitar tahun 1947 diadakan reorganisasi Angkatan Perang RI. Semua diseleksi dan yang kira-kira cukup baik dimasukkan kedalam pasukan yang aktif, sedangkan yang lainnya sebagai cadangan. Tentara ini dikenal sebagai TNI Masyarakat yang dikoordinir oleh biro perjuangan. Disamping ini semua, kita mengenal pula TRI (Tentara Republik Indonesia) yang kemudian menjadi TNI resmi. Jadi pada waktu itu ada TNI resmi, dan ada TNI Masyarakat. Pak Harto berasal dari TRI.

Setelah persetujuan Renville, pusat pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogya. Reorganisasi Angkatan Perang dilakukan lagi. Sekarang tentara dibentuk dalam brigade-brigade. Yang berasal dari Jawa berada dalam Brigade I sampai XV, yang dari luar Jawa masuk Brigade XVI, sedangkan TNI yang berasal dari pelajar masuk Brigade XVII. Tidak ada lagi TNI masyarakat, semua sudah terwadahi dalam brigade-brigade. Pak Harto menjadi Komandan Brigade X yang sangat terkenal itu. Saya masuk dalam Brigade XVII dan menjadi Komandan Detasemen 3.

Perkenalan saya secara langsung dengan Pak Harto terjadi pada tahun 1948, yaitu ketika saya berada dalam satu daerah operasi militer yang dipimpin oleh beliau; pada waktu itu beliau menjadi Komandan Wehrkreise III. Sekarang ini, atas prakarsa Pak Harto, kita telah membentuk Paguyuban Wehrkreise III dengan Pelindung Pak Harto, Ibu Tien, almarhum Sri Sultan HB IX,. dan Sri Paku Alam VII; sebagai Penasihat adalah Pak Djatikusumo. Pak Soetopo Yuwono sebagai Ketuanya dan saya sebagai Wakil Ketua. Kegiatan kami adalah membina kerukunan diantara anggota yang dahulu berjuang bersama dan memikirkan kesejahteraan anak buah kami, karena tidak semua mereka dapat menikmati keadaan hidup yang baik.

Setelah perang kemerdekaan, kami berpisah. Saya kembali ke bangku kuliah di Universitas Gadjah Mada yang telah saya tinggalkan sewaktu perjuangan. Kemudian saya dikirim ke Negeri Belanda untuk belajar di Universitas Leiden; di sana saya mengambil jurusan psikologi. Dalam suatu liburan, saya pulang ke tanah air dan bermaksud untuk memboyong keluarga saya.

Tetapi saya dipanggil oleh Bapak Muhammad Yamin (Menteri P dan K) dan diminta bekerja di Kementerian P dan K untuk mengurusi hal-hal yang berkenaan dengan pelajar demobilisan. Tawaran tersebut akhirnya saya terima, setelah satu malam berunding dengan isteri saya. Mungkin inilah garis Tuhan. Disamping bekerja, saya melanjutkan kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tetapi karena beratnya beban tugas saya, maka saya tinggalkan kuliah tersebut.

Ketika saya bekerja di P dan K, Pak Harto telah menjadi Panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Pada tahun 1959 saya ditugaskan oleh pemerintah pergi ke Jepang untuk membicarakan prdyek pendidikan dalam pampasan perang.

Negosiasi dengan Pemerintah Jepang membuahkan hasil bahwa kan dikirim sebanyak 500 mahasiswa dan 750 trainees Indonesia untuk belajar di Jepang. Kemudian saya diangkat menjadi atase pengajaran pada KBRl Jepang sampai tahun 1964. Pada waktu itulah Pak Harto menyertai Pak Nasution dan seorang jenderal lagi, yang saya lupa namanya, berkeliling dunia dan singgah di Jepang. Pada waktu itu Pak Harto telah menyelesaikan pendidikan beliau di SSKAD di Bandung.

Di Tokyo inilah saya betul-betul mengenal Pak Harto secara pribadi. Pada suatu malam saya diajak ke kamar beliau. Di situ belau berceritera banyak sekali terutama tentang keadaan di Indonesia. Beliau menceriterakan pula segala ”uneg-uneg” atau apa saja yang mengganjal dalam pikiran beliau. Pada waktu itu saya hanya berpikir, mengapa beliau begitu percaya kepada saya padahal kami belum pernah menjalin hubungan yang dekat.

Pada waktu itu saya merasakan bahwa kami ini seperti kakak adik saja. Dalam percakapan tersebut, beliau mengungkapkan bahwa beliau merasa seperti orang yang tidak terpakai saja. Gambaran dan analisa politik yang beliau kemukakan di Tokyo itu terbukti banyak benarnya ketika peristiwa G-30-S/PKI meletus pada tahun 1965.

Pikiran yang dikemukakan Pak Harto bahwa Bung Karno telah memberi angin pada PKI tampaknya memang benar. Apalagi setelah Bung Karno mengangkat Pranoto menjadi Pelaksana Harian pim­ pinan AD menggantikan Pak Yani. Mengapa bukan Pak Harto yang pada waktu itu menjabat Pangkostrad yang menjadi panglima AD? Kebiasaan dalam AD bahwa bila Pak Yani sedang berhalangan, Pak Harto selalu ditunjuk untuk mewakili, sedang Pranoto berada pada kedudukan yang lebih rendah daripada beliau. Tetapi pengangkatan Pranoto akhirnya dibatalkan karena memang menyalahi prosedur. Pak Harto akhirnya mengambilalih kedudukan Jenderal Pranoto yang pro-PKI itu.

Setiba saya di tanah air pada akhir tahun 1964, saya tidak mengetahui situasi politik dengan baik. Dalarri suatu pertemuan dengan beberapa orang teman yang berlangsung di kantornya Pak Achmadi yang menjadi Menteri Transkopemada, saya mendapat keterangan bahwa Bung Karno memang terlalu merangkul PKI. Kami para eks-TP tidak setuju dan bermaksud akan mengadakan kongres pada bulan Mei 1965 di Bandung; kongres tersebut kami namakan “Kongres Tujuh Belas”. Panglima Jawa Barat pada waktu itu adalah Pak Ibrahim Adjie, dengan Kepala Stafnya, Pak Solichin GP. Saya pergi ke Bandung bersama Mas Soedarto, bekas ajudan Presiden Soekarno.

Rencana kongres yang sudah kami bicarakan dengan Bapak Ibrahim Adjie dan Mas Solichin GP akhirnya gagal, karena ulah salah seorang diantara kami yang melaporkannya pada Bung Karno. Bung Karno dengan marah menelepon Bapak Ibrahim Adjie dan melarang diselenggarakannya kongres tersebut. Oleh karena itu saya menemui Bung Karno dan menjelaskan kekhawatiran kami akan hubungan beliau dengan PKI. Kami meminta kepada Bung Karno untuk tidak terlalu memberikan peluang politik pada PKI, karena kami telah menduga bahwa PKI cepat atau lambat akan mengadakan coup. Tetapi Bung Karno tidak mau mundur dari prinsipnya.

Ketika saya masuk ke kantor Badan Sensor Film, dimana saya menjadi Ketuanya, pada 1 Oktober 1965, salah seorang pegawai memberitahukan pada saya bahwa ada berita yang menyatakan bahwa Dewan Jenderal telah melakukan coup. Saya masih tidak mengerti. Akhirnya saya mengetahui bahwa tidak ada Dewan Jenderal. Coup dilakukan oleh PKI dengan dukungan beberapa oknum militer. Saya pergi ke Kementerian Penerangan untuk menemui Mas Achmadi, yang pada waktu itu menjadi Menteri Penerangan, sambil menanyakan di mana Bung Karno sekarang. Saya ingat bahwa pada tanggal 30 September malam Bung Karno membuka sebuah kongres di Senayan, pulangnya tentu beliau ke rumah Ibu Dewi.

Ketika saya menjumpai Ibu Dewi, dia bahkan tidak mengetahui di mana Bung Karno berada. Yang jelas ketika itu Bung Karno pergi ke Halim dan terus ke Bogor. Semua pertemuan dan pembicaraan saya dengan Ibu Dewi saya laporkan kepada Pak Harto dan Pak Nasution, yang pada waktu itu didampingi oleh Pak Sarbini, Pak Hidayat dan lain-lain.

Tindakan saya menghubungi Ibu Dewi dalam rangka mencari Bung Karno telah menimbulkan kecurigaan para pengawal Cakrabirawa, sehingga saya ditangkap dan dibawa ke Komdak untuk di­ interogasi. Ketika interogasi belum selesai, saya tidak boleh pulang dan dibawa ke Seksi 8. Kebetulan Kepala Seksi 8 itu bekas anak buah saya semasa gerilya dahulu, namanya Soebagyo. Ia tidak memperbolehkan saya dimasukkan dalam sel dan akan menelepon seseorang dahulu. Tiba tiba ia mendapat telepon yang memerintahkan bahwa saya harus dikembalikan ke Komdak lagi.

Interogasi berlangsung lagi dan kira-kira jam 03.00 dinihari Mas Soedarto, bekas ajudan Bung Karno, datang beserta beberapa orang RPKAD. Mereka memberitahukan bahwa ada perintah dari Pak Harto untuk membawa pulang Pak Martono. Rupanya ada Seseo ang yang memberitahukan ke Kostrad, yang pada waktu itu bahwa dibawah pimpinan Pak Harto, tentang nasib saya. Jadi dalam hal ini bekas ajudan Bung Karno datang ke Komdak membawa misi Pak Harto. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Pak Harto mempunyai wibawa yang besar. Saya keluar dari Komdak dengan pengawalan PKAD.

Peristiwa G-30-S/PKI 1965 merupakan batu ujian bagi seluruh bangsa dan ujian tersebut telah berhasil kita lalui dengan baik karena keberhasilan Pak Harto yang bertindak dengan cepat, penuh wibawa dan bijaksana. Pada tahun 1968 sesudah suasana kembali normal, saya diminta untuk menjadi anggota DPR-GR yang saya jabat sampai tahun 1978. Saya dari Golkar. Kemudian saya diangkat menjadi Menteri Muda Transmigrasi sampai tahun 1983. Dari tahun 1983-1988 saya menjadi Menteri Transmigrasi. Jadi selama 10 tahun saya bekerja di bidang legislatif dan 10 tahun di bidang eksekutif.

Sekian lamanya saya mengenal Pak Harto baik sebagai seorang militer ataupun sebagai seorang Kepala Negara dan Pemerintahan.

Berbagai kesan yang mendalam telah saya rasakan tentang beliau. Sebagai seorang militer beliau adalah sangat tegas dan teguh dalam pendirian serta sangat memperhatikan anak buah. Hal ini saya ketahui ketika masa revolusi. Pada waktu itu saya mendengar mengenai Batalyon X, yang berada dibawah pimpinan Pak Harto, adalah batalyon yang rapi dan mempunyai disiplin yang tinggi. Tegas, tetapi penuh perhatian.

Ketegasan Pak Harto juga terlihat pada waktu beliau menghadapi dan menanggulangi tragedi nasional pada tahun 1965. Masalah politik yang begitu pelik dapat beliau atasi dengan tegar. Kita semua mengetahui bahwa pada waktu itu wibawa Bung Karno masih sangat besar, tetapi demi kesatuan bangsa wibawa Bung Karno seakan tersisih oleh ketegasan dan ketegaran Pak Harto. Tetapi cara semacam ini tidak beliau terapkan dalam menghadapi Bung Karno pribadi. Beliau memperlakukan Bung Karno, yang sudah jelas melakukan kesalahan konstitusional dan terlalu memberikan angin kepada PKI sehingga terjadinya coup secara di luar dugaan kami semua. Prinsip mendhem jero dan mikul dhuwur beliau laksanakan di sini.

Menurut Pak Harto, seorang anak bagaimanapun harus tetap menghormati orang tuanya. Beliau memandang Soekarno sebagai orang tua beliau sendiri. Di samping itu beliau berpendirian bahwa manusia itu tidak ada yang terbebas dari kesalahan. Setelah saya merenungkan tindakan beliau itu, saya berkesimpulan bahwa itulah tindakan yang tepat dan penuh kearifan. Bayangkan seandainya Pak Harto bertindak keras, meskipun hal tersebut mempunyai landasan yang kuat, mungkin kita akan terlibat dalam kancah perang saudara. Atau mungkin pula Indonesia akan menjadi seperti negara-negara Amerika Latin dimana perebutan kekuasaan terus-menerus terjadi.

Ketegasan yang kokoh itu tidak saya rasakan sebagai sesuatu yang kaku, karena sifat tersebut didasari oleh rasa welas asih, yaitu sifat yang dapat turut serta merasakan penderitaan orang lain. Sifat beliau yang seperti ini baru saya ketahui melalui keluhan yang saya kemukakan pada beliau. Hal ini menyangkut desa saya di Karanganyar, Kebumen. Desa yang kecil tetapi telah melahirkan dua orang menteri, yaitu saya dan Pak Soedjono, Menteri Pengerahan Tenaga Rakyat di masa Bung Karno.

Orang-orang desa tersebut datang kepada saya meminta agar jalan desa sepanjang 20 kilometer diperbaiki; disamping itu mereka juga meminta dibuatkan sebuah jembatan. Selama ini jembatan yang mereka pergunakan dibuat dari batang kelapa dan kalau hujan, batang kelapa tersebut sering dihanyutkan air. Keluhan-keluhan ini saya sampaikan pada beliau dan beliau terharu mendengar hal tersebut; karena gambaran desa yang saya kemukakan itu adalah gambaran penderitaan rakyat kecil yang sebagian besar petani miskin.

Presiden dengan spontan memberikan Banpres. Ketika perbaikan desa tersebut selesai, kami meminta beliau untuk meresmikannya. Tetapi karena kesibukan beliau, sayalah atas nama Presiden yang melakukan peresmian tersebut. Saya sangat terharu pada waktu itu, karena begitu bahagianya rakyat desa tersebut. Kebiasaan di desa itu tidak berubah.

Kegembiraan rakyat diwujudkan dalam kebiasaan mereka yang lama, yaitu di setiap pintu rumah, mesti ada meja atau balai-balai yang penuh berisi makanan dan kendi berisi air minum. Siapa yang lapar boleh mengambilnya dengan bebas. Saya, lalu teringat pada masa gerilya dahulu. Penduduk memang begitu dalam menyambut tentara Republik. Rasa bahagia dan syukur dari rakyat desa atas Banpres itu, saya kemukakan pada beliau. Beliau juga sangat gembira. Beliau memang selalu turut merasakan penderitaan kaum tani. Saya lalu berpikir bahwa Pak Harto adalah seorang yang cepat tersentuh kalau membicarakan orang kecil.

Waktu saya menjadi pembantu beliau, saya selalu melaporkan semua masalah, baik yang dapat saya atasi ataupun yang tidak dapat saya hadapi. Terutama untuk masalah yang terakhir ini saya selalu melapor pada beliau. Ketika saya melaporkan bahwa di suatu daerah transmigran terdapat 113 orang meninggal, terus terang, saya ini seperti orang Jepang yang menghadap Tenno Heikanya untuk meminta izin harakiri.
Saya melaporkan bahwa mereka meninggal karena malaria. Saya memohon maaf dan saya mengatakan bahwa masalah tersebut adalah tanggungjawab saya, karena ini adalah masuk dalam pengendalian saya. Tanggapan Pak Harto adalah di luar dugaan saya:

”Ya, kalau ada penyakit, ya harus diberantas, kalau ada pekerjaan yang kurang benar, ya harus ditertibkan. Itu harus diusahakan.”

Begitulah cara beliau menghadapi pembantu beliau, selalu halus dan kebapakan. Peristiwa ini membuat saya trenyuh atau rasa haru yang sangat mendalam, karena tadinya saya sudah mengira bahwa beliau akan sangat marah karena kerja saya yang tidak betul. Beliau memang saya anggap sebagai seorang bapak yang selalu membesarkan hati anak­-anaknya.

Dalam menghadapi suatu masalah yang disebabkan karena kesalahan kami, beliau lebih banyak mencari jalan keluar daripada memarahi kami. Ini terlihat dalam masalah tersebut di atas. Hal yang lain terjadi dalam masalah Mitsuigoro, suatu proyek perkebunan jagung di Lampung yang dikelola oleh Kosgoro bersama perusahaan Mitsui dari Jepang.

Proyek ini meliputi tanah yang luasnya beberapa ribu hektar. Pada waktu proyek ini diresmikan saya belum menjabat sebagai Menteri Muda Transmigrasi. Pada peresmian proyek tersebut beliau datang bersama beberapa orang menteri antara lain Menteri Pertanian dan beberapa orang jenderal dalam tiga buah pesawat helikopter. Mereka semua masuk hutan untuk meresmikan proyek itu.

Pada suatu hari, jagung dalam proyek tersebut habis karena terserang penyakit. Terdengar berita bahwa Mitsui-goro menyelundupkan bibit jagung yang mengandung virus dari luar negeri. Setelah saya selidiki kesalahan terletak pada pejabat yang memeriksa bibit jagung yang didatangkan dari Jamaica itu. Jadi sebenarnya bibit masuk secara resmi, bukan diselundupkan. Kesalahannya terletak pada pemberian nomor izin yang salah. Hal ini saya laporkan kepada Presiden agar yang bersangkutan dipecat.

Reaksi Presiden adalah diluar dugaan saya pula.

“Kalau ada penyakit, ya harus diobati. Saya sudah memberikan Rp60 juta kepada Gubernur Lampung untuk biaya pengobatan jagung-jagung tersebut”, demikian menurut beliau.

Saya jadi kagum kepada beliau, karena tindakan Pak Harto itu adalah suatu tindakan yang bijak­ sana. Beliau tidak mau menyakiti dengan memarahi mereka yang bersalah, tetapi mencari jalan keluarnya yang dianggap baik. Memang begitulah Pak Harto. Saya belum pernah melihat beliau memarahi seseorang dengan langsung atau di muka orang lain.

Teguran beliau selalu halus dan kadang-kadang cukup dengan pasemon saja. Pasemon adalah semacam teguran yang halus supaya tidak menyakiti orang lain. Umpamanya begini. Saya pernah mengeluarkan suatu pernyataan yang mengatakan bahwa kalau kita akan membuat lapangan golf  jangan dibuat di dalam kota, tetapi di luar kota saja.

Lapangan-lapangan yang ada di dalam kota lebih baik dibuat untuk paru-paru kota. Pada suatu pertemuan, kami secara tidak langsung berbicara mengenai masalah golf. Tiba-tiba Pak Harto berkata:

“Itu tanah yang akan dipakai untuk golf, banyak tanaman untuk penghijauan”.

Saya sebagai orang Jawa harus peka terhadap ucapan beliau. Itu berarti beliau tidak setuju dengan .pendapat saya. Meskipun Pak Harto sangat tegas, tetapi saya sama sekali tidak merasakan sikap tersebut sebagai sikap yang otoriter. Untuk hal yang prinsip, beliau memang sukar untuk digoyahkan. Umpamanya mengenai prinsip Pancasila dan UUD 1945.

Semua tindakan dan kebijakan yang kami tempuh haruslah berada dalam lingkup tersebut. Kami, para pembantu diberikan kebebasan yang penuh untuk mengembangkan gagasan dalam bidang kami masing-masing. Beliau selalu memberikan pedoman-pedoman pokok dan tidak pernah mendikte kami dengan cara harus begini, harus begitu. Ini adalah salah sikap beliau yang demokratis.

Jika salah seorang pembantu beliau melakukan suatu kesalahan, beliau akan menegurnya dengan halus dan luwes atau secara tidak langsung, seperti yang pernah terjadi pada saya mengenai ladang golf itu. Sikap Pak Harto yang semacam ini adalah suatu sikap yang menunjukkan betapa besarnya kemampuan beliau dalam mengendalikan diri, sehingga tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan sakit hati seseorang dapat dihindarkan. Tidaklah mengherankan bahwa sikap-sikap yang demikian dapat-terbentuk dalam diri Pak Harto, karena itulah beliau adalah seorang pemimpin yang teguh memegang ajaran-ajaran filsafat Jawa.

Nilai-nilai ajaran tersebut selalu tercermin dalam setiap tutur kata dan tindakan beliau dalam berkomunikasi dengan siapapun. Sikap seperti tepa selira dan welas asih, untuk menyebut beberapa nilai yang beliau hayati, telah membentuk pribadi beliau sebagai seorang pemimpin yang teguh dalam pendirian tetapi luwes dan bijak. Berbahagialah kita memiliki seorang pemimpin yang demikian.

***

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.